Penguatan Kelembagaan Hukum Agraria dan Penegakan Hukum Agraria
BAB 1
PENDAHULUAN
A .Latar Belakang
Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat
vital bagi manusia, baik dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari
penghidupan (pendukung mata pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian,
perkebunan, peternakan, perikanan, industri, maupun yang dipergunakan sebagai
tempat untuk bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai tempat tinggal.
Ketentuan
yuridis yang mengatur mengenai eksistensi tanah yaitu terdapat dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(selanjutnya disebut UUPA), yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33
ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Amanat
pasal 33 UUD i945 dan UUPA dikukuhkan melalui TAP MPR Nomor IX Tahun 2001
tentang Reforma Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.Dalam Pasal 2 Tap MPR
itu disebutkan,Pembaruan Agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan
berkenaan dengan penataan kembali penguasaan,pemilikan,penggunaan,dan
pemanfaatan sumber daya agrarian dalam rangka terciptanya kepastiaan dan
perlindungan hukum serta keadilan dan kemamuran bagi seluruh rakyat Indonesia.Jadi
perintahnya jelas.
Dengan
demikian, upaya penguatan lembaga pertanahan menemukan landasan
filosofis.ideologis,sosial-kultural,konstitusional,ekonomis,dan ekologis.
Penguatan
otoritas pertanahan dengan memperluas kewenangan dan memperbesar kapasitas
organisasi Badan Pertanahan Nasional diyakini mampu mengatasi berbagai
persoalan keagrariaan di negri ini,termasuk menyukseskan pelaksanaan Reformasi
Agraria.Dan apakah dalam faktanya BPN telah mampu mengatasi persoalan tanah
yang terjadi selama ini?
Berdasarkan latar belakang diatas Kami bermaksud
membuat Makalah dengan judul”Penguatan
Kelembagaan Hukum Agraria dan Penegakan Hukum Agraria”.
B.Metode
Penulisan
Dalam pengumpulan data-data dalam makalah ini penulis menggunakan studi kepustakaan (library research),dengan merujuk kepada , buku-buku, internet, dan media yang relevan. Dalam pengumpulan
data-data tersebut penulis lebih mengacu kepada data-data dari internet
dan buku-buku, karena keterbatasan penulis dalam mencari data-data yang
original.
C.Tujuan Penulisan
1.Untuk
mengetahui Lembaga apa saja yang dikuatkan
dalam penegakan hukum agrarian.
2.Untuk
mengetahui Bagaimana penegakan hukum agrarian.
BAB 11
PERMASALAHAN
Dalam makalah ini kami akan membahas
tentang :
A. Lembaga apa saja yang
dikuatkan dalam penegakan hukum agraria
B. Bagaimana penegakan hukum agraria
BAB III
PEMBAHASAN
A.PENGUATAN KELEMBAGAAN HUKUM AGRARIA
1.Kewenangan
dan Kapasitas BPN
Penguatan lembaga pertanahan sebenarnya sudah sepadan
dengan rentang tugas dan tanggung
jawabnya yang sangat besar.Secara normatife,BPN adalah salah satunya lembaga
atau instansi di Indonesia yang diberikan kewenangan untuk mengemban amanat
dalam mengelola bidang pertanahan.Dalam Perpres
Nomor 10 tahun 2006 tentang Badan pertanahan Nasional disebutkan,BPN
melaksanakan tugas pemerintahan dibidang pertanahan secara nasional,regional
dan sektoral.Denagan kewenangan itu,BPN memegang kendali perumusan kebijakan
nasional dibidang pertanahan,kebijakan teknis,perencanaan dan
program,penyelenggaraan pelayanan administrasi pertanahan dalam rangka menjamin
kepastian hukum hak atas tanah,penatagunaan tanah,reformasi agraria,termasuk
pemberdayaan masyarakat.Bahkan melalui Perpres
yang sama,pemerintah juga telah memprkuat peran dan posisi BPN dengan
membentuk deputi yang secara khusus mengkaji dan menyelesaikan sengketa dan
konflik pertanahan.
