Blogroll

Thursday 16 October 2014

Hukum Agraria


Penguatan Kelembagaan Hukum Agraria dan Penegakan Hukum Agraria


BAB 1
PENDAHULUAN

A .Latar Belakang
Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi manusia, baik dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan (pendukung mata pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri, maupun yang dipergunakan sebagai tempat untuk bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai tempat tinggal.

Ketentuan yuridis yang mengatur mengenai eksistensi tanah yaitu terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Amanat pasal 33 UUD i945 dan UUPA dikukuhkan melalui TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Reforma Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.Dalam Pasal 2 Tap MPR itu disebutkan,Pembaruan Agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan,pemilikan,penggunaan,dan pemanfaatan sumber daya agrarian dalam rangka terciptanya kepastiaan dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemamuran bagi seluruh rakyat Indonesia.Jadi perintahnya jelas.

Dengan demikian, upaya penguatan lembaga pertanahan menemukan landasan filosofis.ideologis,sosial-kultural,konstitusional,ekonomis,dan ekologis.
Penguatan otoritas pertanahan dengan memperluas kewenangan dan memperbesar kapasitas organisasi Badan Pertanahan Nasional diyakini mampu mengatasi berbagai persoalan keagrariaan di negri ini,termasuk menyukseskan pelaksanaan Reformasi Agraria.Dan apakah dalam faktanya BPN telah mampu mengatasi persoalan tanah yang terjadi selama ini?
Berdasarkan latar belakang diatas Kami bermaksud membuat Makalah dengan judul”Penguatan Kelembagaan Hukum Agraria dan Penegakan Hukum Agraria”.

B.Metode Penulisan
Dalam pengumpulan data-data dalam makalah  ini penulis menggunakan studi kepustakaan (library research),dengan merujuk kepada , buku-buku, internet, dan  media yang relevan. Dalam pengumpulan data-data tersebut penulis lebih mengacu kepada data-data dari internet dan buku-buku, karena keterbatasan penulis dalam mencari data-data yang original.



C.Tujuan Penulisan
1.Untuk mengetahui Lembaga apa saja yang dikuatkan  dalam penegakan hukum agrarian.
2.Untuk mengetahui Bagaimana penegakan hukum agrarian.


















BAB 11
PERMASALAHAN

Dalam makalah ini kami akan membahas tentang :
A. Lembaga apa saja yang dikuatkan  dalam penegakan hukum agraria
B. Bagaimana penegakan hukum agraria


























