BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Penyusunan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Nasional
yang baru untuk menggantikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana peninggalan pemerintah kolonial Belanda dengan
segala perubahannya merupakan salah satu usaha dalam rangka pembangunan hukum
nasional. Usaha tersebut dilakukan secara terarah dan terpadu agar dapat
mendukung pembangunan nasional di berbagai bidang, sesuai dengan tuntutan pembangunan
serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat.
Dalam perkembangannya,
makna pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana nasional yang semula semata-mata diarahkan kepada misi tunggal
yang mengandung makna "dekolonisasi" Kitab UndangUndang Hukum Pidana dalam bentuk
"rekodifikasi", dalam perjalanan sejarah bangsa pada akhirnya juga
mengandung pelbagai misi yang lebih luas sehubungan dengan perkembangan baik
nasional maupun internasional. Adapun misi kedua adalah misi
"demokratisasi hukum pidana" yang antara lain ditandai dengan
masuknya Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia dan hapusnya tindak pidana
penaburan permusuhan atau kebencian (haatzaai-artikelen) yang merupakan tindak
pidana formil dan dirumuskan kembali sebagai tindak pidana penghinaan yang
merupakan tindak pidana materiil. Misi ketiga adalah misi "konsolidasi
hukum pidana" karena sejak kemerdekaan perundang-undangan hukum pidana
mengalami pertumbuhan yang pesat baik di dalam maupun di luar Kitab
UndangUndang Hukum Pidana dengan
pelbagai kekhasannya, sehingga perlu ditata kembali dalam kerangka Asas-Asas
Hukum Pidana yang diatur dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Di
samping itu penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana Baru dilakukan atas dasar misi keempat yaitu misi adaptasi
dan harmonisasi terhadap pelbagai perkembangan hukum yang terjadi baik sebagai
akibat perkembangan di bidang ilmu pengetahuan hukum pidana maupun perkembangan
nilai-nilai, standar serta norma yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di
dunia internasional.
Pelbagai misi tersebut
diletakkan dalam kerangka politik hukum yang tetap memandang perlu penyusunan
Hukum Pidana dalam bentuk kodifikasi dan unifikasi yang dimaksudkan untuk
menciptakan dan menegakkan
konsistensi, keadilan, kebenaran,
ketertiban, dan kepastian hukum dengan memperhatikan keseimbangan antara
kepentingan nasional, kepentingan masyarakat dan kepentingan individu dalam Negara
Republik Indonesia berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Namun, setelah RUU
KUHP dan KUHAP ini selesai dirumuskan oleh para pakar, timbullah berbagai
pertentangan dari berbagai pihak mengenai isi dari RUU KUHP dan KUHAP. Hal ini
menyebabkan ketidak jelasan mengenai dapat atau tidaknya RUU ini diberlakukan.
Yang gencar saat ini diberitakan, bahwa RUU KUHP dan KUHAP ini akan melemahkan
kerja dari Komisi Pemberantasan Korupsi yang saat ini sedang menjadi lembaga
yang diagung-agungkan oleh rakyat Indonesia. Belakangan kemudian muncul opini
yang mengatakan bahwa pemerintah sengaja ingin melemahkan KPK lewat RUU KUHP
dan KUHAP. Namun, hal itu pun tidak dibenarkan oleh pemerintah. Tentu saja,
kita sebagai masyarakat awam dibingungkan oleh perdebatan tersebut. Maka dari
itulah, kami menulis makalah ini untuk mencari pembenaran serta sejauh mana
pengaruh politik hukum pemerintah dalam hukum pidana terkait dengan RUU KUHP
dan KUHAP. Kususnya akan mengkaji mengenai polimik yang terjadi antara
Pemerintah, DPR dan KPK.
- Rumusan Masalah
Adapun masalah-masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini diantaranya:
- bagaimana tanggapan para ahli mengenai RUU KUHAP dan KUHP?
- pasal-pasal mana saja yang dianggap bermasalah dalam RUU KUHAP dan KUHP?
- bagaimana tanggapan pemerintah menyikapi ketidak puasan KPK terhadap RUU KUHAP dan KUHP?
- bagaimana pengaruh pemerintah dalam hukum pidana terkait dengan RUU KUHAP dan KUHP?
- tujuan penulisan
adapun tujuan dari ditulisnya
makalah ini yakni:
- untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Politik Hukum.
- untuk mengetahui opini para pakar mengenai RUU KUHAP dan KUHP yang sekaligus dapat dijadikan sebagai bahan pemikiran baru.
- untuk mengetahui pasal manakah saja yang dianggap dapat melemahkan KPK dalam RUU KUHAP dan KUHP.
- untuk mengetahui kualitas kebijakan yang dibuat pemerintah sehubungan dengan RUU KUHAP dan KUHP.