Faktanya
BPN tidak mampu mewujudkan seluruh visi,misi,dan program program strategis yang
diembannya.BPN menemui banyak kendala akibat banyaknya regulasi dan kebijakan
yang tumpang tindih dan karut marutnya administrasi pertanahan yang mengacaukan
status hukum atau hak atas tanah.Dalam banyak kasus,BPN tak berdaya ketika
terjadi sengketa dan konflik agrariayang terkait dengan kementrian lain,seperti
departemen kehutanan,pertanian,pertambangan,pekerjaan umum,bahkan dengan
pemerintah daerah yang memiliki kewenangan mengeluarkan Izin Usaha
Pertambangan(IUP).
Hal
itu disebabkan karena sejumlah UU yang terbit pasca Reformasi memberikan
kewenangan penguasaan,pemanfaatan dan pengelolan lahan kepada sektor sektor
tertentu.Undang Undang sektoral yang berpotensi menimbulkan masalah adalah UU
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan,UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan,UU Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air,UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau Pulau Kecil,UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan
Batubara,dan yang terbaru pengesahan Undang undang Pengadaan Tanah untuk
Pembangunan.
Sesuai
Perpres Nomor 10 Tahun 2006,semua urusan pertanaha menjadi kewenangan tunggal
BPN ,sedangkan departemen dan lembaga negara lainnya hanya berstatus sebagai
pengguna (user).Sebagai pengguna kebijakan sector sector lain seperti Hak Guna
Usaha(HGU)perkebunan,hutan konservasi dan hutan Industri,serta Izin Usaha
Pertanbabgab(IUP)harus selalu berada dibawah koordinasi dan tunduk pada
kebijaka dan keputusan BPN.Selain tumpang tindih tersebut berpotensi melegalkan
para investor mengambil hak rakyat atas tanah,hutan,tambang,wilayah tangkap
ikan,wilayah kelola masyarakat adat dan desa.
Secara
structural kewenangan yang besar dan riil sebagai otoritas tertinggi di bidang
agrarian akan memperbesar kapasitas BPN dalam melakukan koordinasi dengan
DEpartemen departemen dan lembaga negara lainnya yang terkait langsung atau
tidak langsung dengan keagrariaan seperti Departemen Pertanian,Kehutanan,Energi
dan Sumber Daya Mineral,Transmigrasi,Perumahan,Pekerjaan Umum,Dalam
Negri,Pertanahan,POLRI,TNI,Kejaksaan,Hukum dan HAM,Komisi Yudisial dan tentu
saja DPR/DPD dan Pemerintah Daerah diseluruh Indonesia.
2.Komisi
PenyelesaianKonflik
Mencermati volume sengketa dan
eskalasi konflik pertanahan yang semakin besar dan kompleks serta memproyeksi
kecenderungan masa depan,penguatan kelembagaan BPN perlu diikuti dengan
pembentukan tiga lembaga independen yang bersifat adhoc yaitu Komisi Penyelesaiaan konflik Agraria(KPKA),Badan
Arbitrase Agraria(BAA),dan Peradilan Agraria/Adat.KPKAA dan BAA berorientasi
pada pengelolaan dan penyelesaian konflik diluar jalur pengadilan,seperti
konsiliasi,fasilitasi/mediasi,negosiasi hingga arbitrase.Spiritnya adalah Win win solution menuju rekonsiliasi
para pihak melalui cara penyelesaian yang sederhana,cepat,murah,negotiable,tanpa kekerasan.
Peradilan
Agraria/Adat menjadi instrument penyelesaiaan segketa dan konflik pertanahan di
jalur pengadilan.Sebagai sebuah pengadilan yang berwatak khas dengan misi yang
khusus,peradilan.
Agraria/Adat merupakan langkah yang efektif dalam proses
pencapaiaan keadilan dan kepastian hukum.Lembaga Peradilan Agama perlu
dilengkapi Peradilan Adat sebagai varian dari pendekatan penyelesaiaan sengketa
/konflik pertanahan terkait dengan hak
hak dan kepentingan komunal masyarakat Adat yang diakui dalam Konstitusi UUD
1945 ,UUPA tahun 1960,dan TAP MPR Nomor IX Tahun 2001.Pengadilan hukum adat
adalah bentuk pluralisme hukum yang hidup di Indonesia(living law).