BAB III
PEMBAHASAN

A.PENGUATAN KELEMBAGAAN HUKUM AGRARIA
1.Kewenangan dan Kapasitas BPN
            Penguatan  lembaga pertanahan sebenarnya sudah sepadan dengan  rentang tugas dan tanggung jawabnya yang sangat besar.Secara normatife,BPN adalah salah satunya lembaga atau instansi di Indonesia yang diberikan kewenangan untuk mengemban amanat dalam mengelola bidang pertanahan.Dalam Perpres  Nomor 10 tahun 2006 tentang Badan pertanahan Nasional disebutkan,BPN melaksanakan tugas pemerintahan dibidang pertanahan secara nasional,regional dan sektoral.Denagan kewenangan itu,BPN memegang kendali perumusan kebijakan nasional dibidang pertanahan,kebijakan teknis,perencanaan dan program,penyelenggaraan pelayanan administrasi pertanahan dalam rangka menjamin kepastian hukum hak atas tanah,penatagunaan tanah,reformasi agraria,termasuk pemberdayaan masyarakat.Bahkan melalui Perpres  yang sama,pemerintah juga telah memprkuat peran dan posisi BPN dengan membentuk deputi yang secara khusus mengkaji dan menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan.
Faktanya BPN tidak mampu mewujudkan seluruh visi,misi,dan program program strategis yang diembannya.BPN menemui banyak kendala akibat banyaknya regulasi dan kebijakan yang tumpang tindih dan karut marutnya administrasi pertanahan yang mengacaukan status hukum atau hak atas tanah.Dalam banyak kasus,BPN tak berdaya ketika terjadi sengketa dan konflik agrariayang terkait dengan kementrian lain,seperti departemen kehutanan,pertanian,pertambangan,pekerjaan umum,bahkan dengan pemerintah daerah yang memiliki kewenangan mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan(IUP).
Hal itu disebabkan karena sejumlah UU yang terbit pasca Reformasi memberikan kewenangan penguasaan,pemanfaatan dan pengelolan lahan kepada sektor sektor tertentu.Undang Undang sektoral yang berpotensi menimbulkan masalah adalah UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan,UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air,UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil,UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara,dan yang terbaru pengesahan Undang undang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan.
Sesuai Perpres Nomor 10 Tahun 2006,semua urusan pertanaha menjadi kewenangan tunggal BPN ,sedangkan departemen dan lembaga negara lainnya hanya berstatus sebagai pengguna (user).Sebagai pengguna kebijakan sector sector lain seperti Hak Guna Usaha(HGU)perkebunan,hutan konservasi dan hutan Industri,serta Izin Usaha Pertanbabgab(IUP)harus selalu berada dibawah koordinasi dan tunduk pada kebijaka dan keputusan BPN.Selain tumpang tindih tersebut berpotensi melegalkan para investor mengambil hak rakyat atas tanah,hutan,tambang,wilayah tangkap ikan,wilayah kelola masyarakat adat dan desa.
Secara structural kewenangan yang besar dan riil sebagai otoritas tertinggi di bidang agrarian akan memperbesar kapasitas BPN dalam melakukan koordinasi dengan DEpartemen departemen dan lembaga negara lainnya yang terkait langsung atau tidak langsung dengan keagrariaan seperti Departemen Pertanian,Kehutanan,Energi dan Sumber Daya Mineral,Transmigrasi,Perumahan,Pekerjaan Umum,Dalam Negri,Pertanahan,POLRI,TNI,Kejaksaan,Hukum dan HAM,Komisi Yudisial dan tentu saja DPR/DPD dan Pemerintah Daerah diseluruh Indonesia.
2.Komisi PenyelesaianKonflik
            Mencermati volume sengketa dan eskalasi konflik pertanahan yang semakin besar dan kompleks serta memproyeksi kecenderungan masa depan,penguatan kelembagaan BPN perlu diikuti dengan pembentukan tiga lembaga independen yang bersifat adhoc yaitu Komisi Penyelesaiaan konflik Agraria(KPKA),Badan Arbitrase Agraria(BAA),dan Peradilan Agraria/Adat.KPKAA dan BAA berorientasi pada pengelolaan dan penyelesaian konflik diluar jalur pengadilan,seperti konsiliasi,fasilitasi/mediasi,negosiasi hingga arbitrase.Spiritnya adalah Win win solution menuju rekonsiliasi para pihak melalui cara penyelesaian yang sederhana,cepat,murah,negotiable,tanpa kekerasan.
Peradilan Agraria/Adat menjadi instrument penyelesaiaan segketa dan konflik pertanahan di jalur pengadilan.Sebagai sebuah pengadilan yang berwatak khas dengan misi yang khusus,peradilan.