- untuk memahami sejauh mana peranan pemerintah dalam RUU KUHAP dan KUHP.
BAB II
PEMBAHASAN
- Opini Para Ahli Terkait RUU KUHAP dan KUHP
Selain disibukkan
dengan informasi pemilihan umum 9 april 2014, akhir-akhir ini bangsa Indonesia
tengah ramai membicarakan mengenai Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana
dan Kitab Hukum Acara Pidana. Diberbagai media, baik cetak maupun elektronik
bahkan sampai pula ke social media, topik ini sedang menjadi bahan diskusi yang
serius.
Ada banyak sekali
opini yang saat ini berkembang dikalangan para akademisi, politisi, maupun
masyarakat pada umumnya yang sebahagian besar mengomentari RUU KUHAP dan KUHP
tersebut. Beberapa diantaranya mempertanyakan mengenai ketidak tepatannya
pembahasan RUU KUHAP dan KUHP ini dibahas, ada pula yang mengkritisi isi dari
RUU tersebut. Jika kita melihat kinerja DPR kita pada saat ini, sungguh kecil
kemungkinannya untuk dapat memberlakukan RUU ini pada tahun 2014. belum lagi
banyaknya kalangan yang masih mempersoalkan materi dari RUU ini, maka kedua
factor ini akan menjadi penghalang utama untuk diberlakukannya kedua RUU ini.
Untuk lebih mengetahui seputar kedua rancangan undang-undang ini, berikut akan
kami sajikan beberapa pandangan tokoh nasional yang cukup dikenal oleh kalayak.
1.
menurut Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly
Asshiddiqie, wacana perubahan RUU KUHAP dan KUHP saat ini tidak tepat
momentumnya. Pasalnya, untuk mengubah banyaknya pasal dalam
RUU KUHP dan KUHAP dibutuhkan waktu minimal setahun. "Jangan-jangan
jumlah pasal yang banyak ini tidak cukup waktunya. Kalau bisa, jangan
ditargetkan selesai tahun ini juga. Butuh proses yang panjang untuk merevisi
banyaknya pasal dalam KUHAP dan KUHP," tegas Jimly di Hotel Sultan,
Senayan, Jakarta Selatan, Kamis (6/3/2014). Selain itu, Jimly juga menyesalkan
RUU KUHAP dan KUHP baru direvisi saat ini, setelah Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) memimpin selama 10 tahun sebagai Presiden RI. "Pengajuan KUHAP dan
KUHP ini telat. Kenapa baru diajukan sekarang dan tidak diajukan
kemarin-kemarin?" pungkas Jimly. (nasional.sindonews.com).
2.
Dr Zaenal Arifin Mochtar dari Pusat Kajian Anti-Korupsi
(Pukat) FH-UGM menyatakan sebaiknya pembahasan revisi KUHP dan KUHAP itu jangan
sekarang, waktunya tidak tepat karena 500 lebih anggota DPR bersiap tarung pada
pemilu 2014. Revisi KUHP an KUHAP itu jelas melemahkan KPK dan tidak pada
tempatnya kalau pemerintah memaksakan revisi itu dilakukan oleh DPR periode
sekarang yang sudah hampir habis masa kerjanya. ‘’ Ini masalah hukum yang
sangat serius, saya minta DPR dan pemerintah tidak memaksakan untuk dibahas
sekarang. Jangan tergesa-gesa. Harus ada proses yang elegan dan rasional untuk
mengatasi persoalan tersebut. KPK tidak boleh dibunuh dengan revisi KUHP dan
KUHAP, namun KPK juga jangan apriori dengan revisi KUHP dan KUHAP tersebut,’’
kata Zaenal Arifin Mochtar, akademisi FH-UGM. Artinya, hampir pasti tidak
mungkin DPR dan pemerintah membahas revisi RUU KUHP dan KUHAP itu sekarang,
agar di kemudian hari tidak jadi bumerang. (Dumai Headlines.
3.
Hakim Agung Artidjo Alkotsar menyatakan RUU
KUHAP melemahkan seluruh lembaga peradilan di Indonesia yang bernaung di bawah
MA. Menurut hakim agung yang memperberat hukuman koruptor Angelina
Sondakh ini, dunia bisa menertawakan Indonesia jika RUU KUHAP ditetapkan. “RUU
KUHAP melemahkan MA. Nggak bisa dipaksakan, nanti kita ditertawakan
internasional,” kata Artidjo di Hotel Bidakara, Jl Gatot Subroto, Jakarta
Selatan, Selasa (4/3/2014), dalam acara pembahasan RUU KHUP/KUHAP. Artidjo
kemudian menyinggung pasal dalam RUU KUHAP yang menyatakan kasasi dan
Peninjauan Kembali (PK) tak bisa memvonis lebih berat dari pengadilan tingkat
pertama dan pengadilan tinggi. Ia menyatakan kewenangan pengadilan yang lebih
tinggi adalah memperbaiki putusan di bawahnya. “Tentu satu hal itu merupakan
pasal yang aneh kalau MA dilarang menjatuhkan pidana lebih tinggi dari
pengadilan di bawahnya (judex facti). Di negara mana pun juga MA sebagai badan
peradilan tertinggi (judex juris) punya kewenangan meluruskan putusan-putusan
yang diproduk oleh pengadilan bawahannya kalau pertimbangannya salah, tentu
harus diluruskan. Jadi kalau ada aturan hukum yang sangat aneh itu, ya tidak
masuk akal,” ujar Artidjo. Hakim agung ini menyarankan pemerintah dan parlemen
mempertimbangkan kembali isi RUU KUHAP yang juga diprotes oleh KPK tersebut.