Pembentukan Komisi Penyelesaian
Konflik Agraria(KPPA)sebenarnya bukan ide baru.Beberapa tahun lalu komnas HAM
sudah pernah menyusulkan pembentukan komisi seperti itu.Ide itu kembali
mengemuka belakangan ini seiring dengan
maraknya konflik agrarian dan jatuhnya banyak korban luka luka dan meninggal
dunia.Bahkan DPRRI berinisiatif membentuk Panitia Kerja (Panja)dan Panitia
Khusus (Pansus)DPR yang mermuara pada dua sasaran:mencari jalan yang tepat dan
efektif untuk mencegah,menangani,dan menyelesaikan konflik agrarian.
Kehadiran sebuah Komisi
Penyelesaiaan Konflik Agraria yang professional dan bekerja independen mutlak
diperlukan melihat potensi semakin maraknya konflik di masa yang akan datang
serta kerumitan dan dalamnya akar masalah pertanahan.Tuntutan pembangunan yang
mengejar pertumbuhan ekonomi telah mengeluarkan sejumlah peraturan perundangan
yang secara potensial akan mengambil tanah rakyat.Keseluruhann
perundang-undangan tersebut berpotensi melegaalkan para investor mengambil
hak-hak rakyat atas tanah,hutan,tambang,wilaayah tangkap nelayan,wilayah kelola
masyarakat adat dan desa.
Lembaga Peradilan agrarian/Adat
berfungsi sebagai mekanisme pemecahanperkara perdata,pidana dan
Administratif.Jika semua perkara Agraria berada dibawah satu atap tidak perlu
terjadi lagi perkara Agraria terkatung-katung hanya karena Peradilan Tata Usaha
Negara tidak bisa membuat keputusan hukum akibat harus menunggu keeputusan
Pengadilan Tinggi terkait aspek pidananya.Output yang diharapkan adalah jaminan
kepastian hukum dan perlindungan hak-hak
dibidang sosial,ekonomi,budaya dan ekologi.
Pemberian kewenangan yang besar
terhadap BPN dan pembentukan KPKA,Lembaga Arbitrase Agraria,dan Peradilan
Agraria/Adat adalah sebuah kebutuhan vital dan bernilai strategis untuk jangka
pendek maupun jangka panjang.Sebab,masalah
agrarian di Indonesia memiliki akar masalah kesejarahan yang panjang ,tingkat
kerumitan yang tinggi,serta dimensi problematika untuk jangka waktu yang jauh
kedepan,Disisi lain,tuntutan pembangunan infrastruktur dan industri ekstraktif
untuk mengejar pertumbuhan ekonomi secara legal berpotensi mengambil tanah
rakyat sehingga bakal memicu konflik dan sengketa sosial.
Kehadiran tiga lembaga independen
tersebut semakin penting dan urgen ketika pemerintah saat ini mempersiapkan
pelaksanaan agenda besar Reforma Agraria.Sebab ,sengketa dan konflik
diperkirakan akan bertambah rumit jika Reforma Agraria dengan Reforma utama
redistribusi tanah benar-benar direalisasikan.
Namun penguatan kelembagaan agrarian
harus didukung system administrative pertanahan yang berbasis
teknologi,penerapan prinsip-prinsip Rule
of law dan Goog Government Governance(GGG),manajemen konflik yang efektif
efisien,dan strategi penanganan dan penyelesaian yang tepat dengan dimotori
para professional yang handal dengan kemampuan terlatih seperti
mediator,fasilitator,negosiator,hingga penyidik dan hakim pertanahan,yang
tersebarditingkat pusat maupun daerah..