            Agraria/Adat  merupakan langkah yang efektif dalam proses pencapaiaan keadilan dan kepastian hukum.Lembaga Peradilan Agama perlu dilengkapi Peradilan Adat sebagai varian dari pendekatan penyelesaiaan sengketa /konflik pertanahan terkait  dengan hak hak dan kepentingan komunal masyarakat Adat yang diakui dalam Konstitusi UUD 1945 ,UUPA tahun 1960,dan TAP MPR Nomor IX Tahun 2001.Pengadilan hukum adat adalah bentuk pluralisme hukum yang hidup di Indonesia(living law).
            Pembentukan Komisi Penyelesaian Konflik Agraria(KPPA)sebenarnya bukan ide baru.Beberapa tahun lalu komnas HAM sudah pernah menyusulkan pembentukan komisi seperti itu.Ide itu kembali mengemuka  belakangan ini seiring dengan maraknya konflik agrarian dan jatuhnya banyak korban luka luka dan meninggal dunia.Bahkan DPRRI berinisiatif membentuk Panitia Kerja (Panja)dan Panitia Khusus (Pansus)DPR yang mermuara pada dua sasaran:mencari jalan yang tepat dan efektif untuk mencegah,menangani,dan menyelesaikan konflik agrarian.
            Kehadiran sebuah Komisi Penyelesaiaan Konflik Agraria yang professional dan bekerja independen mutlak diperlukan melihat potensi semakin maraknya konflik di masa yang akan datang serta kerumitan dan dalamnya akar masalah pertanahan.Tuntutan pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi telah mengeluarkan sejumlah peraturan perundangan yang secara potensial akan mengambil tanah rakyat.Keseluruhann perundang-undangan tersebut berpotensi melegaalkan para investor mengambil hak-hak rakyat atas tanah,hutan,tambang,wilaayah tangkap nelayan,wilayah kelola masyarakat adat dan desa.
            Lembaga Peradilan agrarian/Adat berfungsi sebagai mekanisme pemecahanperkara perdata,pidana dan Administratif.Jika semua perkara Agraria berada dibawah satu atap tidak perlu terjadi lagi perkara Agraria terkatung-katung hanya karena Peradilan Tata Usaha Negara tidak bisa membuat keputusan hukum akibat harus menunggu keeputusan Pengadilan Tinggi terkait aspek pidananya.Output yang diharapkan adalah jaminan kepastian hukum  dan perlindungan hak-hak dibidang sosial,ekonomi,budaya dan ekologi.
            Pemberian kewenangan yang besar terhadap BPN dan pembentukan KPKA,Lembaga Arbitrase Agraria,dan Peradilan Agraria/Adat adalah sebuah kebutuhan vital dan bernilai strategis untuk jangka pendek  maupun jangka panjang.Sebab,masalah agrarian di Indonesia memiliki akar masalah kesejarahan yang panjang ,tingkat kerumitan yang tinggi,serta dimensi problematika untuk jangka waktu yang jauh kedepan,Disisi lain,tuntutan pembangunan infrastruktur dan industri ekstraktif untuk mengejar pertumbuhan ekonomi secara legal berpotensi mengambil tanah rakyat sehingga bakal memicu konflik dan sengketa sosial.
            Kehadiran tiga lembaga independen tersebut semakin penting dan urgen ketika pemerintah saat ini mempersiapkan pelaksanaan agenda besar Reforma Agraria.Sebab ,sengketa dan konflik diperkirakan akan bertambah rumit jika Reforma Agraria dengan Reforma utama redistribusi tanah benar-benar direalisasikan.
            Namun penguatan kelembagaan agrarian harus didukung system administrative pertanahan yang berbasis teknologi,penerapan prinsip-prinsip Rule of law dan Goog Government Governance(GGG),manajemen konflik yang efektif efisien,dan strategi penanganan dan penyelesaian yang tepat dengan dimotori para professional yang handal dengan kemampuan terlatih seperti mediator,fasilitator,negosiator,hingga penyidik dan hakim pertanahan,yang tersebarditingkat pusat maupun daerah..
            Otoritas yang kuat dan berwibawa penerapan prinsip-prinsip rule of law dan Good Government Governance(GGG) dan tenaga-tenaga keahlian khusus yang terlatih akan meningkatkan kapasitas lembaga agrarian dalam berbagai upaya pencegahan,pengelolaan,dan penyelesaiaan sengketa dan konflik maupun perkara pertanahan.Lebih dari itu akan meningkatkan kepercayaan (trust) rakyat kepada pemerintah dan lembaga penegak hukum dalam menyelesaikan berbagai konflik dan kasus pertanahan diseluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia,hari ini dan hari-hari mendatang.Disinilah pentingnya kehadiran Komisi Penyelesaian Konflik Tanah(KPKT) denagan tiga tugas pokok.
a.Pencegahan Konflik

