Blogroll

Monday 26 May 2014

Politik Hukum ( RUU KUHP DAN KUHAP)



BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Nasional yang baru untuk menggantikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana peninggalan pemerintah kolonial Belanda dengan segala perubahannya merupakan salah satu usaha dalam rangka pembangunan hukum nasional. Usaha tersebut dilakukan secara terarah dan terpadu agar dapat mendukung pembangunan nasional di berbagai bidang, sesuai dengan tuntutan pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat.
Dalam perkembangannya, makna pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana nasional yang semula semata-mata diarahkan kepada misi tunggal yang mengandung makna "dekolonisasi" Kitab UndangUndang  Hukum Pidana dalam bentuk "rekodifikasi", dalam perjalanan sejarah bangsa pada akhirnya juga mengandung pelbagai misi yang lebih luas sehubungan dengan perkembangan baik nasional maupun internasional. Adapun misi kedua adalah misi "demokratisasi hukum pidana" yang antara lain ditandai dengan masuknya Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia dan hapusnya tindak pidana penaburan permusuhan atau kebencian (haatzaai-artikelen) yang merupakan tindak pidana formil dan dirumuskan kembali sebagai tindak pidana penghinaan yang merupakan tindak pidana materiil. Misi ketiga adalah misi "konsolidasi hukum pidana" karena sejak kemerdekaan perundang-undangan hukum pidana mengalami pertumbuhan yang pesat baik di dalam maupun di luar Kitab UndangUndang  Hukum Pidana dengan pelbagai kekhasannya, sehingga perlu ditata kembali dalam kerangka Asas-Asas Hukum Pidana yang diatur dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Di samping itu penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Baru dilakukan atas dasar misi keempat yaitu misi adaptasi dan harmonisasi terhadap pelbagai perkembangan hukum yang terjadi baik sebagai akibat perkembangan di bidang ilmu pengetahuan hukum pidana maupun perkembangan nilai-nilai, standar serta norma yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia internasional.
Pelbagai misi tersebut diletakkan dalam kerangka politik hukum yang tetap memandang perlu penyusunan Hukum Pidana dalam bentuk kodifikasi dan unifikasi yang dimaksudkan untuk menciptakan dan menegakkan   konsistensi,   keadilan,   kebenaran,   ketertiban, dan kepastian hukum dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan nasional, kepentingan masyarakat dan kepentingan individu dalam Negara Republik Indonesia berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Namun, setelah RUU KUHP dan KUHAP ini selesai dirumuskan oleh para pakar, timbullah berbagai pertentangan dari berbagai pihak mengenai isi dari RUU KUHP dan KUHAP. Hal ini menyebabkan ketidak jelasan mengenai dapat atau tidaknya RUU ini diberlakukan. Yang gencar saat ini diberitakan, bahwa RUU KUHP dan KUHAP ini akan melemahkan kerja dari Komisi Pemberantasan Korupsi yang saat ini sedang menjadi lembaga yang diagung-agungkan oleh rakyat Indonesia. Belakangan kemudian muncul opini yang mengatakan bahwa pemerintah sengaja ingin melemahkan KPK lewat RUU KUHP dan KUHAP. Namun, hal itu pun tidak dibenarkan oleh pemerintah. Tentu saja, kita sebagai masyarakat awam dibingungkan oleh perdebatan tersebut. Maka dari itulah, kami menulis makalah ini untuk mencari pembenaran serta sejauh mana pengaruh politik hukum pemerintah dalam hukum pidana terkait dengan RUU KUHP dan KUHAP. Kususnya akan mengkaji mengenai polimik yang terjadi antara Pemerintah, DPR dan KPK.

  1. Rumusan Masalah
Adapun masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini diantaranya:
  1. bagaimana tanggapan para ahli mengenai RUU KUHAP dan KUHP?
  2. pasal-pasal mana saja yang dianggap bermasalah dalam RUU KUHAP dan KUHP?
  3. bagaimana tanggapan pemerintah menyikapi ketidak puasan KPK terhadap RUU KUHAP dan KUHP?
  4. bagaimana pengaruh pemerintah dalam hukum pidana terkait dengan RUU KUHAP dan KUHP?