Otoritas yang kuat dan berwibawa
penerapan prinsip-prinsip rule of law
dan Good Government Governance(GGG)
dan tenaga-tenaga keahlian khusus yang terlatih akan meningkatkan kapasitas
lembaga agrarian dalam berbagai upaya pencegahan,pengelolaan,dan penyelesaiaan
sengketa dan konflik maupun perkara pertanahan.Lebih dari itu akan meningkatkan
kepercayaan (trust) rakyat kepada
pemerintah dan lembaga penegak hukum dalam menyelesaikan berbagai konflik dan
kasus pertanahan diseluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia,hari ini dan hari-hari mendatang.Disinilah pentingnya kehadiran
Komisi Penyelesaian Konflik Tanah(KPKT) denagan tiga tugas pokok.
a.Pencegahan
Konflik
Pencegahan, terutama mendesak DPR agar mereformasikan
seluruh regulasi di bidang agrarian agar terdapat keseimbangan antara kepentingan
pembangunan(infestor) dengan kepentingan rakyat sebagaimana diamanatkan pasal
33 UUD 1945 dan UUP tahun 1960. Selain itu, mensinkronisasikan seluruh regulasi
yang ada sehingga tidak terjadi lagi ketumpang tindihan antar sector. Yang tak
kalah penting adalah memastikan seluruh peraturan pelaksanaan undang-undang
yang ada menerjemahkan secara tepat ketentuan-ketentuan perundang-undangan dan
tidak terjadi tumpang tindih.
Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan seluruh regulasi
oleh instansi-instansi terkait, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Melakukan
inventarisasi dan kajian ilmiah terhadap akar konflik secara umum, membuat
pemetaan kawasan yang rawan konflik, dan menyusun blueprint pencegahan,
pengelolaan dan penyelesaian beragam tipologi masalah pertanahan.
b.Pengelolaan
konflik
Pengelolaan konflik dimulai dengan pengkajian mendalam
setiap konflik pertanahan yang muncul. Hasil kajian tersebut berujung pada
rekomendasi-rekomendasi tentang pendekatan yang efektif, model penyelesaian yang
tepat, lembaga-lembaga yang perluh dilibatkan dalam penyelesaian konflik.
Mencermati tipologi kasus agrarian yang terjadi di Indonesia
selama ini maka dalam upaya pencegahan, penanganan dan penyelesaian
BPN/kementrian agrarian maupun KPKA dituntut melakukan koordinasi dengan
lembaga-lembaga terkait. Setidaknya, ada dua kategori lembaga yang penting.
Pertama, departemen-departemen terkait, seperti kehutanan,
pertanian, ESDM, transmigrasi, pekerjaan umum, BUMN, dalam negeri, Kedua,
lembaga penegak hukum seperti, kepolisian, kejaksaan, kehakiman, komisi
yudisial.
Tujuh departemen yang disebutkan pertama adalah
pengguna(user) lahan untuk kawasan hutan industri dan hutan konservasi,
perkebunan, kawasan tambang migas, batu bara, dan mineral, daerah tujuan transmigrasi,
dan pembangunan kepentingan umum.
Pihak kepolisian dilibatkann untuk mengendalikan konflik di
lapangan agar terhindar dari tindakan-tindakan anarkis yang melanggar hukum dan
hak-hak asasi manusia. Sedangkan pihak kejaksaan dan kehakiman dalam mengelola
konflik, KPKA dituntut untuk bekerja berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah dan
good government governance(GGG). Kedua prinsip kerja tersebut sangat penting
dan menentukan keberhasilan mengendalikan dan menyelesaikan konflik, terutama
ketika mengkaji akar masalah, menyusun peta masalah, merumuskan model atau
bentuk penyelesaian konflik.
c.
Penyelesaian konflik
Jalur pengadilan tentu saja bukan domein komisi penyelesaian
konflik agraria. Namun, KPKA memiliki kewenangan untuk mendorong para para pihak
yang terlibat konflik untuk mengarahkan penyelesaian konflik melalui jalur
huku. KPKA bisa mendorong para pihak ke jalan hukum jika menilai bahwa
pendekatan hukum adalah jalur paling tepat untuk menyelesaikan konflik.
Tugas
atau misi utama KPKA sejatinya adalah menyelesaikan konflik di luar jalur
hukum. Ada beberapa varian penyelesaiaan konflik di luar jalur hukum yaitu,
konsiliasi, mediasi, negoisasi, dan arbitrase. Untuk mencapai hasil yang
bermutu dan memuaskan semua pihak yang terlibat konflik, maka KPKA harus
melengkapi diri dengan tenaga-tenaga professional dengan keahlian khusus yaitu,
konsiliator, mediator, negotiator, dan arbitrator.
