Blogroll

Wednesday 15 October 2014

Kodifikasi dan Kompilasi



2.1 Pengertian Kodifikasi
          Kodifikasi secara etimologi berasal dari kata codex yang berarti undang-undang. Jadi secara terminologi pengkodifikasian hukum artinya penyusunan peraturan-peraturan hukum secara sistematis, bulat, dan lengkap dalam suatu kitab undang-undang oleh badan pemerintah yang berwenang. Menurut Kansil didalam bukunya dijelaskan pengertian bahwa kodifikasi adalah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap. Sumber lain mengatakan bahwa kodifikasi hukum adalah pembukuan hukum suatu himpunan Undang-Undang dalam materi yang sama. Menurut Salmon (Fitzgerland, 1966 : 130) yang dikutip Satjipto Rahardjo dalam bukunya tentang kodifikasi:

http://ngeklik.com/?id=akhyar25
          “Keseluruhan kecendrungan zaman modern sekarang adalah kearah proses yang sejak zaman bentham, dikenal sebagai kodifikasi, yaitu reduksi terhadap seluruh corpus jurus, sejauh menjadi praktis, dalam bentuk hukum perundang-undangan. Dalam hal ini Inggris sangat ketinggalan disbanding dengan Eropa Daratan. Sejak pertengahan abad kedelapanbelas prose situ telah berlangsung di Negara-negara Eropa, dan sekarang ini telah selesai sama sekali. Hampir dimana-mana, kumpulan kuna yang terdiri dari hukum-hukum sipil, gereja, kebiasaan, dan perundang-undangan yang disusun dengan sedikit banyak keterampilan dan sukses ...”
          Gambaran diatas menunjukkan bagaimana kodifikasi dimulai dari permulaan sekali, yaitu pada waktu eropa masih terdapat bermacam-macam jenis hukum, yang disebut oleh Salmon disebut sebagai “Medley”.
Dari sumber-sumber diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kodifikasi adalah pembukuan undang-undang menurut jenis-jenisnya dengan unsur komponennya secara sistematis dan lengkap. Dengan pembagian jenis-jenis seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum sipil, hukum gereja, dan lain sebagainya

