I.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Kebijakan
Banyak definisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan
arti kebujakan. Thomas Dye menyebutkan kebijakan sebagai pilihan pemerintah
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (whatever government chooses to do
or not to do). Definisi ini dibuatnya dengan menghubungkan pada beberapa
definisi lain dari David Easton, Lasswell dan Kaplan, dan Carl Friedrich.
Easton menyebutkan kebijakan pemerintah sebagai “kekuasaan
mengalokasi nilai-nilai untuk masyarakat secara keseluruhan.” Ini mengandung
konotasi tentang kewenangan pemerintah yang meliputi keseluruhan kehidupan
masyarakat. Tidak ada suatu organisasi lain yang wewenangnya dapat mencakup
seluruh masyarakat kecuali pemerintah. http://ngeklik.com/?id=akhyar25
Lasswell dan Kaplan yang melihat kebijakan sebagai sarana
untuk mencapai tujuan, menyebutkan kebijakan sebagai program yang diproyeksikan
berkenaan dengan tujuan, nilai dan praktek (a projected program of goals,
values and practices).
Sementara Carl Friedrich mengatakan bahwa yang paling pokok
bagi suatu kebijakan adalah adanya tujuan (goal ), sasaran (objektive) atau
kehendak(purpose).
Sejalan dengan perkembangan studi yang makin maju, William
Dunn mengaitkan pengertian kebijakan dengan analisis kebijakan yang merupakan
sisi baru dari perkembangan ilmu sosial untuk pengamalannya dalam kehidupan
sehari-hari. Sebab itu dia mendefinisikan analisis kebijakan sebagai”ilmu
sosial terapan yang menggunakan berbagai metode untuk menghasilkan dan
mentransformasikan informasi yang relevan yang dipakai dalam memecahpersoalan
dalam kehidupan sehari-hari. “Di sini dia melihat ilmu kebijakan sebgai
perkembangan lebih lanjut dari ilmu-ilmu sosial yang sudah ada. Metodologi yang
dipakai bersifat multidisiplin. Hal ini berhubungan dengan kondisi masyarakat
yang bersifat kompleks dan tidak memungkinkan pemisahan satu aspek dengan aspek
lain.
2.
Perbedaan Kebijakan dan
Kebijaksanaan
Secara harifah ilmu kebijakan adalah terjemahan langsung
dari kata policy science (Dror, 1968: 6-8 ). Beberapa penulis besar dalam ilmu
ini, seperti William Dunn, Charles Jones, Lee Friedman, dan lain-lain,
menggunakan istilah public policy dan public policy analysis dalam pengertian
yang tidak berbeda. Istilah kebijaksanaan atau kebijakan yang diterjemahkan
dari kata policy memang biasanya dikaitkan dengan keputusan pemerintah, karena
pemerintahlah yang mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan
masyarakat, dan bertanggung jawab melayani kepentingan umum. Ini sejalan dengan
pengertian public itu sendiri dalam bahasa Indonesia yang berarti pemerintah,
masyarakat atau umum.
Dengan demikian perbedaan makna antara perkataan
kebijaksanaan dan kebijakan tidak menjadi persoalan, selama kedua istilah itu
diartikan sebagai keputusan pemerintah yang relatif bersifat umum dan ditujukan
kepada masyarakat umum. Perbedaan kata kebijakan dengan kebijaksanaan berasal
dari keinginan untuk membedakan istilah policy sebgai keputusan pemerintah yang
bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat, dengan istilah
discretion, yang dapat diartikan “ilah” atau keputusan yang bersifat kasuistis
untuk sesuatu hal pada suatu waktu tertentu. Keputusan yang bersifat kausitis
(hubungan sebab akibat) sering terjadi dalam pergaulan. Seseorang minta “kebijaksanaan”
seorang pejabat untuk memperlakukan secara “istimewa” atau secara “istimewa”
tidak memperlakukan, ketentuan-ketentuan yang ada, yang biasanya justru
ditetapkan sebagai kebijakan pemerintah (public policy).
dalam bahasa Indonesia, kata “kebijaksanaan” atau
“kebijakan” yang diterjemahkan dari kata policy tersebut mempunyai konotasi
tersendiri. Kata tersebut mempunyai akar kata bijaksana atau bijak yang dapat
disamakan dengan pengertian wisdom, yang berasal dari kata sifat wise dalam
bahasa Inggris. Dengan pengertian ini sifat bijaksana dibedakan orang dari
sekedar pintar (clever) atau cerdas (smart). Pintar bisa berarti ahli dalam
satu bidang ilmu, sementara cerdas biasanya diartikan sebagai sifat seseorang
yang dapat berpikir cepat atau dapat menemukan jawaban bagi suatu persoalan
yang dihadapi secara cepat. Orang yang bijaksana mungkin tidak pakar dalam
sesuatu bidang ilmu, namun memahami hampir semua aspek kehidupan (Buchari
Zainun dan Said Zainal Abidin, 1988:7-10). Kalau orang yang cerdas dapat segera
memberi jawaban yang tepat atas sesuatu pertanyaan, maka orang yang bijaksana
mungkin pada waktu yang sama tidak mau memberikan jawaban, karena yang demikian
itu mungkin dianggapnya lebih bijaksana. Jawaban yang bijaksana bukan sekedar
dapat menjawab, tetapi juga menjawab dengan tepat waktu,tepat lingkungan dan
tepat sasaran. Konotasi ini agaknya sangat relevan dengan kajian ilmu
kebijakan, dan jawaban yang demikian itulah yang menjadi obyek studi dari ilmu
ini.
1.
Kesimpulan
ü
kebijakan sebagai sarana untuk
mencapai tujuan, juga sebagai program yang berkenaan dengan tujuan dan nilai
yang kewenangannya dipegang oleh pemerintah yang meliputi keseluruhan kehidupan
masyarakat.
ü
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa Perbedaan kata kebijakan dengan kebijaksanaan berasal dari keinginan
untuk membedakan istilah policy sebgai keputusan pemerintah yang bersifat umum
dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat, perbedaan makna antara perkataan kebijaksanaan
dan kebijakan tidak menjadi persoalan, selama kedua istilah itu diartikan
sebagai keputusan pemerintah yang relatif bersifat umum dan ditujukan kepada
masyarakat umum.
Secara harifah ilmu kebijakan adalah terjemahan langsung dari kata policy science (Dror, 1968: 6-8 ). Beberapa penulis besar dalam ilmu ini, seperti William Dunn, Charles Jones, Lee Friedman, dan lain-lain, menggunakan istilah public policy dan public policy analysis dalam pengertian yang tidak berbeda. Istilah kebijaksanaan atau kebijakan yang diterjemahkan dari kata policy memang biasanya dikaitkan dengan keputusan pemerintah, karena pemerintahlah yang mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat, dan bertanggung jawab melayani kepentingan umum. Ini sejalan dengan pengertian public itu sendiri dalam bahasa Indonesia yang berarti pemerintah, masyarakat atau umum.
Dengan demikian perbedaan makna antara perkataan kebijaksanaan dan kebijakan tidak menjadi persoalan, selama kedua istilah itu diartikan sebagai keputusan pemerintah yang relatif bersifat umum dan ditujukan kepada masyarakat umum. Perbedaan kata kebijakan dengan kebijaksanaan berasal dari keinginan untuk membedakan istilah policy sebgai keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat, dengan istilah discretion, yang dapat diartikan “ilah” atau keputusan yang bersifat kasuistis untuk sesuatu hal pada suatu waktu tertentu. Keputusan yang bersifat kausitis (hubungan sebab akibat) sering terjadi dalam pergaulan. Seseorang minta “kebijaksanaan” seorang pejabat untuk memperlakukan secara “istimewa” atau secara “istimewa” tidak memperlakukan, ketentuan-ketentuan yang ada, yang biasanya justru ditetapkan sebagai kebijakan pemerintah (public policy).
Kata policy secara etimologis berasal dari kata polis dalam bahasa Yunani (Greek), yang berarti negara-kota. Dalam bahasa latin kata ini menjadi politia, artinya negara. Masuk kedalam bahasa Inggris lama (Middle English), kata tersebut menjadi policie, yang pengertiannya berkaitan dengan urusan perintah atau administrasi pemerintah (Dunn,1981:7). Dalam pengertian umum kata ini seterusnya diartikan sebagai,”…a course of action intended to accomplish some end” (Jones,1977:4) atau sebagai “…whatever government chooses to do or not to do” (Dye,1975:1). Uniknya dalam bahasa Indonesia, kata “kebijaksanaan” atau “kebijakan” yang diterjemahkan dari kata policy tersebut mempunyai konotasi tersendiri. Kata tersebut mempunyai akar kata bijaksana atau bijak yang dapat disamakan dengan pengertian wisdom, yang berasal dari kata sifat wise dalam bahasa Inggris. Dengan pengertian ini sifat bijak sana dibedakan orang dari sekedar pintar (clever) atau cerdas (smart). Pintar bisa berarti ahli dalam satu bidang ilmu, sementara cerdas biasanya diartikan sebagai sifat seseorang yang dapat berpikir cepat atau dapat menemukan jawaban bagi suatu persoalan yang dihadapi secara cepat. Orang yang bijaksana mungkin tidak pakar dalam sesuatu bidang ilmu, namun memahami hampir semua aspek kehidupan (Buchari Zainun dan Said Zainal Abidin, 1988:7-10). Kalau orang yang cerdas dapat segera memberi jawaban yang tepat atas sesuatu pertanyaan, maka orang yang bijaksana mungkin pada waktu yang sama tidak mau memberikan jawaban, karena yang demikian itu mungkin dianggapnya lebih bijaksana. Jawaban yang bijaksana bukan sekedar dapat menjawab, tetapi juga menjawab dengan tepat waktu,tepat lingkungan dan tepat sasaran. Konotasi ini agaknya sangat relevan dengan kajian ilmu kebijakan, dan jawaban yang demikian itulah yang menjadi obyek studi dari ilmu ini.
Kajian tentang kebijakan dalam arti yang luas sebagai usaha pengadaan informasi yang diperlukan untuk menunjang proses pengambilan kebijakan telah ada sejak manusia mengenal organisasi dan tahu arti keputusan. Kajian ini dilakukan mulai dari cara yang paling sederhana dan irasional sampai dengan cara-cara yang bersifat kombinasi kuantitatif dan kualitatif sekarang ini. Akan tetapi sebgai suatu disiplin tersendiri ilmu kebijakan baru diakui kehadirannya sesudah Perang Dunia II.
Kajian-kajian yang dilakukan di masa lampau biasanya merupakan suatu kajian dari satu disiplin ilmu untuk memecahkan suatu permasalahan yang dianggap termasuk dalam aspek tertentu yang relevan dengan disiplin ilmu itu. Kajian yang demikian mulai sulit memecahkan persoalan-persoalan yang kompleks dalam masyarakat modern sekarang ini.
Dalam masyarakat modern di area globalisasi sekarang ini, sebagai akibat dari kemajuan teknologi di bidang informasi dan transportasi, permasalahan publik menjadi sangat kompleks. Tidak ada satu masalah yang hanya bisa dilihat sebagai ”satu” aspek yang berdiri sendiri. Berbagai aspek saling terkait dan saling mempengaruhi. Keterkaitan ini tidak terbatas dalam lingkungan tertentu saja, tetapi bisa jadi dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan yang lebih luas dan menyangkut aspek yang berbeda, berlangsung dalam waktu yang amat cepat. Perubahan dalam bidang politik di Amerika Serikat pada hari ini, misalnya, segera akan berpengaruh dalam bidang ekonomi,sosial-budaya, pertahananan dan sebagainya, di negara-negara ASEAN pada hari yang sama.