“MA menyerahkan konsep dulu baik KUHAP maupun KUHP melalui Ikatan Hakim
Indonesia (Ikahi). Jadi seharusnya dijadikan pertimbangan karena pasal itu
sangat aneh. Sejak kapan usulnya? Rekomendasinya harus diubah,” tutup Artidjo.
4.
Ketua MA Hatta Ali berpandangan ketentuan Pasal 250 RUU
KUHAP yang melarang putusan MA tidak boleh lebih berat dari putusan Pengadilan
Tinggi berpotensi mengancam independensi hakim dalam memutus perkara.
5.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD
menyayangkan upaya-upaya pelemahan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) lewat jalur legislasi. KPK akan kehilangan wewenangnya untuk menyadap
jika revisi KUHP/KUHAP sepakat harus izin terlebih dahulu kepada hakim. “Ya itu
yang kita sayangkan. Kita harus perang, artinya perang opini dan perang
dukungan karena bagaimana pun produk legislasi adalah cerminan dari kehendak
rakyat. Kalau rakyatnya menolak, saya kira proses legislasi (DPR) juga akan
memperhatikan, apa lagi sekarang muncul perlawanan-perlawanan,” kata Mahfud
juga pada acara pembahasan RUU KUHP/KUHAP di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa
(4/3/2014). Mahfud mengaku lebih setuju agar revisi tersebut ditunda dan
dilanjutkan oleh periode selanjutnya. Pasalnya, DPR masa kerja periode DPR saat
ini tinggal enam bulan lagi sehingga tidak baik jika dipaksakan untuk terus
dibahas. “Kalau saya lebih setuju kalau diendapkan dulu, kan tinggal enam bulan
masa kerja DPR. Masa enam atau tujuh bulan mungkin tidak baik kalau memaksakan
untuk dibahas terus sehingga biar periode berikutnya saja,” usul bekas Menteri
Pertahanan itu. Tentang pelemahan kewenangan KPK, Mahfud mengungkapkan bahwa
tercatat 12 kali uji materi (judicial review) mengenai Undang Undang KPK.
Namun, MK selalu mendukung penguatan kewenangan KPK dalam memberantas tindak
pidana korupsi sehingga menolak uji materi tersebut. “Sudah 12 kali di
undang-undang KPK itu diuji agar dilumpuhkan. Oleh sebab itu MK pada posisi
membela KPK.
6.
Sementara itu, mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir
Manan mempertanyakan pembahasan RUU KUHP/KUHAP oleh DPR menjelang Pemilihan
Umum 2014. “Bulan depan pemilihan umum. Saya katakan, apakah masih arif, apakah
masih bijaksana, DPR membahas RUU ini (KUHAP dan KUHP, red), sedangkan dua
undang-undang itu namanya saja kitab,” katanya, di Purwokerto, Selasa
(4/3/2014). Menurut dia, kitab berarti undang-undang yang memiliki arti sangat
besar. “Apalagi dua undang-undang tersebut menyangkut prinsip hak asasi orang,
sehingga harus dibahas dengan penuh kehati-hatian,” katanya. Menurut dia, RUU
tersebut sebenarnya sudah puluhan tahun disiapkan tetapi baru sekarang dibahas
oleh DPR. Padahal, kata dia, satu bulan lagi akan dilaksanakan pemilihan umum.
Bagir menyarankan peraturan terobosan untuk menyelesaikan kebekuan pembahasan
RUU KUHAP terutama soal penyadapan. Menurut dia, perlu ada peraturan yang lebih
spesifik tentang penyadapan. “Salah satu hak asasi manusia yakni kebebasan
berkomunikasi,” katanya. Meskipun demikian, dia mengatakan bahwa penyadapan
bisa dilakukan sepanjang untuk kepentingan hukum. Menurut dia, penyadapan harus
diatur secara spesifik, misalnya siapa yang boleh menyadap dan kapan orang
mulai boleh menyadap, apakah saat penyidikan apa penyelidikan. “Itu harus
dipastikan. Jangan sampai ada orang tidak berdosa tapi disadap,” kata dia.