  1. tujuan penulisan
adapun tujuan dari ditulisnya makalah ini yakni:
  1. untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Politik Hukum.
  2. untuk mengetahui opini para pakar mengenai RUU KUHAP dan KUHP yang sekaligus dapat dijadikan sebagai bahan pemikiran baru.
  3. untuk mengetahui pasal manakah saja yang dianggap dapat melemahkan KPK dalam RUU KUHAP dan KUHP.
  4. untuk mengetahui kualitas kebijakan yang dibuat pemerintah sehubungan dengan RUU KUHAP dan KUHP.
  5. untuk memahami sejauh mana peranan pemerintah dalam RUU KUHAP dan KUHP.
















BAB II
PEMBAHASAN

  1. Opini Para Ahli Terkait RUU KUHAP dan KUHP
Selain disibukkan dengan informasi pemilihan umum 9 april 2014, akhir-akhir ini bangsa Indonesia tengah ramai membicarakan mengenai Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana dan Kitab Hukum Acara Pidana. Diberbagai media, baik cetak maupun elektronik bahkan sampai pula ke social media, topik ini sedang menjadi bahan diskusi yang serius.
Ada banyak sekali opini yang saat ini berkembang dikalangan para akademisi, politisi, maupun masyarakat pada umumnya yang sebahagian besar mengomentari RUU KUHAP dan KUHP tersebut. Beberapa diantaranya mempertanyakan mengenai ketidak tepatannya pembahasan RUU KUHAP dan KUHP ini dibahas, ada pula yang mengkritisi isi dari RUU tersebut. Jika kita melihat kinerja DPR kita pada saat ini, sungguh kecil kemungkinannya untuk dapat memberlakukan RUU ini pada tahun 2014. belum lagi banyaknya kalangan yang masih mempersoalkan materi dari RUU ini, maka kedua factor ini akan menjadi penghalang utama untuk diberlakukannya kedua RUU ini. Untuk lebih mengetahui seputar kedua rancangan undang-undang ini, berikut akan kami sajikan beberapa pandangan tokoh nasional yang cukup dikenal oleh kalayak.
1.                menurut Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, wacana perubahan RUU KUHAP dan KUHP saat ini tidak tepat momentumnya. Pasalnya, untuk mengubah banyaknya pasal dalam RUU KUHP dan KUHAP dibutuhkan waktu minimal setahun. "Jangan-jangan jumlah pasal yang banyak ini tidak cukup waktunya. Kalau bisa, jangan ditargetkan selesai tahun ini juga. Butuh proses yang panjang untuk merevisi banyaknya pasal dalam KUHAP dan KUHP," tegas Jimly di Hotel Sultan, Senayan, Jakarta Selatan, Kamis (6/3/2014). Selain itu, Jimly juga menyesalkan RUU KUHAP dan KUHP baru direvisi saat ini, setelah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memimpin selama 10 tahun sebagai Presiden RI. "Pengajuan KUHAP dan KUHP ini telat. Kenapa baru diajukan sekarang dan tidak diajukan kemarin-kemarin?" pungkas Jimly. (nasional.sindonews.com).
2.                Dr Zaenal Arifin Mochtar dari Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) FH-UGM menyatakan sebaiknya pembahasan revisi KUHP dan KUHAP itu jangan sekarang, waktunya tidak tepat karena 500 lebih anggota DPR bersiap tarung pada pemilu 2014. Revisi KUHP an KUHAP itu jelas melemahkan KPK dan tidak pada tempatnya kalau pemerintah memaksakan revisi itu dilakukan oleh DPR periode sekarang yang sudah hampir habis masa kerjanya. ‘’ Ini masalah hukum yang sangat serius, saya minta DPR dan pemerintah tidak memaksakan untuk dibahas sekarang. Jangan tergesa-gesa. Harus ada proses yang elegan dan rasional untuk mengatasi persoalan tersebut. KPK tidak boleh dibunuh dengan revisi KUHP dan KUHAP, namun KPK juga jangan apriori dengan revisi KUHP dan KUHAP tersebut,’’ kata Zaenal Arifin Mochtar, akademisi FH-UGM. Artinya, hampir pasti tidak mungkin DPR dan pemerintah membahas revisi RUU KUHP dan KUHAP itu sekarang, agar di kemudian hari tidak jadi bumerang. (Dumai Headlines.
3.                Hakim Agung Artidjo Alkotsar menyatakan RUU KUHAP melemahkan seluruh lembaga peradilan di Indonesia yang bernaung di bawah MA. Menurut hakim agung yang memperberat hukuman koruptor Angelina Sondakh ini, dunia bisa menertawakan Indonesia jika RUU KUHAP ditetapkan. “RUU KUHAP melemahkan MA. Nggak bisa dipaksakan, nanti kita ditertawakan internasional,” kata Artidjo di Hotel Bidakara, Jl Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Selasa (4/3/2014), dalam acara pembahasan RUU KHUP/KUHAP. Artidjo kemudian menyinggung pasal dalam RUU KUHAP yang menyatakan kasasi dan Peninjauan Kembali (PK) tak bisa memvonis lebih berat dari pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tinggi. Ia menyatakan kewenangan pengadilan yang lebih tinggi adalah memperbaiki putusan di bawahnya. “Tentu satu hal itu merupakan pasal yang aneh kalau MA dilarang menjatuhkan pidana lebih tinggi dari pengadilan di bawahnya (judex facti). Di negara mana pun juga MA sebagai badan peradilan tertinggi (judex juris) punya kewenangan meluruskan putusan-putusan yang diproduk oleh pengadilan bawahannya kalau pertimbangannya salah, tentu harus diluruskan. Jadi kalau ada aturan hukum yang sangat aneh itu, ya tidak masuk akal,” ujar Artidjo. Hakim agung ini menyarankan pemerintah dan parlemen mempertimbangkan kembali isi RUU KUHAP yang juga diprotes oleh KPK tersebut. “MA menyerahkan konsep dulu baik KUHAP maupun KUHP melalui Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi). Jadi seharusnya dijadikan pertimbangan karena pasal itu sangat aneh. Sejak kapan usulnya? Rekomendasinya harus diubah,” tutup Artidjo.