Sebab itu kajian dari satu disiplin ilmu saja menjadi tidak realistis, karena jawaban yang dihasilkan terbatas dalam kerangka teoritis tertentu, tidak sesuai dengan masyarakat modern yang kompleks dan berkembang secara cepat. Khusus untuk negara-negara yang sedang berkembang telah dilakukan pula kajian yang bersifat penerapan dari disiplin ilmu-ilmu yang telah ada. Dalam ilmu administrasi untuk menata pengelolaan pembangunan dan pembangunan administrasi dalam suatu masyarakat yang sedang berkembang dalam lingkungan yang berbeda dari lingkungan tempat teori-teori administrasi itu dahulu tumbuh. Hal yang serupa juga terjadi dalam disiplin ilmu ekonomi yang menumbuhkan kajian ekonomi pembangunan yang berorientasi pada negara-negara yang sedang berkembang. Begitu pula dalam disiplin ilmu politik, sosiologi dan lain-lain.
Dalam masyarakat dewasa ini sering timbul keluhan bahwa hasil suatu analisis yang dilakukan dalam suatu bidang, sulit diterapkan. Kesulitan dalam penerapan ini disebabkan oleh kenyataan bahwa masyarakat merupakan kancah pertautan berbagai aspek yang bersifat multidimensi. Dalam masyarakat, berbagai aspek saling mempengaruhi. Karena itu diperlukan analisis yang bersifat multidimensi pula. Untuk menjawab tantangan dari kesulitan penerapan inilah maka William Dunn menanamkan ilmu analisis kebijakan applied social science, karena ilmu ini menggunakan pendekatan yang bersifat menyeluruh (holistic approach).
Pengertian Kebijakan
Banyak definisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti kebujakan. Thomas Dye menyebutkan kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (whatever government chooses to do or not to do). Definisi ini dibuatnya dengan menghubungkan pada beberapa definisi lain dari David Easton, Lasswell dan Kaplan, dan Carl Friedrich. Easton menyebutkan kebijakan pemerintah sebagai “kekuasaan mengalokasi nilai-nilai untuk masyarakat secara keseluruhan.” Ini mengandung konotasi tentang kewenangan pemerintah yang meliputi keseluruhan kehidupan masyarakat. Tidak ada suatu organisasi lain yang wewenangnya dapat mencakup seluruh masyarakat kecuali pemerintah. Sementara Lasswell dan Kaplan yang melihat kebijakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan, menyebutkan kebijakan sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai dan praktek (a projected program of goals, values and practices). Carl Friedrich mengatakan bahwa yang paling pokok bagi suatu kebijakan adalah adanya tujuan (goal ), sasaran(objektive) atau kehendak(purpose).
H. Hugh Heglo menyebutkan kebijakan sebagai “a course of action intended to accomplish some end,” atau sebagai suatu tindakan yang bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu. Definisi Heglo ini selanjutnya diuraikan oleh Jones dalam kaitan dengan beberapa isi dari kebijakan. Pertama, tujuan. Di sini yang dimaksudkan adalah tujuan tertentu yang dikehendaki untuk dicapai (the desired ends to be achieved). Bukan suatu tujuan yang sekedar diinginkan saja. Dalam kehidupan sehari-hari tujuan yang hanya diinginkan saja bukan tujuan, tetapi sekedar keinginan. Setiap orang boleh saja berkeinginan apa saja, tetapi dalam kehidupan bernegara tidak perlu diperhitungkan. Baru diperhitungkan kalau ada usaha untuk mencapainya, dan ada”faktor pendukung” yang diperlukan. Kedua, rencana atau proposal yang merupakan alat atau cara tertentu untuk mencapainya. Ketiga, program atau cara tertentu yang telah mendapat persetujuan dan pengesahan untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Keempat, keputusan, yakni tindakan tertentu yang diambil untuk menentukan tujuan, membuat dan menyesuaikan rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program dalam masyarakat.
Selanjutnya Heglo mengatakan bahwa kebijakan lebih dapat digolongkan sebagai suatu alat analisis daripada sebagai suatu rumusan kata-kata. Sebab itu, katanya, isi dari suatu kebijakan lebih dapat dipahami oleh para analis daripada oleh para perumus dan pelaksana kebijakan itu sendiri.
Bertolak dari sini, Jones merumuskan kebijakan sebagai “…behavioral consistency and repeatitiveness associated with efforts in and through government to resolve public problems” (perilaku yang tetap dan berulang dalam hubungan dengan usaha yang ada di dalam dan melalui pemerintah untuk memecahkan masalah umum). Definisi ini memberi makna bahwa kebijakan itu bersifat dinamis – ini akan dibicarakan secara khusus dalam bagian lain, dalam hubungan dengan sifat dari kebijakan.
Sejalan dengan perkembangan studi yang makin maju, William Dunn mengaitkan pengertian kebijakan dengan analisis kebijakan yang merupakan sisi baru dari perkembangan ilmu sosial untuk pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebab itu dia mendefinisikan analisis kebijakan sebagai”ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode untuk menghasilkan dan mentransformasikan informasi yang relevan yang dipakai dalam memecahpersoalan dalam kehidupan sehari-hari. “Di sini dia melihat ilmu kebijakan sebgai perkembangan lebih lanjut dari ilmu-ilmu sosial yang sudah ada. Metodologi yang dipakai bersifat multidisiplin. Hal ini berhubungan dengan kondisi masyarakat yang bersifat kompleks dan tidak memungkinkan pemisahan satu aspek dengan aspek lain.
Sumber Buku Kebijakan Publik karangan Said Zainal Abidin, Edisi Revisi, tahun 2004, Penerbit: Yayasan Pancur Siwah, Jakarta.
A. Perbedaan
antara Kebijakan, Kebijaksanaan, Dan Keputusan
1. Kebijakan
a. Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang
menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan
suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak.
b. Kebijakan
adalah semacam jawaban terhadap suatu masalah, merupakan upaya untuk
memecahkan, mengurangi, mencegah suatu masalah dengan cara tertentu, yaitu
dengan tindakan yang terarah. (Hoogerwerf (1988, 66)).
c. Kebijakan
sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi) atau
serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. (James. E. Anderson
(1978, 33)).
d. Kebijakan
(policy) adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seseorang pelaku
atau kelompok politik dalam usaha memilih tujuan–tujuan dan cara – cara untuk
mencapai tujuan – tujuan itu.
e. Kebijakan (policy)
adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti
dan dilaksanakan oleh seseorang atau sekelompok pelaku guna memecahkan masalah
tertentu (Solichin Abdul Wahab)
Kesimpulan:
Melihat dari
beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa tokoh tersebut diatas, dapat
disimpulkan bahwa pengertian kebijakan menurut penulis dapat diartikan sebagai
serangkaian dari beberapa keputusan-keputusan yang diambil oleh sejumlah aktor
baik pejabat, maupun instansi yang dapat dijadikan sebagai pedoman dan dasar
suatu rencana dalam melaksanakan suatu pekerjaan dalam rangka pencapaian suatu
tujuan.
2. Kebijaksanaan
a. Kebijaksanaan adalah kemampuan untuk
memilih dan memutuskan cara yang tepat untuk mendapatkan hasil akhir yang
terbaik sesuai tujuan.
b. Kebijaksanaan (wisdom) berarti
“kearifan” adalah pengejawantahan aturan yang sudah ditetapkan sesuai situasi
dan kondisi setempat oleh pejabat yang berwenang (Inu Kencana Syafiie)
c. Kebijaksanaan adalah merupakan
ketentuan yang telah disepakati pihak terkait yang ditetapkan oleh pihak yang
berwenang untuk dijadikan pedoman dan pegangan bagi setiap kegiatan aparatur
pemerintah dan masyarakat, agar tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam upaya
mencapai sasaran, tujuan, misi dan visi.
d. Kebijaksanaan adalah suatu tindakan
yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh seseorang aktor atau
sejumlah aktor berkenaan dengan suatu masalah atau persoalan tertentu.
Kesimpulan:
Melihat berbagai pengertian yang secara variatif
dikemukakan oleh beberapa ahli tersebut, kebijaksanaan dipandang dari berbagai
sudut pandang. Kebijaksanaan dapat di definisikan sebagai suatu kemampuan,
dapat pula dipandang sebagai suatu ketentuan, maupun dipandang sebagai suatu
tindakan. Melihat variatifnya definisi dari kebijaksanaan itu sendiri, penulis
mencoba mendefinisikan kebijaksanaan sebagai suatu ketentuan untuk memutuskan
cara yang tepat dalam menghadapi suatu masalah atau persoalan tertentu, untuk
mendapatkan hasil akhir yang dipandang sebagai yang terbaik dan telah
disepakati oleh pihak yang bersangkutan dan di tetapkan oleh pihak yang
memiliki wewenang dalam mencapai tujuan tertentu.
3. Keputusan
a. Keputusan
adalah suatu reaksi terhadap beberapa solusi alternatif yang dilakukan secara
sadar dengan cara menganalisa kemungkinan - kemungkinan dari alternatif
tersebut bersama konsekuensinya.
b. Keputusan adalah pemecahan masalah yang
dihadapinya dengan tegas. Suatu keputusan merupakan jawaban yang pasti terhadap
suatu pertanyaan. (Ralph C. Davis (Hasan, 2004))
c. Keputusan
adalah suatu pengakhiran daripada proses pemikiran tentang suatu masalah dengan
menjatuhkan pilihan pada suatu alternatif. (Prajudi Atmosudirjo)
Kesimpulan:
Dari definisi keputusan yang dikemukakan oleh beberapa
sumber diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa suatu keputusan dapat diartikan
sebagai suatu wujud ataupun reaksi akhir yang timbul dari suatu proses
pemikiran/ pemecahan tentang suatu masalah yang dilakukan melalui pengambilan
satu alternatif dari beberapa alternatif yang tersedia.
B. Persamaan
antara kebijakan, kebijaksanaan, dan keputusan
Dari ketiga kata tersebut, masing-masing memiliki definisi yang berbeda-beda.
Namun, tidak ada perbedaan kebijaksanaan dan kebijakan sepanjang keduanya
diartikan sebagai keputusan pemerintah Dari ketiga kata tersebut memiliki
persamaan yaitu pada prosesnya dimana baik kebijakan, kebijaksanaan maupun
keputusan bertujuan untuk memecahkan, mengurangi, dan mencegah suatu masalah
melalui proses pemikiran dan pemilihan alternatif diantara beberapa alternatif
yang memungkinkan. Kebijakan, kebijaksanaan sangat dekat dengan kepemimpinan
serta sama-sama ditetapkan/ di putuskan oleh pihak-pihak yang berwenang dan
biasanya merupakan kumpulan dari beberapa keputusan-keputusan yang dapat
dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan yang lainnya. Sedangkan keputusan
sendiri dapat saja di lakukan oleh siapa saja, baik itu seseorang maupun sekelompok
orang tertentu
41. Kebijakan dan Kebijaksanaan
Pasangan
kata kebijakan dan kebijaksanaan sering dipakai dalam berbagai
kesempatan baik dalam wacana tulis maupun dalam wacana tutur. Dua kata ini,
sepintas kedengarannya sama terutama bila pemakai kedua kata itu beranggapan
bahwa keduanya sama-sama berasal dari kata dasar bijak. Anggapan seperti ini
jelas-jelas tidak dapat dipertanggungjawabkan. Mengapa?Karena kedua kata itu
memiliki bentuk dasar yang berbeda. Kebijakan kata dasarnya adalah bijak
sedangkan kebijaksanaan bentuk dasarnya adalah bijaksana. Unsur
yang sama hanya proses morfologis kedua bentuk dasar itu. Baik kata bijak
maupun kata bijaksana sama-sama mengalami afiksisasi dengan konfiks atau
simulfiks atau morfem terbelah ke-/-an.