(Duta Online).
7.
pihak pemerintah melalui Menko Polhukam Djoko Suyanto
meminta pihak-pihak yang menolak RUU KUHP/KUHP menyusun daftar inventarisasi
masalah (DIM) terkait pasal-pasal yang dianggap melemahkan untuk kemudian
dibahas bersama-sama pemerintah dan DPR. (Duta Online).
8.
komentar berbeda disampaikan oleh Ketua Tim Perumus
Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Andi Hamzah, membantah aturan
yang dia susun membatasi aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan
Korupsi ataupun Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Menurut dia,
aturan itu sudah dibuat sejak KPK belum ada. "Pihak yang menganggap RUU
KUHAP melemahkan KPK berarti tidak membaca lebih teliti naskahnya," kata
Andi ketika dihubungi Tempo, Ahad, 9 Maret 2014. Aspek tertentu yang dibahas
dalam RUU KUHAP, seperti penyadapan harus seizin pengadilan, kata dia, sudah
ada sejak 30 tahun lalu. Andi menyatakan penyadapan dan perekaman merupakan
salah satu tindak pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Agar
KUHAP selaras dengan aturan ini, kata Andi, penyadapan oleh aparat penegak
hukum harus mendapat persetujuan pengadilan agar tak dianggap tindak pidana.
Namun, kata dia, penyadapan dan penggeledahan dapat dilakukan dalam keadaan
mendesak. (Koran tempo).
Dari berbagai pertentangan pendapat diatas, kita tentu menyadari adanya
ketidak harmonisan antara pihak pemerintah dengan pihak penegak hukum. Hal ini
sangat terlihat dari perdebatan yang terjadi dalam menyikapi RUU KUHP dan
KUHAP. Ini menunjukkan masih lemahnya kordinasi yang terjalin antara pihak
eksekutif dengan yudikatif. Sehingga dalam mengeluarkan sebuah regulasi, kita
harus berdebat panjang lebar sebelum menyepakati regulasi tersebut.
- Pasal-Pasal yang dianggap lemah dalam RUU KUHAP dan KUHP
Diskusi Media mengangkat topik tentang "RUU KUHP dan KUHAP:
Implikasi Hukum terhadap Praktek Pemberantasan Korupsi" diselenggarakan
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada 29 Oktober 2013, di ruang Auditorium
KPK. Hadir narasumber diantaranya Amir Syamsudin (Menteri Hukum dan HAM),
Nudirman Munir (Komisi III DPR), Prof. Andi Hamzah (Pakar Hukum), Agustinus
Pohan (Pakar Hukum), dan Bambang Widjojanto (Wakil Ketua KPK). Acara dipandu
Johan Budi, SP.
Berikut adalah sebahagian kecil pasal-pasal yang dianggap lemah dalam
KUHAP:
Pasal
|
Inti
|
Dampak
|
Pasal 3.2
|
Ketentuan dalam UU ini berlaku juga terhadap tindak pidana
yang diatur dalam UU di luar KUHP, kecuali undang-undang tersebut menentukan
lain.
|
Ketentuan ini bisa meniadakan hukum acara khusus dalam
penanganan kasus korupsi yang saat ini digunakan KPK.
|
Pasal 44
|
Penuntut umum dapat mengajukan suatu perkara kepada Hakim
Pemeriksa Pendahuluan untuk diputus layak atau tidak layak untuk dilakukan
penuntutan ke pengadilan.
|
Penuntutan kasus korupsi yang ditangani KPK dapat
dihentikan oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
|
Pasal 58
|
Persetujuan penahanan pada tahap penyidikan yang melebihi
5 x 24 (lima kali dua puluh empat)
|
KPK dapat dianggap tidak memiliki kewenangan. Di
sini, hanya disebutkan kepala kejaksaan negeri dalam hal penahanan dilakukan
oleh kejaksaan negeri; kepala kejaksaan tinggi dalam hal penahanan dilakukan
oleh kejaksaan tinggi; atau Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung dalam hal
penahanan dilakukan oleh Kejaksaan Agung.
|
Pasal 67
|
Penangguhan Penahanan yang diajukan oleh tersangka atau
terdakwa.
|
Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menangguhkan penahanan
yang dilakukan oleh KPK.
|
Pasal 75
|
Penyitaan harus mendapat izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan
|
Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menolak memberikan
persetujuan penyitaan, barang yang disita harus segera dikembalikan kepada
pemilik.
|
Pasal 83
|
Penyadapan pembicaraan harus mendapat izin Hakim Pemeriksa
Pendahuluan
|
Penyadapan pembicaraan hanya dapat dilakukan apabila
mendapat persetujuan dari Hakim.