4.                Ketua MA Hatta Ali berpandangan ketentuan Pasal 250 RUU KUHAP yang melarang putusan MA tidak boleh lebih berat dari putusan Pengadilan Tinggi berpotensi mengancam independensi hakim dalam memutus perkara.
5.                Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menyayangkan upaya-upaya pelemahan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lewat jalur legislasi. KPK akan kehilangan wewenangnya untuk menyadap jika revisi KUHP/KUHAP sepakat harus izin terlebih dahulu kepada hakim. “Ya itu yang kita sayangkan. Kita harus perang, artinya perang opini dan perang dukungan karena bagaimana pun produk legislasi adalah cerminan dari kehendak rakyat. Kalau rakyatnya menolak, saya kira proses legislasi (DPR) juga akan memperhatikan, apa lagi sekarang muncul perlawanan-perlawanan,” kata Mahfud juga pada acara pembahasan RUU KUHP/KUHAP di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa (4/3/2014). Mahfud mengaku lebih setuju agar revisi tersebut ditunda dan dilanjutkan oleh periode selanjutnya. Pasalnya, DPR masa kerja periode DPR saat ini tinggal enam bulan lagi sehingga tidak baik jika dipaksakan untuk terus dibahas. “Kalau saya lebih setuju kalau diendapkan dulu, kan tinggal enam bulan masa kerja DPR. Masa enam atau tujuh bulan mungkin tidak baik kalau memaksakan untuk dibahas terus sehingga biar periode berikutnya saja,” usul bekas Menteri Pertahanan itu. Tentang pelemahan kewenangan KPK, Mahfud mengungkapkan bahwa tercatat 12 kali uji materi (judicial review) mengenai Undang Undang KPK. Namun, MK selalu mendukung penguatan kewenangan KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi sehingga menolak uji materi tersebut. “Sudah 12 kali di undang-undang KPK itu diuji agar dilumpuhkan. Oleh sebab itu MK pada posisi membela KPK.
6.                Sementara itu, mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan mempertanyakan pembahasan RUU KUHP/KUHAP oleh DPR menjelang Pemilihan Umum 2014. “Bulan depan pemilihan umum. Saya katakan, apakah masih arif, apakah masih bijaksana, DPR membahas RUU ini (KUHAP dan KUHP, red), sedangkan dua undang-undang itu namanya saja kitab,” katanya, di Purwokerto, Selasa (4/3/2014). Menurut dia, kitab berarti undang-undang yang memiliki arti sangat besar. “Apalagi dua undang-undang tersebut menyangkut prinsip hak asasi orang, sehingga harus dibahas dengan penuh kehati-hatian,” katanya. Menurut dia, RUU tersebut sebenarnya sudah puluhan tahun disiapkan tetapi baru sekarang dibahas oleh DPR. Padahal, kata dia, satu bulan lagi akan dilaksanakan pemilihan umum. Bagir menyarankan peraturan terobosan untuk menyelesaikan kebekuan pembahasan RUU KUHAP terutama soal penyadapan. Menurut dia, perlu ada peraturan yang lebih spesifik tentang penyadapan. “Salah satu hak asasi manusia yakni kebebasan berkomunikasi,” katanya. Meskipun demikian, dia mengatakan bahwa penyadapan bisa dilakukan sepanjang untuk kepentingan hukum. Menurut dia, penyadapan harus diatur secara spesifik, misalnya siapa yang boleh menyadap dan kapan orang mulai boleh menyadap, apakah saat penyidikan apa penyelidikan. “Itu harus dipastikan. Jangan sampai ada orang tidak berdosa tapi disadap,” kata dia. (Duta Online).
8.                komentar berbeda disampaikan oleh Ketua Tim Perumus Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Andi Hamzah, membantah aturan yang dia susun membatasi aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi ataupun Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Menurut dia, aturan itu sudah dibuat sejak KPK belum ada. "Pihak yang menganggap RUU KUHAP melemahkan KPK berarti tidak membaca lebih teliti naskahnya," kata Andi ketika dihubungi Tempo, Ahad, 9 Maret 2014. Aspek tertentu yang dibahas dalam RUU KUHAP, seperti penyadapan harus seizin pengadilan, kata dia, sudah ada sejak 30 tahun lalu. Andi menyatakan penyadapan dan perekaman merupakan salah satu tindak pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Agar KUHAP selaras dengan aturan ini, kata Andi, penyadapan oleh aparat penegak hukum harus mendapat persetujuan pengadilan agar tak dianggap tindak pidana. Namun, kata dia, penyadapan dan penggeledahan dapat dilakukan dalam keadaan mendesak. (Koran tempo).