Kebutuhan pengkodifikasian sendiri didasarkan karena begitu banyaknya undang-undang dan begitu sulitnya orang-orang untuk mencarinya. Pengkodifikasian sendiri telah dimulai sejak zaman Romawi yaitu pada masa Kaisar Justianus dari Roma (527-565), kodifikasi terbesar telah dilaksanakan dan hasil pekerjaan itu berupa undang-undang Corpus Juris Justianus, yang terdiri atas tiga bagian, yaitu: Institutione, Digesten atau Pendekten, dan Codex. Nilai Kodifikasi ini begitu tinggi, sehingga menjadi pokok pangkal pertumbuhan hukum di benua Eropa sampai sekarang ini. Dan titik pangkal pengkodifikasian setelah zaman Romawi adalah ketika zamannya Napoleon Bonaparte diPerancis dengan disusunnya Code Civil Napoleon. Sejarah kodifikasi nasional dimulai dari Code Civil Napoleon, karena sebelum ada kodifikasi undang-undang tersebut di Perancis belum adanya kesatuan dan kepastian hukum. Sejarah dari Romawi dan Perancis inilah akhirnya melahirkan kodifikasi yang digunakan hingga saat ini untuk memudahkan pengelompokkan undang-undang sesuai jenisnya.
Tujuan umum dari kodifikasi agar adanya kepastian hukum dan kesatuan hukum seperti menurut Sutjipto Rahardjo dalam bukunya yaitu tujuan kodifikasi untuk membuat kumpulan perundang-undangan itu sederhana dan mudah dikuasai tersusun secara logis, serasi, dan pasti (Paton, 1971 : 221). Sumber lain mengatakan bahwa tujuan kodifikasi agar didapat suatu Rechtseenheid (kesatuan hukum) dan suatu Rechts-zakerheid (kepastian hukum). Ditambah lagi sebagai penyempurna adalah pendapat Kansil dari bukunya bahwa tujuan kodifikasi hukum adalah untuk memperoleh adanya kepastian hukum, penyederhanaan hukum, dan kesatuan hukum.
Contoh kodifikasi diIndonesia adalah:
1.      KUHP   : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
WvS : Wetboek van strafrecht
2.      KUHS   : Kitab Undang-Undang Hukum Sipil
BW   : Burgerlijk Wetboek
3.      KUHD   : Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
WvK : Wetboek van Koophandel.
          Setelah adanya kodifikasi hukum, masyarakat berpikir terselesainya semua masalah tentang undang-undang itu sendiri, tetapi kenyataannya tidak. Masih banyak masalah-masalah lain yang akan timbul dan akan terus timbul dalam undang-undang, karena dalam hakekatnya kehidupan manusia berkembang yang akan menimbulkan problem-problematika baru. Untuk itu yang seharusnya dijaga adalah undang-undang yang ada dan yang terkodifikasi tersebut untuk tetap dinamis sesuai perkembangan zaman. Karena sisi negatif kodifikasi hukum adalah sifat hukum menjadi statis.
2.2 Sebab terjadinya kodifikasi hukum
          Sebab utama terjadinya kodifikasi hukum adalah karena tidak adanya kepastian hukum dan kesatuan hukum wilayah (pada saat ini bisa disebut Negara). Sebelum adanya kodifikasi hukum tiap-tiap Negara masih menggunakan hukum adat yang berbeda-beda tiap suku dan masyarakatnya. Seperti contohnya ketika tidak adanya kepastian hukum dan kesatuan hukum di Negara Perancis, ketika Napoleon saat itu berkuasa dan menjadi kaisar, akhirnya memerintahkan Portalis agar menyusun undang-undang yang berlaku untuk seluruh Negara Perancis. Kemudian diberlakukan lah undang-undang hukum Code Civil, yang dibukukan dalam kitab Undang-Undang Hukum Code Civil dalam suatu kodifikasi.Di Indonesia, ketika belum adanya kodifikasi hukum masih menggunakan hukum adat. Dan seperti yang kita ketahui bahwa hukum adat yang ada dimasing-masing wilayah Indonesia sangat banyak dan beragam. Hukum adat dimasing-masing daerah tersebut menetapkan standar yang berbeda-beda antara satu suku dengan suku lain, tidak ada standarisasi yang pasti tentang hukum secara nasional, tidak ada kesatuan hukum yang digunakan untuk seluruh Indonesia. Ditambah dengan tidak adanya kepastian hukum yang jelas, karena yang kita ketahui hukum ada                                                                            yang ada merupakan hukum tidak tertulis, sehingga tidak ada hukum tertulis yang memberikan kepastian hukum.
Seperti contoh tentang warisan, ditiap-tiap daerah mempunyai hukum adat yang berbeda. Di Sumatera Barat yang menggunakan garis keturunan keibuan (matrilineal), maka pembagian warisan pun dibagikan lebih banyak keanak perempuan. Sedangkan di Sumatera Utara yang menggunakan garis keturunan kebapakan (patrilineal) sebaliknya, ketika pembagian warisan maka warisan pun lebih banyak dibagikan kepada anak laki-laki.
Maka demi untuk adanya kesatuan dan kepastian hukum Indonesia memerlukan hukum yang bersifat nasional, yang berlaku sama bagi seluruh warga negara Republik Indonesia.
2.3 Perkembangan Kodifikasi Hukum