Baik
kata dasar bijak maupun kata dasar bijaksana, keduanya berkategori kata sifat
(adjektiva). Kamus Besar Bahasa Indonesia (Moeliono, 1989:114) mengartikan kata
bijak sebagai keadaan atau sifat yang selalu menggunakan akal budi,
pandai, mahir, pandai bercakap-cakap, petah lidah. Kata bijaksana diartikan
sebagai selalu menggunakan akal budi, arif, tajam pikiran, pandai dan
ingat-ingat (cermat, teliti) ketika menghadapi kesulitan. Pengertian
leksikal pada bentuk dasar ini tampaknya mirip dan sulit dibedakan. Perbedaan
arti dan makna kedua kata ini baru tampak jelas justru ketika terjadi proses
morfologis (afiksisasi) dengan konfiks ke-/-an yang menghasilkan
kata kebijakan dan kebijaksanaan.
Kebijakan
diartikan sebagai (1) kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan (2) rangkaian konsep
dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu
pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak, pernyataan cita-cita, tujuan,
prinsip untuk mencapai sasaran, garis haluan. Kebijaksanaan diartikan
sebagai (1) kepandaian menggunakan akal budi (2) kecakapan
bertindak apabila menghadapi kesulitan. Contoh-contoh kalimat (a) s.d.
(h) berikut kiranya dapat membantu kita dalam membuat pembedaan pemakaian kata
kebijakan dan kebijaksanaan itu.
(a) Pemberlakukan
Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan kebijakan baru dalam dunia pendidikan
dewasa ini.
(b) Pemberlakukan
Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan kebijaksanaan baru dalam dunia
pendidikan dewasa ini.
(c) Benturan
serta kesulitan menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi menuntut kebijaksanaan
pihak pemerintah dan para praktisi pendidikan.
(d) Benturan
serta kesulitan menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi menuntut kebijakan
pihak pemerintah dan para praktisi pendidikan.
(e) Bangsa
kita merdeka dari genggaman penjajah berkat kebijaksanaan para pemimpin masa
silam
(f) Bangsa kita merdeka dari genggaman penjajah berkat kebijakan
para pemimpin masa silam.
(g) Kebijakan
pemerintah perihal Otonomi Daerah perlu mendapat persetujuan DPR
(h) Kebijaksanaan
pemerintah perihal Otonomi Daerah perlu mendapat persetujuan DPR
Makna
kalimat (a) berbeda dengan kalimat (b); kalimat (c) berbeda dengan kalimat (d);
kalimat (e) berbeda dengan kalimat (f); dan kalimat (g) berbeda dengan kalimat
(h) hanya karena penempatan kata kebijakan dan kebijksanaan. Pertanyaannya:
manakah kalimat-kalimat yang menggunakan kedua kata itu secara tepat sesuai
dengan makna dua kata seperti dijelaskan di atas?
Jawabannya:
kalimat pada dasarnya mau memberikan informasi kepada kita bahwa ada konsep
terbaru; garis haluan baru yang merambah dunia pendidikan kita. Karena itu,
kata yang tepat digunakan adalah kata kebijakan seperti pada kalimat (a), bukan
kebijaksanaan seperti yang terdapat pada kalimat (b). Kalimat (c) bermakna
menginformasikan kepada kita perihal pelbagai kendala atau kesulitan yang
dihadapi ketika konsep (kebijakan) Kurikulum Berbasis Kompetensi itu
diterapkan. Untuk mengatasi masalah seperti itu diperlukan adanya kebijaksanaan
baik dari pihak pemerintah maupun pihak praktisi pendidikan. Karena itu,
pemakaian kata kebijaksanaan pada kalimat (c) itu tepat sedangkan pemakaian
kata kebijakan pada kalimat (d) menjadikan kalimat itu tidak tepat.
Penindasan
oleh kaum kolonial adalah masalah yang dihadapi para pemimpin dan pejuang
kemerdekaan. Itulah masalah yang dibahasakan kalimat (e). Pemakaian kata
kebijaksanaan pada kalimat (e) itu tepat sedangkan kalimat (f) tidak tepat
karena menggunakan kata kebijakan. Selanjutnya, kalimat (g) memuat makna
tentang adanya konsep baru dalam tatanan kemasyarakatan yang dikenal dengan
istilah Otonomi Daerah. Otda adalah suatu gagasan karena itu kata yang harus
dipilih secara tepat adalah kata kebijakan seperti kalimat (g) dan bukan
kebijaksanaan seperti yang ada pada kalimat (h).
Akhirnya,
kita dapat mengelompokkan kalimat (a) s.d. (h) di atas menjadi dua yaitu
kalimat yang benar dan kalimat yang salah. Kalimat yang bertanda bintang adalah
kalimat yang tidak tepat penggunaan kata kebijakan atau kebijaksanaan.
(a) Pemberlakukan
Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan kebijakan baru dalam dunia
pendidikan dewasa ini.
(b) Pemberlakukan
Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan *kebijaksanaan baru dalam dunia
pendidikan dewasa ini.
(c) Benturan
serta kesulitan menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi menuntut kebijaksanaan
pihak pemerintah dan para praktisi pendidikan.
(d) Benturan
serta kesulitan menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi menuntut *kebijakan
pihak pemerintah dan para praktisi pendidikan.
(e) Bangsa
kita merdeka dari genggaman penjajah berkat kebijaksanaan para pemimpin
masa silam
(f) Bangsa kita merdeka dari genggaman penjajah berkat *kebijakan
para pemimpin masa silam.
(g) Kebijakan pemerintah perihal Otonomi Daerah
perlu mendapat persetujuan DPR
(h) *Kebijaksanaan
pemerintah perihal Otonomi Daerah perlu mendapat persetujuan DPR
Kalau
tidak mau repot untuk mengikuti uraian panjang di atas, Anda boleh mencari
jalan pintas. Caranya: bukalah kamus bahasa Inggris Anda, dan Anda akan
menjumpai kata ‘policy’ untuk kebijakan yang sejajar dengan
pengertian politik. Juga mungkin Anda terkejut karena kata ‘wisdom’
menjadi padanan untuk kata kebijaksanaan. Tentu saja, menghadapi
pelbagai kebijakan kita memerlukan kebijaksanaan sebagai orang bijak!**(xon)
Dalam beberapa hari terakhir ini, masyarakat disuguhi
tayangan live stasiun televisi terhadap sidang pansus (panitia khusus) kasus
dana bailout Bank Century dari gedung DPR/MPR Senayan Jakarta. Apa yang sedang
terjadi di ruang sidang segera diketahui oleh masyarakat. Mulai dari perdebatan
masalah tata tertib dan etika sidang sampai pada perdebatan masalah
bahasa.
Di antara permasalahan yang mengundang perdebatan adalah penggunaan kata-kata yang dinilai memiliki konotasi negatif, seperti “bangsat”, “kurang ajar”, dan sapaan “Daeng” yang berbau sara. Pun perdebatan istilah kebijakan dan kebijaksanaan. Artinya, bahasa telah menjadi persoalan utama yang harus menjadi kompetensi anggota pansus dan masyarakat untuk menjadi seorang dan masyarakat yang melek wacana kritis.
Perdebatan yang kerap terjadi dalam ruang sidang pansus Century dan disaksikan secara live oleh masyarakat tersebut tidak jarang disulut oleh penggunaan bahasa anggota pansus dan saksi yang dihadirkan. Sehubungan dengan persoalan itu, kiranya masyarakat perlu disadarkan akan apa yang disebut oleh Nourman Fairlough dalam Naisbit dan Patricia Aburdene (1996) dengan pendidikan wacana kritis.
Untuk hal itu, masyarakat setidaknya harus diberi pengertian dan pemahaman terhadap tiga hal. Pertama, masyarakat perlu dibekali pemahaman dan sikap kritis terhadap suatu tindak bahasa yang terjadi antar anggota pansus, anggota pansus dengan saksi, dan antarsaksi yang dihadirkan. Tindak bahasa dapat merujuk pada sebuah pengertian tentang probabilitas makna suatu ujaran yang oleh Austin (1962) dan Searle (1969) dinamakan tindak tutur. Ada tiga jenis tindak tutur menurut Searle dalam bukunya Speech Acts: An Easy in The Philosophy of Language (1969:23-24), yaitu tindak lokusioner, tindak ilokusioner, dan tindak perlokusioner.Tindak lokusioner merujuk pada suatu tindak ujaran (utterance) yang mengandung makna mengatakan sesuatu; tindak ilokusioner merupakan tindak ujaran yang bermakna melakukan sesuatu, dan tindak perlokusioner merupakan tindak ujaran yang mengharapkan akibat tertentu dari suatu ujaran tertentu.
Perdebatan masalah kata kebijakan dan kebijaksanaan misalnya, adalah salah satu bentuk ujaran yang tidak hanya memiliki makna lokusi sebagai pernyataan yang sekadar memberikan informasi, tetapi juga memiliki probabilita yang tinggi untuk memiliki ilokusi dan perlokusi, yaitu sebuah makna yang mengarah pada sebuah tindakan untuk melakukan sesuatu (tindakan hukum) dan mengharap akibat tertentu(sebagai akibat tindakan hukum) pula.
Sebagai tindak lokusi, penggunaan kata kebijakan dan kebijaksanaan bisa merujuk pada hal yang sama dan bisa juga merujuk pada hal yang berbeda. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kedua tahun 1993 yang disusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, kebijakan dan kebijaksanaan terdapat dalam masing-masing entri yang berbeda. ôKebijakanö berasal dari entri bijak, sedangkan “kebijaksanaan” berasal dari entri bijaksana. “Bijak” berarti “selalu menggunakan akal budi, pandai, dan mahir. “Kebijakan” mengandung arti; pertama, “kepandaian, kemahiran, dan kebijaksanaan”. Kedua, “rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dsb).
Sementara itu, “bijaksana” memiliki arti yang sama dengan kata “bijak”, yaitu selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuan), arif, dan tajam pikiran. Sedangkan “kebijaksanaan” merujuk pada kepandaian menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya).
Pengaruh Besar
Berdasarkan pada penjelasan tersebut, perdebatan mengenai masalah arti “kebijakan” dan “kebijaksanaan” dapat dijawab. Jika digunakan dalam konteks yang umum sebagai kata, kebijaksanaan dan kebijakan merupakan dua buah kata yang merujuk pada hal yang sama. Akan tetapi, bila digunakan dalam konteks terbatas, “kebijakan” merujuk pada sebuah istilah yang terkait dengan landasan hukum yang digunakan dalam bidang tertentu seperti pemerintahan dan organisasi.
Sebagai tindak bahasa ilokusioner dan perlokusioner, pemaknaan “kebijakan” dan “kebijaksanaan” sangat ditentukan oleh subjek yang terlibat dalam wacana. Seperti yang kita saksikan dalam sidang pansus Century, “kebijakan” dimaknai berbeda dengan “kebijaksanaan” oleh salah seorang anggota pansus dan dimaknai sama oleh salah seorang saksi yang dihadirkan. Pemaknaan yang berbeda tersebut ten-tu saja sangat berkaitan dengan maksud yang ingin dilakukan oleh pelibat dalam wacana itu.