|
Pasal 84
|
Dalam keadaan mendesak, penyidik dapat menyadap tanpa
surat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan
|
Jika Hakim Pemeriksa Pendahuluan tidak memberi persetujuan
penyadapan, maka penyadapan KPK dihentikan.
|
Pasal 240
|
Terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan
kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali putusan bebas.
|
Kasus korupsi yang diajukan oleh KPK, jika divonis bebas
ditingkat pertama atau banding, maka tidak dapat dikasasi.
|
Pasal 250
|
Putusan Mahkamah Agung mengenai pemidanaan tidak boleh
lebih berat dari putusan pengadilan tinggi.
|
Kasus korupsi yang diajukan oleh KPK jika divonis berat
ditingkat pertama atau banding, maka dapat dipastikan divonis lebih rendah
jika dikasasi.
|
- Tanggapan Pemerintah Terhadap Isi Dari RUU KUHP dan KUHAP
Pada
tanggal 17 Februari 2014, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta kepada
pemerintah sebagai pengusul Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk menarik kedua RUU tersebut
dan menyerahkan pada DPR RI periode 2014-2019. berikut adalah inti dari isi
surat KPK tersebut tertanggal 17 Februari 2014:
Yth: Presiden, Ketua DPR, Pimpinan Komisi III, Menkumham, Panja RUU KUHP
dan KUHAP.
Sehubungan dengan telah dilaksanakannya pembahasan atas RUU KUHP dan RUU
KUHAP oleh DPR c.q Panja RUU KUHP dan RUU KUHAP bersama pemerintah saat ini,
bersama ini kami sampaikan pandangan dan sikap KPK sesuai kajian yang telah
kami lakukan (terlampir) sebagai berikut:
1.
Revisi RUU adalah sebuah keniscayaan maka harus
ditujukan untuk kepentingan perbaikan atas materi perundang-undangan yang bisa
menjawab tuntutan kebutuhan publik atas kepastian hukum dan jaminan keadilan
serta mendukung peran penegak hukum dalam menjalankan tugasnya.
2.
Pembahasan RUU KUHAP dan KUHP yang saat ini tengah
dilakukan memerlukan pemikiran yang mendalam, utuh dan menjangkau kebutuhan
akan perubahan. Pada kenyataannya masa kerja anggota DPR saat ini tersisa
kurang lebih 100 hari kerja efektif, sehingga tidak mungkin dilakukan
pembahasan secara serius dalam waktu yang begitu singkat, mengingat kedua RUU
tersebut memiliki lebih dari 1.000 pasal. Untuk itu pemerintah perlu menarik
kembali RUU KUHAP dan KUHP dari DPR dan menyerahkan pembahsannya kepada DPR
baru periode 2014-2019.
3.
Pembahasan RUU KUHAP sebagai hukum pidana formil
sebaiknya dilakukan setelah DPR yang baru periode 2014-2019 membahas,
menyelesaikan dan mengesahkan RUU KUHP yang baru.
4.
Meminta pemerintah untuk memperbaiki RUU KUHP dengan
mengeluarkan seluruh tindak pidana luar biasa dari buku II RUU KUHP termasuk
tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya yang bersifat koruptif yang
merupakan delik korupsi berdasarkan UU Tipikor saat ini. Beberapa ketentuan
dalam RUU KUHAP juga perlu diperbaiki lebih dahulu, antara lain adanya
ketentuan khusus untuk mendukung proses penegakan hukum atas kejahatan korupsi
dan kejahatan luar biasa lainnya.
5.
Pembahasan RUU KUHP dan KUHAP tersebut oleh DPR periode
2014-2019 haruslah melibatkan seluruh lembaga penegak hukum, akademisi dan
unsur masyarakat terkait.
Demikian kami sampaikan pandangan dan sikap KPK atas RUU KUHAP dan KUHP
dimaksud. Kami sangat berharap agar penyusunan dan pembahasan suatu RUU lebih
mengutamakan kepentingan bangsa dan negara untuk mengatasi persoalan-persolan
besar yang tengah dihadapi bangsa saat ini. (dikutib dari www.antaranews.com).
Pemerintah memberikan jawaban atas surat KPK yang meminta agar Presiden
SBY menarik RUU KUHAP dari DPR. Pemerintah menjamin tak ada niatan melemahkan KPK.
Sebagaimana tercantum dalam website kemenkumham.go.id, berikut jawaban lengkap
pemerintah tersebut :
<i>Sehubungan dengan pandangan KPK atas pembahasan RUU KUHP dan RUU
KUHAP, Pemerintah memberikan tanggapan sebagai berikut:
1.
Pemerintah dan Tim Penyusun RUU KUHAP tidak ada maksud
sama sekali mengebiri atau menghilangkan kewenangan KPK, namun penyusunan kedua
RUU tersebut atas dasar sistem hukum nasional dan memperhatikan HAM yang
universal.