Selain
itu KPKA berpeluang menyelesaikan konflik jika proses kerjanya menjalankan tiga
hal yaitu:
·
Memenuhi
prinsip-prinsip manajemen modern yaitu, keterbukaan, akuntabilitas,
pertanggungjawaban, kepatutan, dan keadilan.
·
Memakai
pendekatan holistic
Kompleksitas
persoalan agrarian di Indonesia menurut KPKA memakai pendekatan
menyeluruh(holistic).pendekatan hukum saja dalam sejumlah kasus tidak efektif
tanpa diikuti pendekatan politik, social, budaya, dan ekologis.
·
Paradigm
baru
Dalam mengendalikan dan menyelesaikan konflik, KPKA harus
meninggalkan paradigm lama yang feodalistik, birokratis, sentralistik,
kapitalistik, otoriter, dan refresif. Barisan professional KPKA, khususnya yang
bekerja di ujung tombak, di tuntut memakai paradigm baru yang populis,
professional, desentralistik, demokratis, persuasive, dan menghormati hak-hak
asasi manusia..
3.Lembaga Peradilan Agraria
Peradilan agrarian/adat menjadi
instrument penyelesaiaan sengketa dan konflik pertana
han di jalur pengadilan. Sebagai sebuah pengadilan yang
berwatak khas dengan misi yang khusus, peradilan agrarian/adat merupakan
langkah yang efektif dalam proses pencapaian keadilan dan kepastian hukum.
Lembaga peradilan agrarian perlu dilengkapi peradilan adat sebagai varian dari
pendekatan penyelesaiaan sengketa/konflik pertanahan terkaitdengan hak-hak dan
kepentingan komunal masyarakat adat yang diakui dalam konstitusi UUD 1945, UUPA
tahun 1960, dan TAP MPR Nomor IX tahun 2001. Pengadilan hukum adat adalah
bentuk pluralism hukum yang hidup di Indonesia.
Sebagai referensi, pemerintah
membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) dengan misi tunggal: mencegah dan
memberantas korupsi. Komnas HAM didukung pengadilan HAM dan KPK dilengkapi
denga Pengadilan Tindak Pidana Korupsi(Tipikor), maka sudah sewajarnya KPKA pun
ditopang oleh Pengadilan Agraria/Adat.
Lembaga
peradilann agrarian sebenarnya bukan ide baru. Pada masa orde lama, pernah ada
pengadilan khusus Land Reform berdasarkan Undang-undang Pengadilan Land Reform
tahun 1964 yang khusus menangani kasus-kasus sengketa tanah yang muncul akibat
pelaksanaan program massif Land Reform pada masa itu. Namun sejak dihapusnya
Pengadilan Land Reform melalui UU No 7 tahun 1970, perkara sengketa pertanahan
dikembalikan ke pengadilan negeri.
Lembaga Peradilan Agrarian/Adat
berfungsi sebagai mekanisme pemecahan perkara perdata, pidana, dan
administrative. Jika semua perkara agrarian berada di bawah satu atap, tidak
perlu terjadi lagi perkara agrarian terkatung-katung hanya karena Pengadilan
Tata Usaha Negara tidak bisa membuat keputusan hukum akibat harus menunnggu
keputusan pengadila tinggi terkait aspek pidananya. Output yang diharapkan
adalah jaminankepastian hukum dan perlinndungan
hak-hak rakyat di bidang social, ekonomi, budaya dan ekologi.
Pemberian kewenangan yang besar
kepada BPN dan pembentukan KPKA, Lembaga Arbitrase Agraria, dan Peradilan
Agraria/Adat adalah sebuah kebutuhan vital dan bernilai strategis untuk jangka
pendek maupun jangka panjang, sebab masalah agrarian di Indonesia memiliki akar masalah kesejarahan yang panjang,
tingkat kerumita yang tinggi, serta dimensi problematika unntuk jangka waktu
yang jauh kedepan. Disisi lain tuntutan pembangunan infrastruktur dan industry
ekstraktif untuk mengejar pertumbuhan ekonomi secara legal berpotensi mangambil
tanah rakyat sehingga bakal memicu sengketa dan konflik social.