Sebagai tindak bahasa perlokusi, penggunaan kata “kebijakan” dan “kebijaksanaan” dalam arti yang sama ataupun berbeda memiliki implikasi yang berbeda. Bila kata “kebijakan” dan “kebijaksanaan” dimaknai berbeda, implikasi yang diharapkan oleh penutur dalam wacana sidang pansus tersebut adalah adanya tindakan hukum tertentu terhadap masalah yang dibicarakan. Sebaliknya, penggunaan kata “kebijakan” dan “kebijaksanaan” yang dimaknai sama diharapkan memiliki implikasi tidak adanya sebuah tindakan hukum terhadap masalah yang menjadi objek pembicaraan.
Kedua, wacana dibentuk dan terkait dengan kekuasaan. Oleh karena itu, masyarakat harus diberi kesadaran untuk mengambil peran dan memberi pengaruh terhadap wacana yang sedang dibentuk. Dengan demikian, makna “kebijakan” dan “kebijaksanaan” yang diperdebatkan dalam sidang pansus Century dapat ditentukan oleh dan bersumber dari masyarakat. Pun pemaknaan istilah lain yang mungkin juga perlu mendapat perhatian seperti kata “sistemik” dan “kriminalisasi”.
Terakhir, masyarakat mungkin juga perlu diingatkan kembali dengan hipotesis Shapir-Whorf, sebuah hipotesis tentang hubungan antara bahasa dengan pikiran dan antara bahasa dengan masyarakat. Hipotesis ini menyatakan bahwa bahasa yang digunakan oleh seorang individu dan masyarakat akan mencerminkan pemikiran dan karakter individu dan masyarakat tersebut.Artinya, beberapa ujaran dari anggota pansus dan saksi yang dihadirkan dalam persidangan yang mengandung kata atau frasa tertentu yang dinilai memiliki konotasi negatif seperti “bangsat”, “kurang ajar”. “Daeng”, dan lainnya, ataupun kata-kata ya-ng berkonotasi netral seperti “kebijakan” dan “kebijaksanaan” sebenarnya bisa saja merupakan cerminan pemikiran dan etika yang dimiliki individu yang menjadi pelibat dalam wacana.
Mengakhiri tulisan ini, dapat dikemukakan bahwa sidang terbuka dan live pansus Century setidaknya telah memberikan pengaruh yang besar terha-daptidak hanya pendidikan politik, tetapi jugapendi-dikan wacana kritis. Masyarakat perlu disadarkan dengan penggunaan dan pemilihan kata atau frasa tertentu oleh penutur dalam pembentukan dan pemaknaan sebuah wacana yang pada akhirnya akan sangat berpengaruh dalam kehidupan kemasyarakaan dan ketatanegaraan kita. Terlepas dari kesimpulan yang diambil, sidang kasus Century oleh Pansus DPR yang ditayangkan secara langsung dan terbuka beberapa hari ini semoga dapat menjadi sebuah pembelajaran politik dan wacana kritis kepada masyarakat.
Di antara permasalahan yang mengundang perdebatan adalah penggunaan kata-kata yang dinilai memiliki konotasi negatif, seperti “bangsat”, “kurang ajar”, dan sapaan “Daeng” yang berbau sara. Pun perdebatan istilah kebijakan dan kebijaksanaan. Artinya, bahasa telah menjadi persoalan utama yang harus menjadi kompetensi anggota pansus dan masyarakat untuk menjadi seorang dan masyarakat yang melek wacana kritis.
Perdebatan yang kerap terjadi dalam ruang sidang pansus Century dan disaksikan secara live oleh masyarakat tersebut tidak jarang disulut oleh penggunaan bahasa anggota pansus dan saksi yang dihadirkan. Sehubungan dengan persoalan itu, kiranya masyarakat perlu disadarkan akan apa yang disebut oleh Nourman Fairlough dalam Naisbit dan Patricia Aburdene (1996) dengan pendidikan wacana kritis.
Untuk hal itu, masyarakat setidaknya harus diberi pengertian dan pemahaman terhadap tiga hal. Pertama, masyarakat perlu dibekali pemahaman dan sikap kritis terhadap suatu tindak bahasa yang terjadi antar anggota pansus, anggota pansus dengan saksi, dan antarsaksi yang dihadirkan. Tindak bahasa dapat merujuk pada sebuah pengertian tentang probabilitas makna suatu ujaran yang oleh Austin (1962) dan Searle (1969) dinamakan tindak tutur. Ada tiga jenis tindak tutur menurut Searle dalam bukunya Speech Acts: An Easy in The Philosophy of Language (1969:23-24), yaitu tindak lokusioner, tindak ilokusioner, dan tindak perlokusioner.Tindak lokusioner merujuk pada suatu tindak ujaran (utterance) yang mengandung makna mengatakan sesuatu; tindak ilokusioner merupakan tindak ujaran yang bermakna melakukan sesuatu, dan tindak perlokusioner merupakan tindak ujaran yang mengharapkan akibat tertentu dari suatu ujaran tertentu.
Perdebatan masalah kata kebijakan dan kebijaksanaan misalnya, adalah salah satu bentuk ujaran yang tidak hanya memiliki makna lokusi sebagai pernyataan yang sekadar memberikan informasi, tetapi juga memiliki probabilita yang tinggi untuk memiliki ilokusi dan perlokusi, yaitu sebuah makna yang mengarah pada sebuah tindakan untuk melakukan sesuatu (tindakan hukum) dan mengharap akibat tertentu(sebagai akibat tindakan hukum) pula.
Sebagai tindak lokusi, penggunaan kata kebijakan dan kebijaksanaan bisa merujuk pada hal yang sama dan bisa juga merujuk pada hal yang berbeda. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kedua tahun 1993 yang disusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, kebijakan dan kebijaksanaan terdapat dalam masing-masing entri yang berbeda. ôKebijakanö berasal dari entri bijak, sedangkan “kebijaksanaan” berasal dari entri bijaksana. “Bijak” berarti “selalu menggunakan akal budi, pandai, dan mahir. “Kebijakan” mengandung arti; pertama, “kepandaian, kemahiran, dan kebijaksanaan”. Kedua, “rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dsb).
Sementara itu, “bijaksana” memiliki arti yang sama dengan kata “bijak”, yaitu selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuan), arif, dan tajam pikiran. Sedangkan “kebijaksanaan” merujuk pada kepandaian menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya).
Pengaruh Besar
Berdasarkan pada penjelasan tersebut, perdebatan mengenai masalah arti “kebijakan” dan “kebijaksanaan” dapat dijawab. Jika digunakan dalam konteks yang umum sebagai kata, kebijaksanaan dan kebijakan merupakan dua buah kata yang merujuk pada hal yang sama. Akan tetapi, bila digunakan dalam konteks terbatas, “kebijakan” merujuk pada sebuah istilah yang terkait dengan landasan hukum yang digunakan dalam bidang tertentu seperti pemerintahan dan organisasi.
Sebagai tindak bahasa ilokusioner dan perlokusioner, pemaknaan “kebijakan” dan “kebijaksanaan” sangat ditentukan oleh subjek yang terlibat dalam wacana. Seperti yang kita saksikan dalam sidang pansus Century, “kebijakan” dimaknai berbeda dengan “kebijaksanaan” oleh salah seorang anggota pansus dan dimaknai sama oleh salah seorang saksi yang dihadirkan. Pemaknaan yang berbeda tersebut ten-tu saja sangat berkaitan dengan maksud yang ingin dilakukan oleh pelibat dalam wacana itu.
Sebagai tindak bahasa perlokusi, penggunaan kata “kebijakan” dan “kebijaksanaan” dalam arti yang sama ataupun berbeda memiliki implikasi yang berbeda. Bila kata “kebijakan” dan “kebijaksanaan” dimaknai berbeda, implikasi yang diharapkan oleh penutur dalam wacana sidang pansus tersebut adalah adanya tindakan hukum tertentu terhadap masalah yang dibicarakan. Sebaliknya, penggunaan kata “kebijakan” dan “kebijaksanaan” yang dimaknai sama diharapkan memiliki implikasi tidak adanya sebuah tindakan hukum terhadap masalah yang menjadi objek pembicaraan.
Kedua, wacana dibentuk dan terkait dengan kekuasaan. Oleh karena itu, masyarakat harus diberi kesadaran untuk mengambil peran dan memberi pengaruh terhadap wacana yang sedang dibentuk. Dengan demikian, makna “kebijakan” dan “kebijaksanaan” yang diperdebatkan dalam sidang pansus Century dapat ditentukan oleh dan bersumber dari masyarakat. Pun pemaknaan istilah lain yang mungkin juga perlu mendapat perhatian seperti kata “sistemik” dan “kriminalisasi”.
Terakhir, masyarakat mungkin juga perlu diingatkan kembali dengan hipotesis Shapir-Whorf, sebuah hipotesis tentang hubungan antara bahasa dengan pikiran dan antara bahasa dengan masyarakat. Hipotesis ini menyatakan bahwa bahasa yang digunakan oleh seorang individu dan masyarakat akan mencerminkan pemikiran dan karakter individu dan masyarakat tersebut.Artinya, beberapa ujaran dari anggota pansus dan saksi yang dihadirkan dalam persidangan yang mengandung kata atau frasa tertentu yang dinilai memiliki konotasi negatif seperti “bangsat”, “kurang ajar”. “Daeng”, dan lainnya, ataupun kata-kata ya-ng berkonotasi netral seperti “kebijakan” dan “kebijaksanaan” sebenarnya bisa saja merupakan cerminan pemikiran dan etika yang dimiliki individu yang menjadi pelibat dalam wacana.
Mengakhiri tulisan ini, dapat dikemukakan bahwa sidang terbuka dan live pansus Century setidaknya telah memberikan pengaruh yang besar terha-daptidak hanya pendidikan politik, tetapi jugapendi-dikan wacana kritis. Masyarakat perlu disadarkan dengan penggunaan dan pemilihan kata atau frasa tertentu oleh penutur dalam pembentukan dan pemaknaan sebuah wacana yang pada akhirnya akan sangat berpengaruh dalam kehidupan kemasyarakaan dan ketatanegaraan kita. Terlepas dari kesimpulan yang diambil, sidang kasus Century oleh Pansus DPR yang ditayangkan secara langsung dan terbuka beberapa hari ini semoga dapat menjadi sebuah pembelajaran politik dan wacana kritis kepada masyarakat.
HUKUM,
KEBIJAKAN DAN KEBIJAKSANAAN
Pengertian dan konsekuensi
pertanggunggungjawabannya
Dalam realitas di masyarakat, seringkali terjadi kerancuan dalam memahami kesamaan dan perbedaan antara hukum, kebijakan dan kebijaksanaan. Hukum dipahami/diartikan dengan kebijakan, kebijakan dipandang sama dengan kebijaksanaan, bahkan yang paling rancu seringkali ada kebijakan atau kebijaksanaan dipandang sebagai hukum. Penulis mencoba mendiskripsikan pemahaman tentang ketiga istilah tersebut dalam konteks hukum baik teori maupun praktek.
Hukum.
Sampai saat ini, belum ada kesepahaman yang sama dikalangan intelektual hukum tentang pengertian hukum, namun secara umum telah disepakati bahwa ada karakteristik yang menjadi syarat mutlak dari ketentuan yang kemudian bisa dikatagorikan sebagai sebuah produk hukum, yaitu :
Adanya unsur perintah dan atau larangan;
Adanya unsur memaksa (pemberian sanksi bagi pelanggarnya)
Adanya unsur untuk ketertiban, dan
Adanya kewenangan dari pembuat aturan.