2.
Proses penyusunan RUU tentang Hukum Acara Pidana (RUU
KUHAP) telah dilakukan oleh Panitia Penyusunan RUU KUHAP yang dibentuk dengan
Keputusan Menteri Kehakiman (Menteri Hukum dan HAM) sejak tahun 1999 sampai
dengan 2006 yang diketuai oleh Prof. Dr. (jur). Andi Hamzah dan melibatkan
pakar hukum pidana (akademisi), praktisi (advokat), Kementerian Sekretariat
Negara, serta unsur penegak hukum yaitu Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung
RI, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan Mahkamah Agung RI. Dalam kurun waktu
penyusunan RUU KUHAP juga dilakukan sosialisasi, seminar, dan FGD dalam rangka
penyempurnaan RUU KUHAP.
3.
Berdasarkan hasil Seminar Hukum Nasional tahun 1963
disepakati perlunya mengganti KUHP produk kolonial Belanda dengan KUHP
Nasional. RUU KUHP mulai disiapkan oleh Pemerintah sejak tahun 1982 dilengkapi
dengan penyusunan Naskah Akademik (NA) yang dipersiapkan oleh, antara lain,
Prof. Oemar Senoadji (alm.), S.H., Prof. R. Soedarto (alm.), S.H., Prof.
Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A., Prof. Muladi. Pada tahun 2004 dibentuk
Panitia Penyusunan RUU KUHP yang anggotanya meliputi pakar hukum pidana
(akademisi), praktisi (advokat), unsur penegak hukum yaitu Kepolisian Negara
RI, Kejaksaan Agung RI, Mahkamah Agung RI. yang diketuai oleh Prof. Muladi.
Panitia ini bertugas untuk menyempurnakan rumusan dan melakukan sinkronisasi
serta harmonisasi dengan undang-undang lain. Selama kurun waktu penyusunan RUU
KUHP tersebut, juga dilakukan sosialisasi, seminar, dan FGD dalam rangka penyempurnaan
RUU KUHP.
4.
Dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor
PPE.693.PP.01.02 Tahun 2011 dibentuk Tim Persiapan Pembahasan RUU KUHAP yang
salah satu anggotanya adalah Chandra M. Hamzah (pada saat itu sebagai Pimpinan
KPK) dan dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor M.HH-01.PP.01.02 Tahun
2011 dibentuk Tim Persiapan Pembahasan RUU KUHP.
5.
RUU KUHAP dan RUU KUHP disampaikan kepada Presiden
dengan surat Menteri Hukum dan HAM nomor M.HH.02.03-57 tanggal 6 Desember 2012.
6.
RUU KUHAP dan RUU KUHP disampaikan Presiden kepada
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) melalui surat nomor
R-87/Pres/12/2012 dan surat nomor R-88/Pres/12/2012 tanggal 11 Desember 2012
dan di dalam surat tersebut Presiden menugaskan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia untuk mewakili Presiden dalam pembahasan kedua RUU tersebut di DPR RI
guna mendapatkan persetujuan.
7.
Saat ini pembahasan RUU KUHAP dan RUU KUHP di DPR telah
masuk pada tahap panitia kerja yang membahas substansi berdasarkan Daftar
Inventarisasi Masalah (DIM). Terkait dengan adanya usulan penarikan kedua RUU
tersebut, berdasarkan ketentuan Pasal 70 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diatur bahwa “Rancangan
Undang-Undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan
persetujuan bersama DPR dan Presiden”. Dengan demikian terhadap RUU KUHAP dan
RUU KUHP yang sedang dibahas di Komisi III DPR RI tidak mungkin secara sepihak
dapat ditarik oleh Presiden tanpa persetujuan DPR.
8.
Terkait dengan pandangan dan sikap KPK terhadap kedua
RUU tersebut dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut:
a.
RUU KUHP merupakan upaya rekodifikasi hukum pidana
sehingga seluruh asas hukum pidana berlaku untuk semua tindak pidana baik yang
diatur di dalam KUHP maupun di luar KUHP. Dengan berlakunya KUHP baru,
Undang-Undang di luar KUHP bukan berarti menjadi tidak berlaku karena
Undang-Undang di luar KUHP merupakan lex specialis. Hal ini secara jelas telah
diatur dalam Pasal 757 dan Pasal 758 RUU KUHP. Dengan demikian, RUU KUHP tidak
mengeliminasi eksistensi Undang-Undang di luar KUHP dan tidak mendelegitimasi
keberadaan lembaga penegak hukum (antara lain KPK).
b.
RUU KUHP dan RUU KUHAP merupakan lex generalis sehingga
tidak menghilangkan kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dan
hukum acara pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang merupakan lex specialis.
c.