Kehadiran tiga lembaga independen
tersebut semakin penting dan urger ketika pemerintah saat ini mempersiapkan
pelaksaan agenda besar Reforma Agraria. Sengketa dan konflik di perkirakan akan
bertambah rumit jika Reforma Agraria dengan agenda utama redistribusi tanah
benar-benar direalisasikan.
Namun, penguatan kelembagaan
agrarian haru didukung system administrasi pertanahan yang berbasis teknologi,
penerapan prinsip-prinsip rule of law da good government governance(GGG),
manajemen konflik yang efektif,efisien, dan strategi penanganan dan
penyelesaian yang tepat dengan dimotori para professional yang handal dengan
kemampuan terlatih seperti mediator, fasilitator, negoisator,hingga penyidik
dan hakim pertanahan yang tersebar di tingkat pusat maupun di daerah.
Otoritas yang kuat dan berwibawa
penerapan prinsip-prinsip rule of law dan good government governance(GGG) dan
tenaga-tenaga berkeahlian khusus yang terlatih akan meningkatkan kapasitas
lembaga agrarian dalam berbagai upaya penegakan, pengelolaan, dan penyelesaiaan
sengketa dan konflik maupun perkara pertanahan. Lebih dari itu akan
meningkatkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah dan lembaga penegak hukum
dalam menyelesaikan berbagai konflik dan kasus pertanahan di seluruh wilayah
hukum NKRI hari ini dan hari-hari
mendatang.
B. PENEGAKAN HUKUM AGRARIA
Penegakan hukum mencakup segala
aktifitas atau upaya menerapkan hukum atau peraturan secara tepat,adil,dan
trasparan,baik yang dilakukan oleh lembaga
legislative,eksekutif,yudikatif maupun masyarakat.Secara umum
factor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum,meliputi hukum itu sendiri
(produk hukum),penegak hukum,sarana dan prasarana,kesadaran hukum
masyarakat,perkembangan masyarakat,kebudayaan dan factor politik atau penguasa
negara.Penegakan hukum seyogyanya merupakan upaya mewujudkan nilai nilai
keutamaan yang terkandung dalam kaidah hukum bukan sekedar menjalankan
mekanisme formal belaka.Penegakan hukum tidak berhenti sampai pada pengandalan
procedural normal sehingga membuat penegakan hukum seolah-olah bersifat
mekanistik,tetapi berlanjut pada penerapan nilai-nilai subtantifnya.
Upaya Penegakan hukum yang dilakukan
oleh lembaga legislative adalah menjadikan Konstitusi UUD 1945 dan dasar negara
Pancasila sebagai acuann dasar pembuatan
UU Agraria.Itu artinya nilai-nilai dasar Negara Pancasila dan Konstitusi UUD 1945 seperti moral,kesejahteraan,
keadilan,kesetaraan,dan penegakan hak asasi harus diakomodasi dalam peraturan
perundang-undangan keagrarian berikut peraturan pelaksaan dibawahnya.Selain
itu,lembaga legislative juga mengawasi pelaksanaan undang-undang oleh lembaga Eksekutif dan
Yudikatif.
Penegakan hukum dan HAM oleh lembaga
eksekutif terwujud dalam pelaksanaan ketentuaan
Ketentuan perundang-undangan melalui
dua cara. Pertama, melalui pembuatan peraturan pelaksanaan undang-undang
seperti peraturan pemerintah, praturan presiden, keputusan presiden, peraturan
menteri. Kedua, melalui eksekutif berbagai peraturan pelaksanaan itu di
lapangan. Di atas semua itu lembaga eksekutif harus bekerja berdasarkan
nilai-nilai substansial dan tidak berhenti pada prosedur atau tata cara hukum
saja. Nilai-nilai fundamental yang di maksud adalah nilai-nilai yang terkandung
dalam falsafah dan edeologi Negara. Pancasila dan konstitusi, UUD 1945, seperti
keadilan kesejahteraan, demokratis, dan hak asasi. Dengan demikian berbagai
peraturan pelaksanaan undang-undang yang dibuat oleh pemerintah tidak bersifat
otoriter dan refresif, tetapi harus implementatif, realistic dan mengandung
nilai-nilai keadilan.