Apabila terdapat suatu ketentuan yang tidak mengandung unsur-unsur sebagaimana tersebut diatas maka pantas diragukan apabila produk tersebut dapat disebut sebagai hukum.
Contoh hukum adalah, “barang siapa yang telah mengakibatkan kerugian bagi orang lain, maka terhadap kerugian tersebut bagi pembuatnya diwajibkan memberikan ganti kerugian”. Terdapat unsur (larangan) membuat kerugian, bagi pembuat diharuskan (unsur memaksa) memberikan ganti kerugian, maksud larangan dan pemberian ganti kerugian untuk adanya ketertiban.
Kebijakan
Kebijakan atau biasa disebut dengan policy, sangat erat kaitannya dengan kewenangan, kebijakan muncul karena adanya kewenangan, kewenangan berkaitan dengan jabatan, kebijakan hanya dapat dilakukan oleh karena adanya kewenangan yang melekat pada seseorang.
Orang yang tidak mempunyai kewenangan tidak dapat menerbitkan kebijakan. Kebijakan merupakan ketetapan yang diambil pihak yang mempunyai kewenangan dikarenakan adanya suatu keadaan/permasalah/perubahan tertentu.
Contoh dari kebijakan diantaranya Intruksi Presiden (INPRES), INPRES merupakan kebijakan, bukan hukum, didalam INPRES tidak terdapat unsur larangan dan sanksi, hanya unsur instruksi/perintah, selain itu proses munculnya INPRES tidak melalui proseses legislasi tetapi berdasarkan kewenangan yang melekat pada presiden.
Kebijaksanaan.
Kebijaksanaan merupakan suatu bentuk pengenyampingan terhadap aturan, diumpamakan dalam suatu hal telah ada ketentuan tentang larangan untuk melakukan atau dilakukan sesuatu, tetapi kemudian terdapat pengenyampingan aturan tersebut bahwa sesuatu atau dapat dilakukan atau boleh melakukan sesuatu yang telah dilarang, diperkenankannya melakukan atau dilakukan sesuatu yang dilarang tersebut disertai dengan syarat.
Kebijaksanaan berkaitan erat dengan syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang mendapatkan kebijaksanaan, calon penerima kebijaksanaan harus melakukan/memberikan/membuat sesuau agar kebijaksanaan dapat dikeluarkan, apabila syarat untuk dikeluarkannya kebijaksanaan tidak dipenuhi, maka kebijaksanaan tersebut tidak dapat dikeluarkan oleh pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan kebijaksanaan.
Contoh dari kebijaksanaan diantaranya adalah didalam aturan ketenagakerjaan pada umumnya, bahwa terhadap karyawan yang tidak masuk bekerja selama 5 (lima) hari berturut-turut maka dapat dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) apabila tidak ada pemberitahuan/ijin yang disertai alasan pendukung yang kuat. Pada prinsipnya aturan melarang karyawan tidak masuk 5 (lima) hari berturut-turut dan konsekuensinya dapat di PHK, tetapi terdapat kebijaksanaan bahwa PHK tidak akan dilakukan apabila atas tidak masuk kerja tersebut disertai adanya alasan tidak masuk (ijin).
Contoh lain dari kebijaksanaan adalah, adanya larangan membuang limbah industri cair ke sungai, namun dapat diberikan kebijaksanaan untuk diperbolehkan (dapat ijin) membuang limbah ke sungai dengan syarat kondisi limbah yang akan dibuang harus diolah terlebih dahulu sehingga tidak mengganggu baku mutu air.
Akibat Hukum
Dari ketiga permasalah diatas, sangat berbeda konsekwensi hukum yang dihasilkan baik bagi subyek maupun obyeknya, karena memang prosedur terbitnya juga berbeda.
Karena hukum bersifat memaksa dan dibuat oleh lembaga yang berwenang, maka bagi pelanggar hukum berdampak pada akan diterimanya hukuman, hukuman tersebut merupakan upaya untuk memberikan keseimbangan alam atas ketidakseimbangan yang muncul karena dilanggarnya hukum.
`Sedangkan kebijakan, maka terhadap konskwensi hukum yang muncul sebagai akibat diterbitkannya kebijakan merupakan tanggung jawab dari pengambil kebijakan, sedangkan bagi pelaksana kebijakan, selama dalam pelaksanaannya tidak menyimpang dari kebijakan yang ada maka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum atas akibat dari pelaksanaan kebijakan. Namun apabila dalam pelaksanaan kebijakan ada penyimpangan dan berdampak hukum maka pelaksana kebijakan yang menyimpang bertanggung jawab secara pribadi (Ultra Vires) atas dampak yang muncul.
Untuk kebijaksanaan, maka apabila pemohon kebijaksanaan tidak memenuhi klausula/syarat diberikannya kebijaksanaan, maka pihak yang berwenang memberi kebijaksanaan tentu tidak dapat mengeluarkan kebijaksanaannya, sebaliknya apabila syarat tidak dipenuhi sementara pengambil kebijaksanaan tetap mengeluarkan kebijaksanaan maka pengambil kebijaksanaan dapat dimintai pertanggung jawaban hukum/sanksi atas tindakannya. Sedangkan apabila apabila syarat tidak terpenuhi sementara kebijaksanaan tetap dikeluarkan maka pengambil kebijaksanaan dapat dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum.
PENUTUP
Dari deskripsi diatas maka dapat ditarik resume secara sederhana bahwa :
Hukum, kebijakan dan kebijaksanaan sangat berbeda, baik menyangkut proses terbit, pelaksanaan maupun akibat hukumnya.
Hukum terbit dari proses legislasi yang bertujuan untuk ketertiban dan menghukum bagi pelanggarnya.
Kebijakan terbit karena adanya kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan tertentu.
Kebijaksanaan terbit karena adanya syarat yang dipenuhi untuk dapat dilakukan pengenyampingan terhadap keadaan yang tidak diperkenankan oleh ketentuan.
Dalam realitas di masyarakat, seringkali terjadi kerancuan dalam memahami kesamaan dan perbedaan antara hukum, kebijakan dan kebijaksanaan. Hukum dipahami/diartikan dengan kebijakan, kebijakan dipandang sama dengan kebijaksanaan, bahkan yang paling rancu seringkali ada kebijakan atau kebijaksanaan dipandang sebagai hukum. Penulis mencoba mendiskripsikan pemahaman tentang ketiga istilah tersebut dalam konteks hukum baik teori maupun praktek.
Hukum.
Sampai saat ini, belum ada kesepahaman yang sama dikalangan intelektual hukum tentang pengertian hukum, namun secara umum telah disepakati bahwa ada karakteristik yang menjadi syarat mutlak dari ketentuan yang kemudian bisa dikatagorikan sebagai sebuah produk hukum, yaitu :
Adanya unsur perintah dan atau larangan;
Adanya unsur memaksa (pemberian sanksi bagi pelanggarnya)
Adanya unsur untuk ketertiban, dan
Adanya kewenangan dari pembuat aturan.
Apabila terdapat suatu ketentuan yang tidak mengandung unsur-unsur sebagaimana tersebut diatas maka pantas diragukan apabila produk tersebut dapat disebut sebagai hukum.
Contoh hukum adalah, “barang siapa yang telah mengakibatkan kerugian bagi orang lain, maka terhadap kerugian tersebut bagi pembuatnya diwajibkan memberikan ganti kerugian”. Terdapat unsur (larangan) membuat kerugian, bagi pembuat diharuskan (unsur memaksa) memberikan ganti kerugian, maksud larangan dan pemberian ganti kerugian untuk adanya ketertiban.
Kebijakan
Kebijakan atau biasa disebut dengan policy, sangat erat kaitannya dengan kewenangan, kebijakan muncul karena adanya kewenangan, kewenangan berkaitan dengan jabatan, kebijakan hanya dapat dilakukan oleh karena adanya kewenangan yang melekat pada seseorang.
Orang yang tidak mempunyai kewenangan tidak dapat menerbitkan kebijakan. Kebijakan merupakan ketetapan yang diambil pihak yang mempunyai kewenangan dikarenakan adanya suatu keadaan/permasalah/perubahan tertentu.
Contoh dari kebijakan diantaranya Intruksi Presiden (INPRES), INPRES merupakan kebijakan, bukan hukum, didalam INPRES tidak terdapat unsur larangan dan sanksi, hanya unsur instruksi/perintah, selain itu proses munculnya INPRES tidak melalui proseses legislasi tetapi berdasarkan kewenangan yang melekat pada presiden.
Kebijaksanaan.
Kebijaksanaan merupakan suatu bentuk pengenyampingan terhadap aturan, diumpamakan dalam suatu hal telah ada ketentuan tentang larangan untuk melakukan atau dilakukan sesuatu, tetapi kemudian terdapat pengenyampingan aturan tersebut bahwa sesuatu atau dapat dilakukan atau boleh melakukan sesuatu yang telah dilarang, diperkenankannya melakukan atau dilakukan sesuatu yang dilarang tersebut disertai dengan syarat.
Kebijaksanaan berkaitan erat dengan syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang mendapatkan kebijaksanaan, calon penerima kebijaksanaan harus melakukan/memberikan/membuat sesuau agar kebijaksanaan dapat dikeluarkan, apabila syarat untuk dikeluarkannya kebijaksanaan tidak dipenuhi, maka kebijaksanaan tersebut tidak dapat dikeluarkan oleh pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan kebijaksanaan.
Contoh dari kebijaksanaan diantaranya adalah didalam aturan ketenagakerjaan pada umumnya, bahwa terhadap karyawan yang tidak masuk bekerja selama 5 (lima) hari berturut-turut maka dapat dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) apabila tidak ada pemberitahuan/ijin yang disertai alasan pendukung yang kuat. Pada prinsipnya aturan melarang karyawan tidak masuk 5 (lima) hari berturut-turut dan konsekuensinya dapat di PHK, tetapi terdapat kebijaksanaan bahwa PHK tidak akan dilakukan apabila atas tidak masuk kerja tersebut disertai adanya alasan tidak masuk (ijin).
Contoh lain dari kebijaksanaan adalah, adanya larangan membuang limbah industri cair ke sungai, namun dapat diberikan kebijaksanaan untuk diperbolehkan (dapat ijin) membuang limbah ke sungai dengan syarat kondisi limbah yang akan dibuang harus diolah terlebih dahulu sehingga tidak mengganggu baku mutu air.
Akibat Hukum
Dari ketiga permasalah diatas, sangat berbeda konsekwensi hukum yang dihasilkan baik bagi subyek maupun obyeknya, karena memang prosedur terbitnya juga berbeda.
Karena hukum bersifat memaksa dan dibuat oleh lembaga yang berwenang, maka bagi pelanggar hukum berdampak pada akan diterimanya hukuman, hukuman tersebut merupakan upaya untuk memberikan keseimbangan alam atas ketidakseimbangan yang muncul karena dilanggarnya hukum.
`Sedangkan kebijakan, maka terhadap konskwensi hukum yang muncul sebagai akibat diterbitkannya kebijakan merupakan tanggung jawab dari pengambil kebijakan, sedangkan bagi pelaksana kebijakan, selama dalam pelaksanaannya tidak menyimpang dari kebijakan yang ada maka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum atas akibat dari pelaksanaan kebijakan. Namun apabila dalam pelaksanaan kebijakan ada penyimpangan dan berdampak hukum maka pelaksana kebijakan yang menyimpang bertanggung jawab secara pribadi (Ultra Vires) atas dampak yang muncul.