Penerapan pendekatan restorative justice dalam RUU KUHP
dan RUU KUHAP sesuai dengan resolusi ECOSOC bulan Juli tahun 2000 tentang
“basic principles on the use of restorative justice programmes on criminal
matters” yang diadopsi oleh ECOSOC sebagai pedoman untuk penerapannya dalam
sistem pidana nasional. Pendekatan ini pada dasarnya ditujukan untuk tindak
pidana yang tidak serius yang ancamannya maksimum 5 (lima) tahun jika pelaku
berumur diatas atau 70 tahun atau kerugian sudah diganti. Dengan demikian,
Pasal 702 RUU KUHP tidak termasuk bagian dari restorative justice dan tidak
bertentangan dengan Pasal 42.
d.
Terkait dengan penghapusan penyelidikan dalam RUU
KUHAP, hal ini diserahkan kepada setiap institusi yang telah ditentukan dalam
undang-undang masing-masing, misalnya Pasal 43 dan Pasal 44Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002. Selain itu, tindakanpenyelidikan merupakan tindakan yang
dilakukan secara diam-diam (tindakan keintelijenan) yang bersifat under cover yang
cukup diatur di dalam SOP.
e.
Terkait dengan masa penahanan, mulai dari tingkat
penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan sampai dengan kasasi
hanya mempunyai perbedaan 41 hari antara RUU KUHAP dan KUHAP (Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981). Masa penahanan dalam RUU KUHAP berjumlah 360 hari,
sedangkan dalam KUHAP berjumlah 401 hari. Pembatasan mengenai jumlah masa
penahanan disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan ICCPR yang berlaku secara universal.
f.
Mengenai justice collaborator dan whistle blower pada
dasarnya sama dengan saksi mahkota (Pasal 200 RUU KUHAP). Untuk melengkapi
ketentuan tersebut, dalam RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah disebutkan justice
collaborator dan whistle.
g.
Mengenai hukum acara untuk korporasi, dalam RUU KUHP
diatur secara umum dalam Buku I Bab II mengenai Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana (Pasal 48, Pasal 50, Pasal 51 dan Pasal 52).
h.
Mengenai penyadapan, dapat diartikan bahwa Pasal 3 ayat
(2) RUU KUHAP memberikan keleluasaan kepada undang-undang di luar KUHAP
mengatur hukum acaranya masing-masing. Dengan ketentuan tersebut, KPK dapat
melakukan penyadapan tanpa meminta izin kepada pengadilan. Hal ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
i.
Mengenai putusan MA yang tidak boleh melebihi putusan
pengadilan dibawahnya, hal ini didasarkan pada kewenangan MA itu sendiriyang
hanya memeriksa penerapan hukum dari judex jurist (lihat Pasal 250 ayat (3) RUU
KUHAP).</i>. (dikutib dari www.kemenkumham.com).
- pengaruh politik hukum pemerintah dalam hukum pidana berkaitan dengan RUU KUHAP dan KUHP
pada bagian sebelumnya, kita telah mengetahui bagaimana tanggapan
berbagai pihak mengenai RUU KUHAP dan KUHAP yang saat ini masih menjadi
polimik. Kita juga telah mengetahui sebahagian kecil pasal yang menurut
beberapa kalangan masih perlu diperbaiki. Selanjutnya, kita akan mengkaji
sejauh mana pengaruh pemerintah dalam hal hokum pidana kususnya berkaitan
dengan RUU KUHAP dan KUHAP tersebut.
Pada awalnya, pemerintahlah yang pertama menginginkan agar KUHP dan KUHAP
direfisi. Tentunya, kita sebagai bangsa Indonesia sangat menyetujui akan
rencana pemerintah tersebut. Apalagi, KUHP dan KUHAP yang sedang berlaku
sekarang bukanlah produk hukum buatan Indonesia, sehingga didalam kedua kitab
tersebut, banyak hal yang sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika hukum pidana
di Negara kita. Akhirnya, RUU KUHP dan KUHAP pun dimunculkan untuk
menyelesaikan persoalan tersebut. Namun, setelah RUU kedua kitab ini dikaji
oleh beberapa pihak, pertentangan pun muncul. Sebagaimana telah disajikan pada
awal makalah ini, ada begitu banyak hal yang perlu diperbaiki dalam RUU
tersebut.
Ketika menganalisa dan mengkaji pasal-pasal yang ada dalam kedua RUU
ini, kami menilai ada maksud dari pemerintah untuk melemahkan upaya penegakkan
hukum kususnya dalam hal pemidanaan. Ini dapat kita lihat dari berbagai
ketentuan yang seolah-olah sengaja diadakan untuk melemahkan kerja dari
beberapa lembaga penegak hukum di Indonesia. Yang menjadi pertanyaan kemudian,
mengapa pemerintah tidak melibatkan lembaga-lembaga penegak hokum di Indonesia
untuk turut serta dalam merumuskan kedua RUU tersebut. padahal, lembaga-lembaga
inilah yang akan banyak terlibat didalam mengimplementasikan isi dari kedua RUU
tersebut.