Dari berbagai pertentangan pendapat diatas, kita tentu menyadari adanya ketidak harmonisan antara pihak pemerintah dengan pihak penegak hukum. Hal ini sangat terlihat dari perdebatan yang terjadi dalam menyikapi RUU KUHP dan KUHAP. Ini menunjukkan masih lemahnya kordinasi yang terjalin antara pihak eksekutif dengan yudikatif. Sehingga dalam mengeluarkan sebuah regulasi, kita harus berdebat panjang lebar sebelum menyepakati regulasi tersebut.







  1. Pasal-Pasal yang dianggap lemah dalam RUU KUHAP dan KUHP
Diskusi Media mengangkat topik tentang "RUU KUHP dan KUHAP: Implikasi Hukum terhadap Praktek Pemberantasan Korupsi" diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada 29 Oktober 2013, di ruang Auditorium KPK. Hadir narasumber diantaranya Amir Syamsudin (Menteri Hukum dan HAM), Nudirman Munir (Komisi III DPR), Prof. Andi Hamzah (Pakar Hukum), Agustinus Pohan (Pakar Hukum), dan Bambang Widjojanto (Wakil Ketua KPK). Acara dipandu Johan Budi, SP.
Berikut adalah sebahagian kecil pasal-pasal yang dianggap lemah dalam KUHAP:

Pasal
Inti
Dampak
Pasal 3.2
Ketentuan dalam UU ini berlaku juga terhadap tindak pidana yang diatur dalam UU di luar KUHP, kecuali undang-undang tersebut menentukan lain.

Ketentuan ini bisa meniadakan hukum acara khusus dalam penanganan kasus korupsi yang saat ini digunakan KPK. 

Pasal 44

Penuntut umum dapat mengajukan suatu perkara kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk diputus layak atau tidak layak untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan.

Penuntutan kasus korupsi yang ditangani KPK dapat dihentikan oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan. 

Pasal 58
Persetujuan penahanan pada tahap penyidikan yang melebihi 5 x 24 (lima kali dua puluh empat)

KPK dapat dianggap tidak memiliki kewenangan.  Di sini, hanya disebutkan kepala kejaksaan negeri dalam hal penahanan dilakukan oleh kejaksaan negeri; kepala kejaksaan tinggi dalam hal penahanan dilakukan oleh kejaksaan tinggi; atau Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung dalam hal penahanan dilakukan oleh Kejaksaan Agung. 