Pencegahan, terutama mendesak DPR agar mereformasikan seluruh regulasi di bidang agrarian agar terdapat keseimbangan antara kepentingan pembangunan(infestor) dengan kepentingan rakyat sebagaimana diamanatkan pasal 33 UUD 1945 dan UUP tahun 1960. Selain itu, mensinkronisasikan seluruh regulasi yang ada sehingga tidak terjadi lagi ketumpang tindihan antar sector. Yang tak kalah penting adalah memastikan seluruh peraturan pelaksanaan undang-undang yang ada menerjemahkan secara tepat ketentuan-ketentuan perundang-undangan dan tidak terjadi tumpang tindih.

Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan seluruh regulasi oleh instansi-instansi terkait, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Melakukan inventarisasi dan kajian ilmiah terhadap akar konflik secara umum, membuat pemetaan kawasan yang rawan konflik, dan menyusun blueprint pencegahan, pengelolaan dan penyelesaian beragam tipologi masalah pertanahan.

b.Pengelolaan konflik

Pengelolaan konflik dimulai dengan pengkajian mendalam setiap konflik pertanahan yang muncul. Hasil kajian tersebut berujung pada rekomendasi-rekomendasi tentang pendekatan yang efektif, model penyelesaian yang tepat, lembaga-lembaga yang perluh dilibatkan dalam penyelesaian konflik.
Mencermati tipologi kasus agrarian yang terjadi di Indonesia selama ini maka dalam upaya pencegahan, penanganan dan penyelesaian BPN/kementrian agrarian maupun KPKA dituntut melakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait. Setidaknya, ada dua kategori lembaga yang penting.
Pertama, departemen-departemen terkait, seperti kehutanan, pertanian, ESDM, transmigrasi, pekerjaan umum, BUMN, dalam negeri, Kedua, lembaga penegak hukum seperti, kepolisian, kejaksaan, kehakiman, komisi yudisial.
Tujuh departemen yang disebutkan pertama adalah pengguna(user) lahan untuk kawasan hutan industri dan hutan konservasi, perkebunan, kawasan tambang migas, batu bara, dan mineral, daerah tujuan transmigrasi, dan pembangunan kepentingan umum.


Pihak kepolisian dilibatkann untuk mengendalikan konflik di lapangan agar terhindar dari tindakan-tindakan anarkis yang melanggar hukum dan hak-hak asasi manusia. Sedangkan pihak kejaksaan dan kehakiman dalam mengelola konflik, KPKA dituntut untuk bekerja berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah dan good government governance(GGG). Kedua prinsip kerja tersebut sangat penting dan menentukan keberhasilan mengendalikan dan menyelesaikan konflik, terutama ketika mengkaji akar masalah, menyusun peta masalah, merumuskan model atau bentuk penyelesaian konflik.
  
c. Penyelesaian konflik

Jalur pengadilan tentu saja bukan domein komisi penyelesaian konflik agraria. Namun, KPKA memiliki kewenangan untuk mendorong para para pihak yang terlibat konflik untuk mengarahkan penyelesaian konflik melalui jalur huku. KPKA bisa mendorong para pihak ke jalan hukum jika menilai bahwa pendekatan hukum adalah jalur paling tepat untuk menyelesaikan konflik.
Tugas atau misi utama KPKA sejatinya adalah menyelesaikan konflik di luar jalur hukum. Ada beberapa varian penyelesaiaan konflik di luar jalur hukum yaitu, konsiliasi, mediasi, negoisasi, dan arbitrase. Untuk mencapai hasil yang bermutu dan memuaskan semua pihak yang terlibat konflik, maka KPKA harus melengkapi diri dengan tenaga-tenaga professional dengan keahlian khusus yaitu, konsiliator, mediator, negotiator, dan arbitrator.
Selain itu KPKA berpeluang menyelesaikan konflik jika proses kerjanya menjalankan tiga hal yaitu:
·         Memenuhi prinsip-prinsip manajemen modern yaitu, keterbukaan, akuntabilitas, pertanggungjawaban, kepatutan, dan keadilan.
·         Memakai pendekatan holistic
Kompleksitas persoalan agrarian di Indonesia menurut KPKA memakai pendekatan menyeluruh(holistic).pendekatan hukum saja dalam sejumlah kasus tidak efektif tanpa diikuti pendekatan politik, social, budaya, dan ekologis.
·         Paradigm baru
Dalam mengendalikan dan menyelesaikan konflik, KPKA harus meninggalkan paradigm lama yang feodalistik, birokratis, sentralistik, kapitalistik, otoriter, dan refresif. Barisan professional KPKA, khususnya yang bekerja di ujung tombak, di tuntut memakai paradigm baru yang populis, professional, desentralistik, demokratis, persuasive, dan menghormati hak-hak asasi manusia..