Lembaga yudikatif menegakkan hukum
dan HAM mulai dari proses penyidikan, penyelidikan hingga keputusan-keputusan
pengadilan. Dengan demikian lembaga yudikatif yang berkewajiban menegakkan
hukum dan HAM adalah kepolisian, kejaksaan,dan hakim. Demi efektifitas
penegakan hukum dan HAM, para penegak hukum harus menyiapkan piranti hukum,
baik kontruksi maupun interpretasi hukum. Dalam penafsiran, yang digunakan
bukan logika peraturan semata, melainkan kenyataan yang ada dalam masyarakat.
Faktanya, intensnya konflik agrarian
dalam satu dasawarsa belakangan ini disebabkan oleh hukum yang tidak memadai
dan terjadinya konflik hukum. Masih ada produk hukum yang tidak memadai, baik
dari aspek legal formal maupun material. Seumpamanya sampai sekarang UU Pokok
Agraria Nomor 20 Tahun 1960 tidak diganti maupun direvisi, padahal UU tersebut
tidak mampumenjawab semua agrarian di era pembangunan yang kian pesat.berkaitan
dengan konflik hukum, banyak UU sektoral yang tumpang tindih, saling
bertentangan, bahkan saling menegasikan.Undang Undang Kehutanan dan Undang
Undang minerba, misalnya bertentangan dan saling menegasikan dengan Undang
undang Otonomi Daerah.Sengketa dan konflik juga banyak disebabkan oleh tumpang
tindih izin penguasaan dan
pemanfaatan lahan.
Praktik dilapangan menunjukkan bahwa
penegakan hukum belum sepenuhnya dijalankan oleh lembaga yudikatif.Hal ini
terlihat dalam proses peradilan yang berbelit,memakan waktu lama,dan mahal
dalam menyelesaikan sengketa atau konflik Agraria.Idealnya peradilan agrarian
berada dibawah satu atap sehingga proses peradilan menjadi efektif
,efisien,cepat,mudah dan murah.Namun kini belum ada peradilan khusus agrarian.
Pada prinsipnya penegakan hukum
agrarian perlu dilakukan secara komprehensif,terutama dalam mewujudkan
penegakan hukum pada perkara-perkara terkait sumber daya agrarian.Ada tiga
factor yang mempengaruhi penegaakan
hukum dibidang agrarian yaitu factor koordinasi,kapasitas penegak hukum,dan
factor korupsi.
Keberhasilan penegak hukum tercapai
jika dilakukan berdasarkan komitmen bersama melalui pelaksanaan tugas yang
terintegrasi dan terkoordinasi.Dalam hal
tata kelola perizinan,misalnya perlu dilakukan audit terhadap semua
perizinzan yang trasparan mengingat perizinan dapat dikeluarkan secara
sektoral.
Satu hal yang urgen adalah segera
dibentuk kelembagaan hukum agrarian satu atap sehingga penanganan kasus hukum
,pidana,oerdata,dan tata usaha terkait
agrarian dapat lebih efektif ,efisien,murah dan akurat.Lembaga hukum satu atap
juga penting untuk menjawab persoalan klasik tentang perbedaan penafsiran norma
hukum.Dengan demikian,para hakim dapat menyamakan persepsi terhadap penanganan
perkara dibidang sumber daya alam dan
lingkungan hidup.
Terkait kapasitas penegak
hukum,perlu diadakan pelatihan khusus sehingga aparat penegak hukum yang
menangani perkara-perkara menyangkut penanganan sumber daya agrarian dengan
tuntas.Selain itu penegak hukum yang menangani perkara –perkara agrarian harus
dilihat rekam jejak kompetensi,dan integritasnya,sehingga tidak mudah
terjerumus kasus korupsi.Hal ini mengingat pidana korupsi juga terjadi dalam
perkara pengelolaan sumber daya agrarian.