Pasal 67

Penangguhan Penahanan yang diajukan oleh tersangka atau terdakwa.
Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menangguhkan penahanan yang dilakukan oleh KPK. 

Pasal 75
Penyitaan harus mendapat izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan

Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menolak memberikan persetujuan penyitaan, barang yang disita harus segera dikembalikan kepada pemilik. 

Pasal 83
Penyadapan pembicaraan harus mendapat izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan

Penyadapan pembicaraan hanya dapat dilakukan apabila mendapat persetujuan dari Hakim.

Pasal 84
Dalam keadaan mendesak, penyidik dapat menyadap tanpa surat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan

Jika Hakim Pemeriksa Pendahuluan tidak memberi persetujuan penyadapan, maka penyadapan KPK dihentikan. 
Pasal 240

Terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali putusan bebas.

Kasus korupsi yang diajukan oleh KPK, jika divonis bebas ditingkat pertama atau banding, maka tidak dapat dikasasi. 

Pasal 250

Putusan Mahkamah Agung mengenai pemidanaan tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi.

Kasus korupsi yang diajukan oleh KPK jika divonis berat ditingkat pertama atau banding, maka dapat dipastikan divonis lebih rendah jika dikasasi.


  1. Tanggapan Pemerintah Terhadap Isi Dari RUU KUHP dan KUHAP
Pada tanggal 17 Februari 2014, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta kepada pemerintah sebagai pengusul Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk menarik kedua RUU tersebut dan menyerahkan pada DPR RI periode 2014-2019. berikut adalah inti dari isi surat KPK tersebut tertanggal 17 Februari 2014:
Yth: Presiden, Ketua DPR, Pimpinan Komisi III, Menkumham, Panja RUU KUHP dan KUHAP.
Sehubungan dengan telah dilaksanakannya pembahasan atas RUU KUHP dan RUU KUHAP oleh DPR c.q Panja RUU KUHP dan RUU KUHAP bersama pemerintah saat ini, bersama ini kami sampaikan pandangan dan sikap KPK sesuai kajian yang telah kami lakukan (terlampir) sebagai berikut:
1.                              Revisi RUU adalah sebuah keniscayaan maka harus ditujukan untuk kepentingan perbaikan atas materi perundang-undangan yang bisa menjawab tuntutan kebutuhan publik atas kepastian hukum dan jaminan keadilan serta mendukung peran penegak hukum dalam menjalankan tugasnya.
2.                              Pembahasan RUU KUHAP dan KUHP yang saat ini tengah dilakukan memerlukan pemikiran yang mendalam, utuh dan menjangkau kebutuhan akan perubahan. Pada kenyataannya masa kerja anggota DPR saat ini tersisa kurang lebih 100 hari kerja efektif, sehingga tidak mungkin dilakukan pembahasan secara serius dalam waktu yang begitu singkat, mengingat kedua RUU tersebut memiliki lebih dari 1.000 pasal. Untuk itu pemerintah perlu menarik kembali RUU KUHAP dan KUHP dari DPR dan menyerahkan pembahsannya kepada DPR baru periode 2014-2019.
3.                              Pembahasan RUU KUHAP sebagai hukum pidana formil sebaiknya dilakukan setelah DPR yang baru periode 2014-2019 membahas, menyelesaikan dan mengesahkan RUU KUHP yang baru.
4.                              Meminta pemerintah untuk memperbaiki RUU KUHP dengan mengeluarkan seluruh tindak pidana luar biasa dari buku II RUU KUHP termasuk tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya yang bersifat koruptif yang merupakan delik korupsi berdasarkan UU Tipikor saat ini. Beberapa ketentuan dalam RUU KUHAP juga perlu diperbaiki lebih dahulu, antara lain adanya ketentuan khusus untuk mendukung proses penegakan hukum atas kejahatan korupsi dan kejahatan luar biasa lainnya.

Demikian kami sampaikan pandangan dan sikap KPK atas RUU KUHAP dan KUHP dimaksud. Kami sangat berharap agar penyusunan dan pembahasan suatu RUU lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara untuk mengatasi persoalan-persolan besar yang tengah dihadapi bangsa saat ini. (dikutib dari www.antaranews.com).