3.Lembaga Peradilan Agraria

Peradilan agrarian/adat menjadi instrument penyelesaiaan sengketa dan konflik pertana
han di jalur pengadilan. Sebagai sebuah pengadilan yang berwatak khas dengan misi yang khusus, peradilan agrarian/adat merupakan langkah yang efektif dalam proses pencapaian keadilan dan kepastian hukum. Lembaga peradilan agrarian perlu dilengkapi peradilan adat sebagai varian dari pendekatan penyelesaiaan sengketa/konflik pertanahan terkaitdengan hak-hak dan kepentingan komunal masyarakat adat yang diakui dalam konstitusi UUD 1945, UUPA tahun 1960, dan TAP MPR Nomor IX tahun 2001. Pengadilan hukum adat adalah bentuk pluralism hukum yang hidup di Indonesia.
Sebagai referensi, pemerintah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) dengan misi tunggal: mencegah dan memberantas korupsi. Komnas HAM didukung pengadilan HAM dan KPK dilengkapi denga Pengadilan Tindak Pidana Korupsi(Tipikor), maka sudah sewajarnya KPKA pun ditopang oleh Pengadilan Agraria/Adat.
Lembaga peradilann agrarian sebenarnya bukan ide baru. Pada masa orde lama, pernah ada pengadilan khusus Land Reform berdasarkan Undang-undang Pengadilan Land Reform tahun 1964 yang khusus menangani kasus-kasus sengketa tanah yang muncul akibat pelaksanaan program massif Land Reform pada masa itu. Namun sejak dihapusnya Pengadilan Land Reform melalui UU No 7 tahun 1970, perkara sengketa pertanahan dikembalikan ke pengadilan negeri.

Lembaga Peradilan Agrarian/Adat berfungsi sebagai mekanisme pemecahan perkara perdata, pidana, dan administrative. Jika semua perkara agrarian berada di bawah satu atap, tidak perlu terjadi lagi perkara agrarian terkatung-katung hanya karena Pengadilan Tata Usaha Negara tidak bisa membuat keputusan hukum akibat harus menunnggu keputusan pengadila tinggi terkait aspek pidananya. Output yang diharapkan adalah jaminankepastian hukum dan perlinndungan  hak-hak rakyat di bidang social, ekonomi, budaya dan ekologi.
Pemberian kewenangan yang besar kepada BPN dan pembentukan KPKA, Lembaga Arbitrase Agraria, dan Peradilan Agraria/Adat adalah sebuah kebutuhan vital dan bernilai strategis untuk jangka pendek maupun jangka panjang, sebab masalah agrarian di Indonesia memiliki  akar masalah kesejarahan yang panjang, tingkat kerumita yang tinggi, serta dimensi problematika unntuk jangka waktu yang jauh kedepan. Disisi lain tuntutan pembangunan infrastruktur dan industry ekstraktif untuk mengejar pertumbuhan ekonomi secara legal berpotensi mangambil tanah rakyat sehingga bakal memicu sengketa dan konflik social.
Kehadiran tiga lembaga independen tersebut semakin penting dan urger ketika pemerintah saat ini mempersiapkan pelaksaan agenda besar Reforma Agraria. Sengketa dan konflik di perkirakan akan bertambah rumit jika Reforma Agraria dengan agenda utama redistribusi tanah benar-benar direalisasikan.
Namun, penguatan kelembagaan agrarian haru didukung system administrasi pertanahan yang berbasis teknologi, penerapan prinsip-prinsip rule of law da good government governance(GGG), manajemen konflik yang efektif,efisien, dan strategi penanganan dan penyelesaian yang tepat dengan dimotori para professional yang handal dengan kemampuan terlatih seperti mediator, fasilitator, negoisator,hingga penyidik dan hakim pertanahan yang tersebar di tingkat pusat maupun di daerah.
Otoritas yang kuat dan berwibawa penerapan prinsip-prinsip rule of law dan good government governance(GGG) dan tenaga-tenaga berkeahlian khusus yang terlatih akan meningkatkan kapasitas lembaga agrarian dalam berbagai upaya penegakan, pengelolaan, dan penyelesaiaan sengketa dan konflik maupun perkara pertanahan. Lebih dari itu akan meningkatkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah dan lembaga penegak hukum dalam menyelesaikan berbagai konflik dan kasus pertanahan di seluruh wilayah hukum NKRI  hari ini dan hari-hari mendatang.