Untuk kebijaksanaan, maka apabila pemohon kebijaksanaan tidak memenuhi klausula/syarat diberikannya kebijaksanaan, maka pihak yang berwenang memberi kebijaksanaan tentu tidak dapat mengeluarkan kebijaksanaannya, sebaliknya apabila syarat tidak dipenuhi sementara pengambil kebijaksanaan tetap mengeluarkan kebijaksanaan maka pengambil kebijaksanaan dapat dimintai pertanggung jawaban hukum/sanksi atas tindakannya. Sedangkan apabila apabila syarat tidak terpenuhi sementara kebijaksanaan tetap dikeluarkan maka pengambil kebijaksanaan dapat dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum.
PENUTUP
Dari deskripsi diatas maka dapat ditarik resume secara sederhana bahwa :
Hukum, kebijakan dan kebijaksanaan sangat berbeda, baik menyangkut proses terbit, pelaksanaan maupun akibat hukumnya.
Hukum terbit dari proses legislasi yang bertujuan untuk ketertiban dan menghukum bagi pelanggarnya.
Kebijakan terbit karena adanya kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan tertentu.
Kebijaksanaan terbit karena adanya syarat yang dipenuhi untuk dapat dilakukan pengenyampingan terhadap keadaan yang tidak diperkenankan oleh ketentuan.
KEBIJAKAN,
KEBIJAKSANAAN DAN KEBIJAKAN YANG DAPAT DIPIDANA
Akhir-akhir ini dunia politik
Indonesia sedang gemuruh. Gemuruh politik ini apabila disandingkan dengan
pementasan wayang, diibaratkan “goro-goro”, suasana heboh, tidak tentu, ribut,
semua orang menganggap dia yang paling benar. Goro-goro ini sering dipentaskan
pada malam hari menjelang pagi. Disaat penonton sebagian terkantuk-kantuk
mendengarkan wayang, goro-goro diperlukan sebagai penghilang rasa kantuk.
Goro-goro juga diperlukan sebagai bentuk bakti rakyat kepada rajanya. Goro-goro
diperlukan agar yang bathil keluar dari wujud manusia dan yang baik akan
memimpin selanjutnya. Goro-goro juga diperlukan untuk melihat siapa yang jujur
dan siapa yang berhati culas.
Entah apa yang sesungguhnya terjadi. Hanya dalang yang tahu. Dalanglah yang akan menentukan lakon selanjutnya. Dalang pula yang menentukan siapa wayang yang akan dikeluarkan dan siapa pula yang akan disimpan masuk peti.
Lakon Century mulai memasuki babak baru. Hiruk pikuk dan gemuruh kasus Century mulai bergeser dari senayan ke istana. Parlemen telah menetapkan adanya hak menyatakan pendapat dalam menilai kasus Bank Century. Penetapan hak menyatakan pendapat telah memberikan rekomendasi akhir bahwa dana talangan yang diberikan kepada Bank Century menemukan penyimpangan. Sehingga dana talangan yang semestinya digunakan untuk bank sehat diindikasikan “bau tidak sedap”.
Sekarang wacana bergeser. Apabila rekomendasi DPR didalam menilai “bau tidak sedap’ berdimensi politik, maka sekarang issu hukum mulai merebak. Wacana seperti Kebijakan, kebijaksanaan dan Kebijakan tidak dapat dipidana mulai bersileweran di wacana publik. Dari pemikiran inilah, penulis urun rembug untuk melihat kasus ini secara jernih.
Ilmu kebijakan adalah terjemahan langsung dari kata policy science (Dror, 1968: 6-8 ). Beberapa penulis besar dalam ilmu ini, seperti William Dunn, Charles Jones, Lee Friedman, dan lain-lain, menggunakan istilah public policy dan public policy analysis dalam pengertian yang tidak berbeda. Istilah kebijaksanaan atau kebijakan yang diterjemahkan dari kata policy memang biasanya dikaitkan dengan keputusan pemerintah, karena pemerintahlah yang mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat, dan bertanggung jawab melayani kepentingan umum. Ini sejalan dengan pengertian public itu sendiri dalam bahasa Indonesia yang berarti pemerintah, masyarakat atau umum.
Dengan demikian perbedaan makna antara perkataan kebijaksanaan dan kebijakan tidak menjadi persoalan, selama kedua istilah itu diartikan sebagai keputusan pemerintah yang relatif bersifat umum dan ditujukan kepada masyarakat umum.
Kebijakan (policy), sangat erat kaitannya dengan kewenangan, kebijakan muncul karena adanya kewenangan, kewenangan berkaitan dengan jabatan, kebijakan hanya dapat dilakukan oleh karena adanya kewenangan yang melekat pada seseorang.
Orang yang tidak mempunyai kewenangan tidak dapat menerbitkan kebijakan
Kebijaksanaan merupakan suatu bentuk pengenyampingan terhadap aturan, diumpamakan dalam suatu hal telah ada ketentuan tentang larangan untuk melakukan atau dilakukan sesuatu, tetapi kemudian terdapat pengenyampingan aturan tersebut bahwa sesuatu atau dapat dilakukan atau boleh melakukan sesuatu yang telah dilarang, diperkenankannya melakukan atau dilakukan sesuatu yang dilarang tersebut disertai dengan syarat.
Kebijaksanaan berkaitan erat dengan syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang mendapatkan kebijaksanaan, calon penerima kebijaksanaan harus melakukan/memberikan/membuat sesuau agar kebijaksanaan dapat dikeluarkan, apabila syarat untuk dikeluarkannya kebijaksanaan tidak dipenuhi, maka kebijaksanaan tersebut tidak dapat dikeluarkan oleh pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan kebijaksanaan.Dengan demikian, “bijaksana” memiliki arti yang sama dengan kata “bijak”, yaitu selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuan), arif, dan tajam pikiran. Sedangkan “kebijaksanaan” merujuk pada kepandaian menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya)
Perbedaan kata kebijakan dengan kebijaksanaan berasal dari keinginan untuk membedakan istilah policy sebgai keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat, dengan istilah discretion, yang dapat diartikan “ilah” atau keputusan yang bersifat kasuistis untuk sesuatu hal pada suatu waktu tertentu. Kata policy secara etimologis berasal dari kata polis dalam bahasa Yunani (Greek), yang berarti negara-kota. Dalam bahasa latin kata ini menjadi politia, artinya negara. Masuk kedalam bahasa Inggris lama (Middle English), kata tersebut menjadi policie, yang pengertiannya berkaitan dengan urusan perintah atau administrasi pemerintah (Dunn,1981:7). (lihat Kebijakan Publik karangan Said Zainal Abidin, Edisi Revisi, tahun 2004, Penerbit: Yayasan Pancur Siwah, Jakarta).
Dalam konteks hukum tata usaha negara Indonesia, masih terdapat kerancuan mengenai hubungan antara kebijakan dengan keputusan (beschicking) maupun pengaturan (regelling). Dalam konteks peraturan perundangan, kebijakan memiliki konotasi kesejahteraan masyarakat. Pada masa Orde Baru, kebijaksanaan juga digunakan untuk kebijakan.
Dalam realitas di masyarakat, seringkali terjadi kerancuan dalam memahami kesamaan dan perbedaan antara hukum, kebijakan dan kebijaksanaan. Hukum dipahami/diartikan dengan kebijakan, kebijakan dipandang sama dengan kebijaksanaan, bahkan yang paling rancu seringkali ada kebijakan atau kebijaksanaan dipandang sebagai hukum.
Pembedaan ini sengaja penulis sampaikan karena menimbulkan akibat hukum. Kebijakan, maka akan menimbulanm konskwensi hukum yang muncul sebagai akibat diterbitkannya. Kebijakan merupakan tanggung jawab dari pengambil kebijakan, sedangkan bagi pelaksana kebijakan, selama dalam pelaksanaannya tidak menyimpang dari kebijakan yang ada maka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum atas akibat dari pelaksanaan kebijakan.
Namun apabila dalam pelaksanaan kebijakan ada penyimpangan dan berdampak hukum maka pelaksana kebijakan yang menyimpang bertanggung jawab secara pribadi (Ultra Vires) atas dampak yang muncul. Untuk kebijaksanaan, maka apabila pemohon kebijaksanaan tidak memenuhi klausula/syarat diberikannya kebijaksanaan, maka pihak yang berwenang memberi kebijaksanaan tentu tidak dapat mengeluarkan kebijaksanaannya, sebaliknya apabila syarat tidak dipenuhi sementara pengambil kebijaksanaan tetap mengeluarkan kebijaksanaan maka pengambil kebijaksanaan dapat dimintai pertanggung jawaban hukum/sanksi atas tindakannya. Sedangkan apabila apabila syarat tidak terpenuhi sementara kebijaksanaan tetap dikeluarkan maka pengambil kebijaksanaan dapat dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Berangkat dari paparan yang telah penulis sampaikan, maka barulah kita melihat kepada konteks pada kasus Bank Century. Didalam melihat kasus ini, maka haruslah dilihat ketentuan norma yang dilanggar dalam proses bail out, dana talangan, merger dan pengucuran dana tersebut.
Ketentuan yang mengatur tentu saja UU Korupsi, UU Pencucian Uang, UU Perbankan dan tindak pidana umum lainnya. Untuk mengidentifikasi perbuatan yang dapat diancama, maka kita harus memetakan dahulu persoalannya. Pertanyaan seperti, apakah para pengambil kebijakan mengetahui kewenangan yang ada ? apakah proses nya telah melalui mekanisme yang baik. Apakah hal-hal yang diatur telah sesuai dengan kewenangannya.
Apabila kita perhatikan kepada tayangan live tv, maka didapatkan fakta bahwa kewenangan KSSK, BI, LPS didalam melaksanakan tahap-tahap bail out masih kabur. Apakah begitu berdampak sistematik yang membuat para pemangku kebijakan mengambil keputusan itu. Fakta-fakta yang terungkap memberikan catatan penting, bahwa Bank century sama sekali tidak dapat dikategorikan sebagai bank yang berdampak sistematik. Transaksi dengan Bank Century sama sekali tidak menganggu industri perbankan nasional. (bandingkan saat rush bank BCA beberapa waktu yang lalu). Apakah begitu parahnya emergency dan berdampak sistematik sehingga rapat diadakan dan keputusan harus diambil sampai jam 4 subuh ? apakah upaya penggantian ketentuan Peraturan BI untuk mencukupi syarat sehingga Bank Century bisa mendapatkan talangan?
Sorotan didalam melihat kewenangan dari pemangku kebijakan merupakan salah satu sendi untuk melihat apakah kebijakan itu dapat diproses hukum atau tidak. Secara kasat mata dengan jelas tergambar, bahwa upaya sistematis untuk mencukupi Bank Century mendapatkan dana talangan berindikasikan “aroma tidak sedap”. Pernyataan Direktur BI yang memberikan penjelasan bahwa Bank Century tidak layak diberikan dana talangan sama sekali diabaikan para pemangku kebijakan. Para pemangku kebijakan kemudian memutuskan tetap memberikan dana talangan kepada Bank Century.
Cerita ini semakin “tidak sedap” disaat bersamaan keputusan Pemerintah memberikan talangan sama sekali tidak diketahui Kepala Negara ad interm Wakil Presiden. Wapres Jusuf Kalla justru dikabarkan setelah dana dikucurkan.