Selain itu, kami juga memiliki pandangan tersendiri mengapa
pemerintah baru gencar membahas kedua RUU ini di ujung kekuasaan rezim penguasa
sekarang. Kuat dugaan kami, pemerintah dan pihak legislative (DPR) sengaja melakukan
itu untuk berusaha memperbaiki citra mereka diakhir periode kekuasaanya.
Sebagaimana kita tahu, ada begitu banyak penyimpangan yang terjadi dimasa
pemerintahan sekarang. Tentunya dengan memberlakukan kedua RUU ini citra pemerintah dapat diperbaiki dimata
masyarakat. Sayangnya, hingga saat ini, harapan itu bertolak belakang dengan
kenyataan.
Kini, kita tinggal menantikan langkah yang akan diambil oleh pemerintah
dan DPR. Apakah kedua RUU ini akan diberlakukan, pemerintah dan DPR-lah yang
memiliki tanggung jawab. Rakyat hanya bisa berharap, semoga setiap aturan yang
dikeluarkan oleh Negara ini dapat bermanfaat dan dijalankan untuk lebih
menguatkan upaya penegakkan hukum dinegara ini yang dinilai banyak kalangan
masih lemah.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Adapun
kesimpulan dari makalah ini diantaranya:
- sebahagian besar tokoh nasional yang tidak diragukan lagi keahliannya dibidang hukum menyepakati bahwa RUU KUHAP dan KUHP yang saat ini sedang dibahas oleh DPR, tidak tepat momentumnya Pasalnya, untuk mengubah banyaknya pasal dalam RUU KUHP dan KUHAP dibutuhkan waktu minimal setahun. Selain itu, RUU KUHAP melemahkan seluruh lembaga peradilan di Indonesia yang bernaung di bawah MA. Dengan demikian, RUU KUHP dan KUHAP masih perlu dikoreksi agar tidak menjadi boomerang nantinya.
- sebahagian kecil pasal yang dianggap bermasalah di dalam RUU KUHAP diantaranya: pasal 3 ayat 2, pasal 44, pasal 58, pasal 67, pasal 75, pasal 83, pasal 84, pasal 240 dan pasal 250. pasal-pasal tersebut dianggap melemahkan KPK dan MA.
- pihak pemerintah melalui Menko Polhukam Djoko Suyanto meminta pihak-pihak yang menolak RUU KUHP/KUHP menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM) terkait pasal-pasal yang dianggap melemahkan untuk kemudian dibahas bersama-sama pemerintah dan DPR.
- Ketika menganalisa dan mengkaji pasal-pasal yang ada dalam kedua RUU ini, kami menilai ada maksud dari pemerintah untuk melemahkan upaya penegakkan hukum kususnya dalam hal pemidanaan. Ini dapat kita lihat dari berbagai ketentuan yang seolah-olah sengaja diadakan untuk melemahkan kerja dari beberapa lembaga penegak hukum di Indonesia. Yang menjadi pertanyaan kemudian, mengapa pemerintah tidak melibatkan lembaga-lembaga penegak hukum di Indonesia untuk turut serta dalam merumuskan kedua RUU tersebut. padahal, lembaga-lembaga inilah yang akan banyak terlibat didalam mengimplementasikan isi dari kedua RUU tersebut. Selain itu, kami juga memiliki pandangan tersendiri mengapa pemerintah baru gencar membahas kedua RUU ini di ujung kekuasaan rezim penguasa sekarang. Kuat dugaan kami, pemerintah dan pihak legislative (DPR) sengaja melakukan itu untuk berusaha memperbaiki citra mereka diakhir periode kekuasaanya. Sebagaimana kita tahu, ada begitu banyak penyimpangan yang terjadi dimasa pemerintahan saat ini.
- Saran
Setelah
menganalisa dan menyaksikan berbagai kejadian di media cetak maupun di media
massa mengenai kontrofersi revisi RUU KUHP dan KUHAP ini, maka kami
menyarankan:
- melihat kondisi dari DPR kita pada saat ini yang tidak berkonsentrasi lagi pada tugasnya sebagai badan legislatif, kami menyarankan agar RUU KUHAP dan KUHP yang saat ini berada di DPR untuk dihentikkan pembahasannya. Sebaiknya, RUU ini dilanjutkan pembahasannya ketika DPR yang baru sudah terbentuk.
- Pembahasan RUU KUHP dan KUHAP tersebut oleh DPR periode 2014-2019 haruslah melibatkan seluruh lembaga penegak hukum, akademisi dan unsur masyarakat terkait.
DAFTAR PUSTAKA
Rancangan
Undang-Undang KUHP dan KUHAP
0 comments:
Post a Comment