B. PENEGAKAN HUKUM AGRARIA
            Penegakan hukum mencakup segala aktifitas atau upaya menerapkan hukum atau peraturan secara tepat,adil,dan trasparan,baik yang dilakukan oleh lembaga  legislative,eksekutif,yudikatif maupun masyarakat.Secara umum factor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum,meliputi hukum itu sendiri (produk hukum),penegak hukum,sarana dan prasarana,kesadaran hukum masyarakat,perkembangan masyarakat,kebudayaan dan factor politik atau penguasa negara.Penegakan hukum seyogyanya merupakan upaya mewujudkan nilai nilai keutamaan yang terkandung dalam kaidah hukum bukan sekedar menjalankan mekanisme formal belaka.Penegakan hukum tidak berhenti sampai pada pengandalan procedural normal sehingga membuat penegakan hukum seolah-olah bersifat mekanistik,tetapi berlanjut pada penerapan nilai-nilai subtantifnya.
            Upaya Penegakan hukum yang dilakukan oleh lembaga legislative adalah menjadikan Konstitusi UUD 1945 dan dasar negara Pancasila  sebagai acuann dasar pembuatan UU Agraria.Itu artinya nilai-nilai dasar Negara Pancasila dan Konstitusi  UUD 1945 seperti moral,kesejahteraan, keadilan,kesetaraan,dan penegakan hak asasi harus diakomodasi dalam peraturan perundang-undangan keagrarian berikut peraturan pelaksaan dibawahnya.Selain itu,lembaga legislative juga mengawasi pelaksanaan  undang-undang oleh lembaga Eksekutif dan Yudikatif.
            Penegakan hukum dan HAM oleh lembaga eksekutif terwujud dalam pelaksanaan ketentuaan
Ketentuan perundang-undangan melalui dua cara. Pertama, melalui pembuatan peraturan pelaksanaan undang-undang seperti peraturan pemerintah, praturan presiden, keputusan presiden, peraturan menteri. Kedua, melalui eksekutif berbagai peraturan pelaksanaan itu di lapangan. Di atas semua itu lembaga eksekutif harus bekerja berdasarkan nilai-nilai substansial dan tidak berhenti pada prosedur atau tata cara hukum saja. Nilai-nilai fundamental yang di maksud adalah nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah dan edeologi Negara. Pancasila dan konstitusi, UUD 1945, seperti keadilan kesejahteraan, demokratis, dan hak asasi. Dengan demikian berbagai peraturan pelaksanaan undang-undang yang dibuat oleh pemerintah tidak bersifat otoriter dan refresif, tetapi harus implementatif, realistic dan mengandung nilai-nilai keadilan.
Lembaga yudikatif menegakkan hukum dan HAM mulai dari proses penyidikan, penyelidikan hingga keputusan-keputusan pengadilan. Dengan demikian lembaga yudikatif yang berkewajiban menegakkan hukum dan HAM adalah kepolisian, kejaksaan,dan hakim. Demi efektifitas penegakan hukum dan HAM, para penegak hukum harus menyiapkan piranti hukum, baik kontruksi maupun interpretasi hukum. Dalam penafsiran, yang digunakan bukan logika peraturan semata, melainkan kenyataan yang ada dalam masyarakat.