Pemerintah memberikan jawaban atas surat KPK yang meminta agar Presiden SBY menarik RUU KUHAP dari DPR. Pemerintah menjamin tak ada niatan melemahkan KPK. Sebagaimana tercantum dalam website kemenkumham.go.id, berikut jawaban lengkap pemerintah tersebut :
<i>Sehubungan dengan pandangan KPK atas pembahasan RUU KUHP dan RUU KUHAP, Pemerintah memberikan tanggapan sebagai berikut:
1.                           Pemerintah dan Tim Penyusun RUU KUHAP tidak ada maksud sama sekali mengebiri atau menghilangkan kewenangan KPK, namun penyusunan kedua RUU tersebut atas dasar sistem hukum nasional dan memperhatikan HAM yang universal.
2.                           Proses penyusunan RUU tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) telah dilakukan oleh Panitia Penyusunan RUU KUHAP yang dibentuk dengan Keputusan Menteri Kehakiman (Menteri Hukum dan HAM) sejak tahun 1999 sampai dengan 2006 yang diketuai oleh Prof. Dr. (jur). Andi Hamzah dan melibatkan pakar hukum pidana (akademisi), praktisi (advokat), Kementerian Sekretariat Negara, serta unsur penegak hukum yaitu Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung RI, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan Mahkamah Agung RI. Dalam kurun waktu penyusunan RUU KUHAP juga dilakukan sosialisasi, seminar, dan FGD dalam rangka penyempurnaan RUU KUHAP.
3.                           Berdasarkan hasil Seminar Hukum Nasional tahun 1963 disepakati perlunya mengganti KUHP produk kolonial Belanda dengan KUHP Nasional. RUU KUHP mulai disiapkan oleh Pemerintah sejak tahun 1982 dilengkapi dengan penyusunan Naskah Akademik (NA) yang dipersiapkan oleh, antara lain, Prof. Oemar Senoadji (alm.), S.H., Prof. R. Soedarto (alm.), S.H., Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A., Prof. Muladi. Pada tahun 2004 dibentuk Panitia Penyusunan RUU KUHP yang anggotanya meliputi pakar hukum pidana (akademisi), praktisi (advokat), unsur penegak hukum yaitu Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung RI, Mahkamah Agung RI. yang diketuai oleh Prof. Muladi. Panitia ini bertugas untuk menyempurnakan rumusan dan melakukan sinkronisasi serta harmonisasi dengan undang-undang lain. Selama kurun waktu penyusunan RUU KUHP tersebut, juga dilakukan sosialisasi, seminar, dan FGD dalam rangka penyempurnaan RUU KUHP.
4.                           Dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor PPE.693.PP.01.02 Tahun 2011 dibentuk Tim Persiapan Pembahasan RUU KUHAP yang salah satu anggotanya adalah Chandra M. Hamzah (pada saat itu sebagai Pimpinan KPK) dan dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor M.HH-01.PP.01.02 Tahun 2011 dibentuk Tim Persiapan Pembahasan RUU KUHP.
5.                           RUU KUHAP dan RUU KUHP disampaikan kepada Presiden dengan surat Menteri Hukum dan HAM nomor M.HH.02.03-57 tanggal 6 Desember 2012.
6.                           RUU KUHAP dan RUU KUHP disampaikan Presiden kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) melalui surat nomor R-87/Pres/12/2012 dan surat nomor R-88/Pres/12/2012 tanggal 11 Desember 2012 dan di dalam surat tersebut Presiden menugaskan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mewakili Presiden dalam pembahasan kedua RUU tersebut di DPR RI guna mendapatkan persetujuan.
7.                           Saat ini pembahasan RUU KUHAP dan RUU KUHP di DPR telah masuk pada tahap panitia kerja yang membahas substansi berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Terkait dengan adanya usulan penarikan kedua RUU tersebut, berdasarkan ketentuan Pasal 70 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diatur bahwa “Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR dan Presiden”. Dengan demikian terhadap RUU KUHAP dan RUU KUHP yang sedang dibahas di Komisi III DPR RI tidak mungkin secara sepihak dapat ditarik oleh Presiden tanpa persetujuan DPR.
8.                           Terkait dengan pandangan dan sikap KPK terhadap kedua RUU tersebut dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut:
a.       RUU KUHP merupakan upaya rekodifikasi hukum pidana sehingga seluruh asas hukum pidana berlaku untuk semua tindak pidana baik yang diatur di dalam KUHP maupun di luar KUHP. Dengan berlakunya KUHP baru, Undang-Undang di luar KUHP bukan berarti menjadi tidak berlaku karena Undang-Undang di luar KUHP merupakan lex specialis. Hal ini secara jelas telah diatur dalam Pasal 757 dan Pasal 758 RUU KUHP. Dengan demikian, RUU KUHP tidak mengeliminasi eksistensi Undang-Undang di luar KUHP dan tidak mendelegitimasi keberadaan lembaga penegak hukum (antara lain KPK).
b.      RUU KUHP dan RUU KUHAP merupakan lex generalis sehingga tidak menghilangkan kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dan hukum acara pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang merupakan lex specialis.
c.       Penerapan pendekatan restorative justice dalam RUU KUHP dan RUU KUHAP sesuai dengan resolusi ECOSOC bulan Juli tahun 2000 tentang “basic principles on the use of restorative justice programmes on criminal matters” yang diadopsi oleh ECOSOC sebagai pedoman untuk penerapannya dalam sistem pidana nasional. Pendekatan ini pada dasarnya ditujukan untuk tindak pidana yang tidak serius yang ancamannya maksimum 5 (lima) tahun jika pelaku berumur diatas atau 70 tahun atau kerugian sudah diganti. Dengan demikian, Pasal 702 RUU KUHP tidak termasuk bagian dari restorative justice dan tidak bertentangan dengan Pasal 42.
d.      Terkait dengan penghapusan penyelidikan dalam RUU KUHAP, hal ini diserahkan kepada setiap institusi yang telah ditentukan dalam undang-undang masing-masing, misalnya Pasal 43 dan Pasal 44Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Selain itu, tindakanpenyelidikan merupakan tindakan yang dilakukan secara diam-diam (tindakan keintelijenan) yang bersifat under cover yang cukup diatur di dalam SOP.
e.       Terkait dengan masa penahanan, mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan sampai dengan kasasi hanya mempunyai perbedaan 41 hari antara RUU KUHAP dan KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981). Masa penahanan dalam RUU KUHAP berjumlah 360 hari, sedangkan dalam KUHAP berjumlah 401 hari. Pembatasan mengenai jumlah masa penahanan disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR yang berlaku secara universal.
f.       Mengenai justice collaborator dan whistle blower pada dasarnya sama dengan saksi mahkota (Pasal 200 RUU KUHAP). Untuk melengkapi ketentuan tersebut, dalam RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah disebutkan justice collaborator dan whistle.
g.      Mengenai hukum acara untuk korporasi, dalam RUU KUHP diatur secara umum dalam Buku I Bab II mengenai Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (Pasal 48, Pasal 50, Pasal 51 dan Pasal 52).
h.      Mengenai penyadapan, dapat diartikan bahwa Pasal 3 ayat (2) RUU KUHAP memberikan keleluasaan kepada undang-undang di luar KUHAP mengatur hukum acaranya masing-masing. Dengan ketentuan tersebut, KPK dapat melakukan penyadapan tanpa meminta izin kepada pengadilan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
i.        Mengenai putusan MA yang tidak boleh melebihi putusan pengadilan dibawahnya, hal ini didasarkan pada kewenangan MA itu sendiriyang hanya memeriksa penerapan hukum dari judex jurist (lihat Pasal 250 ayat (3) RUU KUHAP).</i>. (dikutib dari www.kemenkumham.com).