Persoala korupsi juga tidak dapat
dipisahkan dari proses pengelolaan dan perumusan sumber daya agrarian terutama
dalam hal perizinaan untuk usaha perkebunan dan pengelolaan hutan.Tidak
dapat dipungkiri bahwa banyak usaha perizinan perkebunan dan pengelolaan hutan
yang illegal.Tidak jarang juga perizinan dikeluarkan melalui upaya penyuapan
.Oleh karena itu perkara-perkara yang menyangkut sector perkebunan dan
kehutanan harus ditangani secara tuntas demi terwujudnya penegakan hukum
.Diatas semua itu dalam menangani
perkara terkait agrarian, penerapan hukum progresif perlu dikedepankan.
Kehilangan keadilan dan kebaikan
umum sama dengan kehilangan hukum sendiri.karena itu aturan hukum belum tentu mengungkapkan sepenuhnya keadilan dalam sebuah
perkara.dalam perspektif itu hakim progresif harus bisa mengabaikan
pasal-pasal,dalam undang-undang lalu berusaha menemukan hukum baru agar keputusannya benar-benar
adil.
Ditengah kelemahan
filosofis-ideologis berbagai
undang-undang sektoral terkait agrarian dalam kompleksitas masalah penegakan
hukum dinegri ini,penegak hukum progresif dibidang sangat dibutuhkan .Dengan
kehadiran mereka,dapat dipastikan pengelolaan,penguasaan,dan pemanfaatan sumber
daya agrarian bermuara pada terciptanya eadilan subtansial dan membawa
kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat.Penegak hukum progresif merupakan
benteng terakhir yang bisa menyelamatkan kekayaan sumber daya alam dan
kelestaria lingkungan demi sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat hari ini dan
generasi anak cucu kita di masa datang.
BAB
IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
BPN
adalah salah satunya lembaga atau instansi di Indonesia yang diberikan
kewenangan untuk mengemban amanat dalam mengelola bidang pertanahan. Namun
faktanya BPN tidak mampu mewujudkan seluruh visi,misi,dan program program
strategis yang diembannya.BPN menemui banyak kendala akibat banyaknya regulasi
dan kebijakan yang tumpang tindih dan karut marutnya administrasi pertanahan
yang mengacaukan status hukum atau hak atas tanah.
Dalam
hal penguatan kelembagaan ,BPN perlu diikuti dengan pembentukan tiga lembaga independen
yang bersifat adhoc yaitu Komisi
Penyelesaiaan konflik Agraria(KPKA),Badan Arbitrase Agraria(BAA),dan Peradilan
Agraria/Adat.KPKAA dan BAA berorientasi pada pengelolaan dan penyelesaian
konflik diluar jalur pengadilan,seperti konsiliasi,fasilitasi/mediasi,negosiasi
hingga arbitrase.Adapu penyelasaian konflik agrarian melalui jalur pengadilan dibentuk Lembaga Peradilan Agraria.
. Adapun praktik di lapangan menunjukkan bahwa penegakan hukum belum
sepenuhnya dijalankan oleh lembaga yudikatif.Hal ini terlihat dalam proses peradilan
yang berbelit,memakan waktu lama,dan mahal dalam menyelesaikan sengketa atau
konflik Agraria.Idealnya peradilan agrarian berada dibawah satu atap sehingga
proses peradilan menjadi efektif ,efisien,cepat,mudah dan murah.Namun kini
belum ada peradilan khusus agrarian.
B. SARAN
Untuk
mengawasi persoalan agrarian di negri ini ,perlu diberikan kewenangan yang
besar terhadap BPN,Pembentukan KKPA,Lembaga Arbitrase Agraria,dan Peradilan
Agraria.Dan seharusnya semua perkara pidana berada dibawah satu atap,sehingga
perkara pidana tidak terkatung-katung hanya karena pengadilan Tata Usaha Negara
tidak bisa membuat keputusan hukum karena harus menunggu keputusan pengadilan
tinggi terkait aspek pidananya.Dan terkait kapasitas penegak hukum,perlu
diadakan pelatihan khusus sehingga dapat menangani perkara-perkara agrarian
engan tuntas.Selai itu penegak hukum yang menangani perkara harus dilihat rekam
jejak,kompetensi dan integritasnya sehingga tidak mudah terjerumus dalam
korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Bernard
Limbong, Hukum Agrarian nasional, Margareta Pustaka, Jakarta,2012.
0 comments:
Post a Comment