Faktanya, intensnya konflik agrarian dalam satu dasawarsa belakangan ini disebabkan oleh hukum yang tidak memadai dan terjadinya konflik hukum. Masih ada produk hukum yang tidak memadai, baik dari aspek legal formal maupun material. Seumpamanya sampai sekarang UU Pokok Agraria Nomor 20 Tahun 1960 tidak diganti maupun direvisi, padahal UU tersebut tidak mampumenjawab semua agrarian di era pembangunan yang kian pesat.berkaitan dengan konflik hukum, banyak UU sektoral yang tumpang tindih, saling bertentangan, bahkan saling menegasikan.Undang Undang Kehutanan dan Undang Undang minerba, misalnya bertentangan dan saling menegasikan dengan Undang undang Otonomi Daerah.Sengketa dan konflik juga banyak disebabkan oleh tumpang tindih izin penguasaan  dan pemanfaatan  lahan.
Praktik dilapangan menunjukkan bahwa penegakan hukum belum sepenuhnya dijalankan oleh lembaga yudikatif.Hal ini terlihat dalam proses peradilan yang berbelit,memakan waktu lama,dan mahal dalam menyelesaikan sengketa atau konflik Agraria.Idealnya peradilan agrarian berada dibawah satu atap sehingga proses peradilan menjadi efektif ,efisien,cepat,mudah dan murah.Namun kini belum ada peradilan khusus agrarian.
Pada prinsipnya penegakan hukum agrarian perlu dilakukan secara komprehensif,terutama dalam mewujudkan penegakan hukum pada perkara-perkara terkait sumber daya agrarian.Ada tiga factor yang mempengaruhi  penegaakan hukum dibidang agrarian yaitu factor koordinasi,kapasitas penegak hukum,dan factor korupsi.
Keberhasilan penegak hukum tercapai jika dilakukan berdasarkan komitmen bersama melalui pelaksanaan tugas yang terintegrasi dan terkoordinasi.Dalam  hal tata kelola perizinan,misalnya perlu dilakukan audit terhadap semua perizinzan  yang trasparan  mengingat perizinan dapat dikeluarkan secara sektoral.
Satu hal yang urgen adalah segera dibentuk kelembagaan hukum agrarian satu atap sehingga penanganan kasus hukum ,pidana,oerdata,dan tata usaha  terkait agrarian dapat lebih efektif ,efisien,murah dan akurat.Lembaga hukum satu atap juga penting untuk menjawab persoalan klasik tentang perbedaan penafsiran norma hukum.Dengan demikian,para hakim dapat menyamakan persepsi terhadap penanganan perkara dibidang  sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Terkait kapasitas penegak hukum,perlu diadakan pelatihan khusus sehingga aparat penegak hukum yang menangani perkara-perkara menyangkut penanganan sumber daya agrarian dengan tuntas.Selain itu penegak hukum yang menangani perkara –perkara agrarian harus dilihat rekam jejak kompetensi,dan integritasnya,sehingga tidak mudah terjerumus kasus korupsi.Hal ini mengingat pidana korupsi juga terjadi dalam perkara pengelolaan sumber daya agrarian.
Persoala korupsi juga tidak dapat dipisahkan dari proses pengelolaan dan perumusan sumber daya agrarian terutama dalam  hal perizinaan untuk  usaha perkebunan dan pengelolaan hutan.Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak usaha perizinan perkebunan dan pengelolaan hutan yang illegal.Tidak jarang juga perizinan dikeluarkan melalui upaya penyuapan .Oleh karena itu perkara-perkara yang menyangkut sector perkebunan dan kehutanan harus ditangani secara tuntas demi terwujudnya penegakan hukum .Diatas semua itu dalam  menangani perkara terkait agrarian, penerapan hukum progresif perlu dikedepankan.