  1. pengaruh politik hukum pemerintah dalam hukum pidana berkaitan dengan RUU KUHAP dan KUHP

pada bagian sebelumnya, kita telah mengetahui bagaimana tanggapan berbagai pihak mengenai RUU KUHAP dan KUHAP yang saat ini masih menjadi polimik. Kita juga telah mengetahui sebahagian kecil pasal yang menurut beberapa kalangan masih perlu diperbaiki. Selanjutnya, kita akan mengkaji sejauh mana pengaruh pemerintah dalam hal hokum pidana kususnya berkaitan dengan RUU KUHAP dan KUHAP tersebut.
Pada awalnya, pemerintahlah yang pertama menginginkan agar KUHP dan KUHAP direfisi. Tentunya, kita sebagai bangsa Indonesia sangat menyetujui akan rencana pemerintah tersebut. Apalagi, KUHP dan KUHAP yang sedang berlaku sekarang bukanlah produk hukum buatan Indonesia, sehingga didalam kedua kitab tersebut, banyak hal yang sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika hukum pidana di Negara kita. Akhirnya, RUU KUHP dan KUHAP pun dimunculkan untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Namun, setelah RUU kedua kitab ini dikaji oleh beberapa pihak, pertentangan pun muncul. Sebagaimana telah disajikan pada awal makalah ini, ada begitu banyak hal yang perlu diperbaiki dalam RUU tersebut.
Kini, kita tinggal menantikan langkah yang akan diambil oleh pemerintah dan DPR. Apakah kedua RUU ini akan diberlakukan, pemerintah dan DPR-lah yang memiliki tanggung jawab. Rakyat hanya bisa berharap, semoga setiap aturan yang dikeluarkan oleh Negara ini dapat bermanfaat dan dijalankan untuk lebih menguatkan upaya penegakkan hukum dinegara ini yang dinilai banyak kalangan masih lemah.

BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini diantaranya:
  1. sebahagian besar tokoh nasional yang tidak diragukan lagi keahliannya dibidang hukum menyepakati bahwa RUU KUHAP dan KUHP yang saat ini sedang dibahas oleh DPR, tidak tepat momentumnya Pasalnya, untuk mengubah banyaknya pasal dalam RUU KUHP dan KUHAP dibutuhkan waktu minimal setahun. Selain itu, RUU KUHAP melemahkan seluruh lembaga peradilan di Indonesia yang bernaung di bawah MA. Dengan demikian, RUU KUHP dan KUHAP masih perlu dikoreksi agar tidak menjadi boomerang nantinya.
  2. sebahagian kecil pasal yang dianggap bermasalah di dalam RUU KUHAP diantaranya: pasal 3 ayat 2, pasal 44, pasal 58, pasal 67, pasal 75, pasal 83, pasal 84, pasal 240 dan pasal 250. pasal-pasal tersebut dianggap melemahkan KPK dan MA.
  3. pihak pemerintah melalui Menko Polhukam Djoko Suyanto meminta pihak-pihak yang menolak RUU KUHP/KUHP menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM) terkait pasal-pasal yang dianggap melemahkan untuk kemudian dibahas bersama-sama pemerintah dan DPR.
  4. Ketika menganalisa dan mengkaji pasal-pasal yang ada dalam kedua RUU ini, kami menilai ada maksud dari pemerintah untuk melemahkan upaya penegakkan hukum kususnya dalam hal pemidanaan. Ini dapat kita lihat dari berbagai ketentuan yang seolah-olah sengaja diadakan untuk melemahkan kerja dari beberapa lembaga penegak hukum di Indonesia. Yang menjadi pertanyaan kemudian, mengapa pemerintah tidak melibatkan lembaga-lembaga penegak hukum di Indonesia untuk turut serta dalam merumuskan kedua RUU tersebut. padahal, lembaga-lembaga inilah yang akan banyak terlibat didalam mengimplementasikan isi dari kedua RUU tersebut. Selain itu, kami juga memiliki pandangan tersendiri mengapa pemerintah baru gencar membahas kedua RUU ini di ujung kekuasaan rezim penguasa sekarang. Kuat dugaan kami, pemerintah dan pihak legislative (DPR) sengaja melakukan itu untuk berusaha memperbaiki citra mereka diakhir periode kekuasaanya. Sebagaimana kita tahu, ada begitu banyak penyimpangan yang terjadi dimasa pemerintahan saat ini.

  1. Saran
Setelah menganalisa dan menyaksikan berbagai kejadian di media cetak maupun di media massa mengenai kontrofersi revisi RUU KUHP dan KUHAP ini, maka kami menyarankan:
  1. melihat kondisi dari DPR kita pada saat ini yang tidak berkonsentrasi lagi pada tugasnya sebagai badan legislatif, kami menyarankan agar RUU KUHAP dan KUHP yang saat ini berada di DPR untuk dihentikkan pembahasannya. Sebaiknya, RUU ini dilanjutkan pembahasannya ketika DPR yang baru sudah terbentuk.
  2. Pembahasan RUU KUHP dan KUHAP tersebut oleh DPR periode 2014-2019 haruslah melibatkan seluruh lembaga penegak hukum, akademisi dan unsur masyarakat terkait.

DAFTAR PUSTAKA

Rancangan Undang-Undang KUHP dan KUHAP

  1.  
Share:

0 comments:

Post a Comment

BTemplates.com

akhyar. Powered by Blogger.

Total Pageviews

Translate

BTemplates.com

Pages - Menu

Pages - Menu