Dengan demikian, maka secara formal, kewenangan pemangku kebijakan didalam pengucuran dana talangan sudah bermasalah. Permasalahan inilah yang membuat DPR meradang karena kewenangan yang diberikan menggunakan Perpu No. 4 tahun 2008 yang kemudian terbukti tidak berlaku.
Maka sudah jelas kelihatan, bahwa kebijakan yang dilakukan bermasalah. Atau dengan kata lain, bahwa kewenangan pemangku kebijakan menimbulkan persoalan.
Dari ranah ini kemudian penulis membantah pernyataan bahwa kebijakan tidak dapat diproses secara hukum.
Walaupun penulis menyoroti kewenangan pemangku kebijakan yang bermasalah namun penulis mencoba mengidentifikasi apakah terhadap kewenangan yang bermasalah tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Didalam lapangan hukum pidana, untuk melihat kesalahan seseorang selain daripada telah terjadinya tindak pidana, adanya kesalahan pada diri terdakwa dan terdakwa dapat dipertanggungjawabkan. Berangkat dari pemikiran itu, maka penulis akan mencoba mengidentifikasikan untuk melihat kesalahan dari para pemangku kebijakan.
Didalam melihat kesalahan terutama dihubungkan dengan UU Korupsi, UU Perbankan, UU Money loundry dan tindak pidana lainnya, maka menurut penulis masih menjadi persoalan didalam lapangan pembuktian. Upaya yang dilakukan para pemangku kebijakan didalam menyelamatkan krisis haruslah diberi konteks dari sudut pandang ilmu ekonomi. Dari ranah ini sebenarnya, upaya penyelamatan yang dilakukan haruslah steril dari keuntungan yang didapat para pemangku kebijakan. Sehingga unsur “kerugian negara” sebagai unsur yang essensial dari tindak pidana korupsi haruslah dibuktikan. Hasil audit BPK yang menghitung kerugian negara akibat Bail out haruslah diletakkan pada konteks upaya menyelamatkan keuangan negara. Bukan potensi kerugian negara yang akan terjadi. Kerugian negara yang bisa ditimbulkan dari dana talangan harus juga diletakkan pada konteksnya yaitu mengembalikan kerugian negara tersebut baik melalui mekanisme gugatan perdata maupun administrasi negara. Dari ranah ini, hasil audit BPK barulah dijadikan dasar untuk melihat kesalahan dan para pemangku dapat dipertanggungjawabkan.
Ketentuan ini sengaja penulis sedikit uraikan agar kita bisa mengidentifikasikan kasus Century secara obyektif. Dengan demikian, apabila uraian ini tidak bisa ditemukan pada kasus Century, maka sudah seharusnya, para pemangku kebijakan harus mempertanggungjawabkan dimuka hukum (Ultra Vires).
Entah apa yang sesungguhnya terjadi. Hanya dalang yang tahu. Dalanglah yang akan menentukan lakon selanjutnya. Dalang pula yang menentukan siapa wayang yang akan dikeluarkan dan siapa pula yang akan disimpan masuk peti.
Lakon Century mulai memasuki babak baru. Hiruk pikuk dan gemuruh kasus Century mulai bergeser dari senayan ke istana. Parlemen telah menetapkan adanya hak menyatakan pendapat dalam menilai kasus Bank Century. Penetapan hak menyatakan pendapat telah memberikan rekomendasi akhir bahwa dana talangan yang diberikan kepada Bank Century menemukan penyimpangan. Sehingga dana talangan yang semestinya digunakan untuk bank sehat diindikasikan “bau tidak sedap”.
Sekarang wacana bergeser. Apabila rekomendasi DPR didalam menilai “bau tidak sedap’ berdimensi politik, maka sekarang issu hukum mulai merebak. Wacana seperti Kebijakan, kebijaksanaan dan Kebijakan tidak dapat dipidana mulai bersileweran di wacana publik. Dari pemikiran inilah, penulis urun rembug untuk melihat kasus ini secara jernih.
Ilmu kebijakan adalah terjemahan langsung dari kata policy science (Dror, 1968: 6-8 ). Beberapa penulis besar dalam ilmu ini, seperti William Dunn, Charles Jones, Lee Friedman, dan lain-lain, menggunakan istilah public policy dan public policy analysis dalam pengertian yang tidak berbeda. Istilah kebijaksanaan atau kebijakan yang diterjemahkan dari kata policy memang biasanya dikaitkan dengan keputusan pemerintah, karena pemerintahlah yang mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat, dan bertanggung jawab melayani kepentingan umum. Ini sejalan dengan pengertian public itu sendiri dalam bahasa Indonesia yang berarti pemerintah, masyarakat atau umum.
Dengan demikian perbedaan makna antara perkataan kebijaksanaan dan kebijakan tidak menjadi persoalan, selama kedua istilah itu diartikan sebagai keputusan pemerintah yang relatif bersifat umum dan ditujukan kepada masyarakat umum.
Kebijakan (policy), sangat erat kaitannya dengan kewenangan, kebijakan muncul karena adanya kewenangan, kewenangan berkaitan dengan jabatan, kebijakan hanya dapat dilakukan oleh karena adanya kewenangan yang melekat pada seseorang.
Orang yang tidak mempunyai kewenangan tidak dapat menerbitkan kebijakan
Kebijaksanaan merupakan suatu bentuk pengenyampingan terhadap aturan, diumpamakan dalam suatu hal telah ada ketentuan tentang larangan untuk melakukan atau dilakukan sesuatu, tetapi kemudian terdapat pengenyampingan aturan tersebut bahwa sesuatu atau dapat dilakukan atau boleh melakukan sesuatu yang telah dilarang, diperkenankannya melakukan atau dilakukan sesuatu yang dilarang tersebut disertai dengan syarat.
Kebijaksanaan berkaitan erat dengan syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang mendapatkan kebijaksanaan, calon penerima kebijaksanaan harus melakukan/memberikan/membuat sesuau agar kebijaksanaan dapat dikeluarkan, apabila syarat untuk dikeluarkannya kebijaksanaan tidak dipenuhi, maka kebijaksanaan tersebut tidak dapat dikeluarkan oleh pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan kebijaksanaan.Dengan demikian, “bijaksana” memiliki arti yang sama dengan kata “bijak”, yaitu selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuan), arif, dan tajam pikiran. Sedangkan “kebijaksanaan” merujuk pada kepandaian menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya)
Perbedaan kata kebijakan dengan kebijaksanaan berasal dari keinginan untuk membedakan istilah policy sebgai keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat, dengan istilah discretion, yang dapat diartikan “ilah” atau keputusan yang bersifat kasuistis untuk sesuatu hal pada suatu waktu tertentu. Kata policy secara etimologis berasal dari kata polis dalam bahasa Yunani (Greek), yang berarti negara-kota. Dalam bahasa latin kata ini menjadi politia, artinya negara. Masuk kedalam bahasa Inggris lama (Middle English), kata tersebut menjadi policie, yang pengertiannya berkaitan dengan urusan perintah atau administrasi pemerintah (Dunn,1981:7). (lihat Kebijakan Publik karangan Said Zainal Abidin, Edisi Revisi, tahun 2004, Penerbit: Yayasan Pancur Siwah, Jakarta).
Dalam konteks hukum tata usaha negara Indonesia, masih terdapat kerancuan mengenai hubungan antara kebijakan dengan keputusan (beschicking) maupun pengaturan (regelling). Dalam konteks peraturan perundangan, kebijakan memiliki konotasi kesejahteraan masyarakat. Pada masa Orde Baru, kebijaksanaan juga digunakan untuk kebijakan.
Dalam realitas di masyarakat, seringkali terjadi kerancuan dalam memahami kesamaan dan perbedaan antara hukum, kebijakan dan kebijaksanaan. Hukum dipahami/diartikan dengan kebijakan, kebijakan dipandang sama dengan kebijaksanaan, bahkan yang paling rancu seringkali ada kebijakan atau kebijaksanaan dipandang sebagai hukum.
Pembedaan ini sengaja penulis sampaikan karena menimbulkan akibat hukum. Kebijakan, maka akan menimbulanm konskwensi hukum yang muncul sebagai akibat diterbitkannya. Kebijakan merupakan tanggung jawab dari pengambil kebijakan, sedangkan bagi pelaksana kebijakan, selama dalam pelaksanaannya tidak menyimpang dari kebijakan yang ada maka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum atas akibat dari pelaksanaan kebijakan.
Namun apabila dalam pelaksanaan kebijakan ada penyimpangan dan berdampak hukum maka pelaksana kebijakan yang menyimpang bertanggung jawab secara pribadi (Ultra Vires) atas dampak yang muncul. Untuk kebijaksanaan, maka apabila pemohon kebijaksanaan tidak memenuhi klausula/syarat diberikannya kebijaksanaan, maka pihak yang berwenang memberi kebijaksanaan tentu tidak dapat mengeluarkan kebijaksanaannya, sebaliknya apabila syarat tidak dipenuhi sementara pengambil kebijaksanaan tetap mengeluarkan kebijaksanaan maka pengambil kebijaksanaan dapat dimintai pertanggung jawaban hukum/sanksi atas tindakannya. Sedangkan apabila apabila syarat tidak terpenuhi sementara kebijaksanaan tetap dikeluarkan maka pengambil kebijaksanaan dapat dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Berangkat dari paparan yang telah penulis sampaikan, maka barulah kita melihat kepada konteks pada kasus Bank Century. Didalam melihat kasus ini, maka haruslah dilihat ketentuan norma yang dilanggar dalam proses bail out, dana talangan, merger dan pengucuran dana tersebut.
Ketentuan yang mengatur tentu saja UU Korupsi, UU Pencucian Uang, UU Perbankan dan tindak pidana umum lainnya. Untuk mengidentifikasi perbuatan yang dapat diancama, maka kita harus memetakan dahulu persoalannya. Pertanyaan seperti, apakah para pengambil kebijakan mengetahui kewenangan yang ada ? apakah proses nya telah melalui mekanisme yang baik. Apakah hal-hal yang diatur telah sesuai dengan kewenangannya.
Apabila kita perhatikan kepada tayangan live tv, maka didapatkan fakta bahwa kewenangan KSSK, BI, LPS didalam melaksanakan tahap-tahap bail out masih kabur. Apakah begitu berdampak sistematik yang membuat para pemangku kebijakan mengambil keputusan itu. Fakta-fakta yang terungkap memberikan catatan penting, bahwa Bank century sama sekali tidak dapat dikategorikan sebagai bank yang berdampak sistematik. Transaksi dengan Bank Century sama sekali tidak menganggu industri perbankan nasional. (bandingkan saat rush bank BCA beberapa waktu yang lalu). Apakah begitu parahnya emergency dan berdampak sistematik sehingga rapat diadakan dan keputusan harus diambil sampai jam 4 subuh ? apakah upaya penggantian ketentuan Peraturan BI untuk mencukupi syarat sehingga Bank Century bisa mendapatkan talangan?
Sorotan didalam melihat kewenangan dari pemangku kebijakan merupakan salah satu sendi untuk melihat apakah kebijakan itu dapat diproses hukum atau tidak. Secara kasat mata dengan jelas tergambar, bahwa upaya sistematis untuk mencukupi Bank Century mendapatkan dana talangan berindikasikan “aroma tidak sedap”. Pernyataan Direktur BI yang memberikan penjelasan bahwa Bank Century tidak layak diberikan dana talangan sama sekali diabaikan para pemangku kebijakan. Para pemangku kebijakan kemudian memutuskan tetap memberikan dana talangan kepada Bank Century.