Kehilangan keadilan dan kebaikan umum sama dengan kehilangan hukum sendiri.karena itu aturan  hukum belum tentu mengungkapkan  sepenuhnya keadilan dalam sebuah perkara.dalam perspektif itu hakim progresif harus bisa mengabaikan pasal-pasal,dalam undang-undang lalu berusaha menemukan  hukum baru agar keputusannya benar-benar adil.
Ditengah kelemahan filosofis-ideologis  berbagai undang-undang sektoral terkait agrarian dalam kompleksitas masalah penegakan hukum dinegri ini,penegak hukum progresif dibidang sangat dibutuhkan .Dengan kehadiran mereka,dapat dipastikan pengelolaan,penguasaan,dan pemanfaatan sumber daya agrarian bermuara pada terciptanya eadilan subtansial dan membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat.Penegak hukum progresif merupakan benteng terakhir yang bisa menyelamatkan kekayaan sumber daya alam dan kelestaria lingkungan demi sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat hari ini dan generasi anak cucu kita di masa datang.




BAB IV
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
BPN adalah salah satunya lembaga atau instansi di Indonesia yang diberikan kewenangan untuk mengemban amanat dalam mengelola bidang pertanahan. Namun faktanya BPN tidak mampu mewujudkan seluruh visi,misi,dan program program strategis yang diembannya.BPN menemui banyak kendala akibat banyaknya regulasi dan kebijakan yang tumpang tindih dan karut marutnya administrasi pertanahan yang mengacaukan status hukum atau hak atas tanah.
Dalam hal penguatan kelembagaan ,BPN perlu diikuti dengan pembentukan tiga lembaga independen yang bersifat adhoc yaitu Komisi Penyelesaiaan konflik Agraria(KPKA),Badan Arbitrase Agraria(BAA),dan Peradilan Agraria/Adat.KPKAA dan BAA berorientasi pada pengelolaan dan penyelesaian konflik diluar jalur pengadilan,seperti konsiliasi,fasilitasi/mediasi,negosiasi hingga arbitrase.Adapu penyelasaian konflik agrarian    melalui jalur pengadilan dibentuk Lembaga Peradilan Agraria.
.           Adapun praktik di lapangan menunjukkan bahwa penegakan hukum belum sepenuhnya dijalankan oleh lembaga yudikatif.Hal ini terlihat dalam proses peradilan yang berbelit,memakan waktu lama,dan mahal dalam menyelesaikan sengketa atau konflik Agraria.Idealnya peradilan agrarian berada dibawah satu atap sehingga proses peradilan menjadi efektif ,efisien,cepat,mudah dan murah.Namun kini belum ada peradilan khusus agrarian.
B. SARAN
Untuk mengawasi persoalan agrarian di negri ini ,perlu diberikan kewenangan yang besar terhadap BPN,Pembentukan KKPA,Lembaga Arbitrase Agraria,dan Peradilan Agraria.Dan seharusnya semua perkara pidana berada dibawah satu atap,sehingga perkara pidana tidak terkatung-katung hanya karena pengadilan Tata Usaha Negara tidak bisa membuat keputusan hukum karena harus menunggu keputusan pengadilan tinggi terkait aspek pidananya.Dan terkait kapasitas penegak hukum,perlu diadakan pelatihan khusus sehingga dapat menangani perkara-perkara agrarian engan tuntas.Selai itu penegak hukum yang menangani perkara harus dilihat rekam jejak,kompetensi dan integritasnya sehingga tidak mudah terjerumus dalam korupsi.

DAFTAR PUSTAKA

Bernard Limbong, Hukum Agrarian nasional, Margareta Pustaka, Jakarta,2012.
Share:

0 comments:

Post a Comment

BTemplates.com

akhyar. Powered by Blogger.

Total Pageviews

Translate

BTemplates.com

Pages - Menu

Pages - Menu