Cerita ini semakin “tidak sedap” disaat bersamaan keputusan Pemerintah memberikan talangan sama sekali tidak diketahui Kepala Negara ad interm Wakil Presiden. Wapres Jusuf Kalla justru dikabarkan setelah dana dikucurkan.
Dengan demikian, maka secara formal, kewenangan pemangku kebijakan didalam pengucuran dana talangan sudah bermasalah. Permasalahan inilah yang membuat DPR meradang karena kewenangan yang diberikan menggunakan Perpu No. 4 tahun 2008 yang kemudian terbukti tidak berlaku.
Maka sudah jelas kelihatan, bahwa kebijakan yang dilakukan bermasalah. Atau dengan kata lain, bahwa kewenangan pemangku kebijakan menimbulkan persoalan.
Dari ranah ini kemudian penulis membantah pernyataan bahwa kebijakan tidak dapat diproses secara hukum.
Walaupun penulis menyoroti kewenangan pemangku kebijakan yang bermasalah namun penulis mencoba mengidentifikasi apakah terhadap kewenangan yang bermasalah tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Didalam lapangan hukum pidana, untuk melihat kesalahan seseorang selain daripada telah terjadinya tindak pidana, adanya kesalahan pada diri terdakwa dan terdakwa dapat dipertanggungjawabkan. Berangkat dari pemikiran itu, maka penulis akan mencoba mengidentifikasikan untuk melihat kesalahan dari para pemangku kebijakan.
Didalam melihat kesalahan terutama dihubungkan dengan UU Korupsi, UU Perbankan, UU Money loundry dan tindak pidana lainnya, maka menurut penulis masih menjadi persoalan didalam lapangan pembuktian. Upaya yang dilakukan para pemangku kebijakan didalam menyelamatkan krisis haruslah diberi konteks dari sudut pandang ilmu ekonomi. Dari ranah ini sebenarnya, upaya penyelamatan yang dilakukan haruslah steril dari keuntungan yang didapat para pemangku kebijakan. Sehingga unsur “kerugian negara” sebagai unsur yang essensial dari tindak pidana korupsi haruslah dibuktikan. Hasil audit BPK yang menghitung kerugian negara akibat Bail out haruslah diletakkan pada konteks upaya menyelamatkan keuangan negara. Bukan potensi kerugian negara yang akan terjadi. Kerugian negara yang bisa ditimbulkan dari dana talangan harus juga diletakkan pada konteksnya yaitu mengembalikan kerugian negara tersebut baik melalui mekanisme gugatan perdata maupun administrasi negara. Dari ranah ini, hasil audit BPK barulah dijadikan dasar untuk melihat kesalahan dan para pemangku dapat dipertanggungjawabkan.
Ketentuan ini sengaja penulis sedikit uraikan agar kita bisa mengidentifikasikan kasus Century secara obyektif. Dengan demikian, apabila uraian ini tidak bisa ditemukan pada kasus Century, maka sudah seharusnya, para pemangku kebijakan harus mempertanggungjawabkan dimuka hukum (Ultra Vires).
2. PENGERTIAN
KEBIJAKAN PUBLIK
Kebijakan publik terdiri dari dua
kata yakni
kebijakan dan publik. Kata
kebijakan merupakan
terjemahan dari kata Inggris policy
artinya
politik, siasat, kebijaksanaan
(Wojowasito, 1975
: 60). Dalam pembahasan ini
kebijakan
dibedakan dengan kebijaksanaan.
Menurut M.
Irfan Islamy, policy diterjemahkan
dengan
kebijakan yang berbeda artinya
dengan wisdom
yang artinya kebijaksanaan.
Pengertian
kebijaksanaan memerlukan
pertimbanganpertimbangan
lebih jauh lagi, sedangkan
kebijakan mencakup aturan-aturan
yang ada
didalamnya (Islamy, 1999 : 13). Policy
atau
kebijakan ini “tertuang dalam
dokumen resmi ....
Bahkan dalam beberapa bentuk
peraturan hukum,
... misalnya di dalam UU, PP,
Keppres, Peraturan
Menteri (Permen), Perda dan
lain-lain” (Lubis,
2007 : 5). Dengan demikian,
kebijakan (policy)
adalah “seperangkat keputusan
yang diambil oleh
pelaku-pelaku politik dalam
rangka memilih
tujuan dan bagaimana cara untuk
pencapaian
tujuan”.
pengertian
kebijakan menurut penulis dapat diartikan sebagai serangkaian dari beberapa
keputusan-keputusan yang diambil oleh sejumlah aktor baik pejabat, maupun
instansi yang dapat dijadikan sebagai pedoman dan dasar suatu rencana dalam melaksanakan
suatu pekerjaan dalam rangka pencapaian suatu tujuan.
kebijaksanaan sebagai suatu ketentuan untuk memutuskan
cara yang tepat dalam menghadapi suatu masalah atau persoalan tertentu, untuk
mendapatkan hasil akhir yang dipandang sebagai yang terbaik dan telah
disepakati oleh pihak yang bersangkutan dan di tetapkan oleh pihak yang
memiliki wewenang dalam mencapai tujuan tertentu.
keputusan dapat diartikan sebagai suatu wujud ataupun
reaksi akhir yang timbul dari suatu proses pemikiran/ pemecahan tentang suatu
masalah yang dilakukan melalui pengambilan satu alternatif dari beberapa
alternatif yang tersedia.
Dari ketiga kata tersebut, masing-masing memiliki
definisi yang berbeda-beda. Namun, tidak ada perbedaan kebijaksanaan dan
kebijakan sepanjang keduanya diartikan sebagai keputusan pemerintah Dari ketiga
kata tersebut memiliki persamaan yaitu pada prosesnya dimana baik kebijakan,
kebijaksanaan maupun keputusan bertujuan untuk memecahkan, mengurangi, dan
mencegah suatu masalah melalui proses pemikiran dan pemilihan alternatif
diantara beberapa alternatif yang memungkinkan. Kebijakan, kebijaksanaan sangat
dekat dengan kepemimpinan serta sama-sama ditetapkan/ di putuskan oleh
pihak-pihak yang berwenang dan biasanya merupakan kumpulan dari beberapa keputusan-keputusan
yang dapat dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan yang lainnya.
Sedangkan keputusan sendiri dapat saja di lakukan oleh siapa saja, baik itu
seseorang maupun sekelompok orang tertentu
). Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Moeliono, 1989:114) mengartikan kata bijak
sebagai keadaan atau sifat yang selalu menggunakan akal budi, pandai, mahir,
pandai bercakap-cakap, petah lidah. Kata bijaksana diartikan sebagai selalu
menggunakan akal budi, arif, tajam pikiran, pandai dan ingat-ingat (cermat,
teliti) ketika menghadapi kesulitan
.
Perbedaan arti dan makna kedua kata ini baru tampak jelas justru ketika terjadi
proses morfologis (afiksisasi) dengan konfiks ke-/-an yang
menghasilkan kata kebijakan dan kebijaksanaan.
Berdasarkan pada penjelasan tersebut, perdebatan
mengenai masalah arti “kebijakan” dan “kebijaksanaan” dapat dijawab. Jika
digunakan dalam konteks yang umum sebagai kata, kebijaksanaan dan kebijakan
merupakan dua buah kata yang merujuk pada hal yang sama. Akan tetapi, bila digunakan
dalam konteks terbatas, “kebijakan” merujuk pada sebuah istilah yang terkait
dengan landasan hukum yang digunakan dalam bidang tertentu seperti pemerintahan
dan organisasi.
Kebijakan
atau biasa disebut dengan policy, Kebijakan merupakan ketetapan yang diambil
pihak yang mempunyai kewenangan dikarenakan adanya suatu
keadaan/permasalah/perubahan tertentu.
Contoh dari kebijakan diantaranya Intruksi Presiden (INPRES), INPRES merupakan kebijakan, bukan hukum, didalam INPRES tidak terdapat unsur larangan dan sanksi, hanya unsur instruksi/perintah, selain itu proses munculnya INPRES tidak melalui proseses legislasi tetapi berdasarkan kewenangan yang melekat pada presiden.
Kebijaksanaan merupakan suatu bentuk pengenyampingan terhadap aturan, diumpamakan dalam suatu hal telah ada ketentuan tentang larangan untuk melakukan atau dilakukan sesuatu, tetapi kemudian terdapat pengenyampingan aturan tersebut bahwa sesuatu atau dapat dilakukan atau boleh melakukan sesuatu yang telah dilarang, diperkenankannya melakukan atau dilakukan sesuatu yang dilarang tersebut disertai dengan syarat.
Contoh dari kebijakan diantaranya Intruksi Presiden (INPRES), INPRES merupakan kebijakan, bukan hukum, didalam INPRES tidak terdapat unsur larangan dan sanksi, hanya unsur instruksi/perintah, selain itu proses munculnya INPRES tidak melalui proseses legislasi tetapi berdasarkan kewenangan yang melekat pada presiden.
Kebijaksanaan merupakan suatu bentuk pengenyampingan terhadap aturan, diumpamakan dalam suatu hal telah ada ketentuan tentang larangan untuk melakukan atau dilakukan sesuatu, tetapi kemudian terdapat pengenyampingan aturan tersebut bahwa sesuatu atau dapat dilakukan atau boleh melakukan sesuatu yang telah dilarang, diperkenankannya melakukan atau dilakukan sesuatu yang dilarang tersebut disertai dengan syarat.
Contoh
lain dari kebijaksanaan adalah, adanya larangan membuang limbah industri cair
ke sungai, namun dapat diberikan kebijaksanaan untuk diperbolehkan (dapat ijin)
membuang limbah ke sungai dengan syarat kondisi limbah yang akan dibuang harus
diolah terlebih dahulu sehingga tidak mengganggu baku mutu air.
kebijakan
dan kebijaksanaan sangat berbeda, baik menyangkut proses terbit, pelaksanaan
maupun akibat hukumnya.
Kebijakan terbit karena adanya kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan tertentu.
Kebijaksanaan terbit karena adanya syarat yang dipenuhi untuk dapat dilakukan pengenyampingan terhadap keadaan yang tidak diperkenankan oleh ketentuan.
Kebijakan terbit karena adanya kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan tertentu.
Kebijaksanaan terbit karena adanya syarat yang dipenuhi untuk dapat dilakukan pengenyampingan terhadap keadaan yang tidak diperkenankan oleh ketentuan.
kebijaksanaan memerlukan
pertimbanganpertimbangan
lebih jauh lagi, sedangkan
kebijakan mencakup aturan-aturan
yang ada
didalamnya kebijakan ini
“tertuang dalam dokumen resmi ....
Bahkan dalam beberapa bentuk
peraturan hukum,
... misalnya di dalam UU, PP,
Keppres, Peraturan
Menteri (Permen), Perda dan
lain-lain” (Lubis,
2007 : 5). Dengan demikian,
kebijakan (policy)
adalah “seperangkat keputusan
yang diambil oleh
pelaku-pelaku politik dalam
rangka memilih
tujuan dan bagaimana cara untuk
pencapaian
tujuan”.
Berdasarkan uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa hubungan antara kebijakan
publik dengan hukum berjalan seiring, sejalan
dengan prinsip saling mengisi. Kebijakan publik
umumnya dilegalisasikan dalam bentuk hukum
sedangkan hukum adalah hasil dari kebijakan
publik. Maksudnya, sebuah produk hukum tanpa
adanya proses kebijakan publik maka produk
hukum tersebut dapat kehilangan makna
substansinya.
Sebaliknya
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
ReplyDeleteSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 8 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.net
arena-domino.org
100% Memuaskan ^-^