Dengan adanya Code Civil atau Code Napoleon timbullah anggapan bahwa :
·         Seluruh permasalahan hukum sudah tertampung dalam undang-undang.
·         Diluar undang-undang tidak ada hukum
·         Hakim hanyamelaksanakanundang-undang yang berlaku di seluruh Negara
Anggapan tersebut merupakan aliran yang dinamakan aliran legisme. Pendukung aliran legisme ini adalah ahli pikir Montesquieu dan J.J.Rousseau. Montesquieu dengan Trias Politikanya memusatkan pemerintahan dalam 3 kekuasaan, yaitu :
1.         Kekuasaan membuat Undang-undang (badan legislative)
2.         Kekuasaan melaksanakan Undang-undang (badan eksekutif )
3.         KekuasaanmengadilipelanggarUndang-undang (badan yudikatif )
Dengan system tersebut diatas,  Montesquieu berpendapat bahwa diluar Undang-undang tidak ada hukum. Dengan tidak adanya hukum diluar Undang-undang satu-satunya sumber hukum adalah Undang-undang dan hakim hanya merupakan mulut  daripada Undang-undang.
Di samping Montesquieu masih ada ahli pikir lain yaitu Jean Jaques Rousseau. Ia sependapat dengan Montesquieu. Dalam mengembangkan pendapatnya ia memberikan beberapa ajaran, yaitu :
1.      Souvereiniteits-theori
2.      Contrac  Social
Dalam souvereiniteits-theori,  Jean Jaques Rousseau berpendapat bahwa didalam Negara modern rakyat lah yang memegang kekuasaan dan kedaulatan berada di tangan rakyat.
Code civil Perancis dianggap sebagai Undang-undang yang lengkap dan sempurna ternyata mempengaruhi perundang-undangan di Amerika dan Negara Eropa Barat. Negara tersebut meniru dan mengambil Undang-undang Perancis dengan asas resepsi dengan menyesuaikan keadaan nasional Negara tersebut.
Pada saat negeri Belanda dijajah oleh Perancis (1811-1812). Meskipun Perancis telah meninggalkan Belanda pada tahun 1812 tapi Belanda masih memberlakukan Code Civil sampai negeri itu mempunyai Undang-undang sendiri yaitu Burgerlijk Wetboek pada tahun 1835.
Baik kodifikasi hukum Perancis maupun kodifikasi hukum Belanda dimaksudkan agar dapat kepastian hukum.Dengan adanya kodifikasi diharapkan tidak ada lagi hukum diluar undang-undang.[1]

2.4 Perkembangan  Kodifikasi Hukum Di Indonesia
Burgerlijk Wetboek Negara Belanda dibawa ke Indonesia yang pada waktu itu dinamakan Hindia Belanda sebagai jajahan Belanda. Sejak tanggal 1 Mei 1948 diberlakukan Burgerlijk Wetboek voor Nederlandsch-Indie bagi penduduk Hindia Belanda golongan Eropa. Lalu pada tahun 1917 dinyatakan berlaku bagi penduduk golongan Timur Asing golongan Cina, pada tahun 1924 bagi golongan Timur Asing lainnya, dan pada tahun 1938 penduduk asli hindia belanda golongan Bumi Putera.
PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian yang berlaku mulai saat itu adalah Undang-undang Dasar 1945 dan tidak ada undang-undang lainnya, sehingga menyebabkan kekosongan hukum.
Selama masa kekosongan hukum diadakanlah hukum peralihan yang berwujud Pasal 2 Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi :
“Segala badan kenegaraan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru”.
Peraturan peralihan tersebut merupakan hukum transisi dari hukum Belanda yang akan tetap berlaku sampai ada penggantinya. Satu persatu hukum Belanda tersebut akan digantikan selama mengisi kemerdekaan. Sampai sekarang yang sudah ada penggantinya antara lain adalah :
1.         Undang-undang Pokok Agrarian ( UU No.5/1960)
2.         Undang-undang Merek (UU No.21/1967) diganti dengan UU No.19/1992
3.         Undang-undang Perkoperasian (UU No.12/1967) diganti dengan UU No.25/1992
4.         Dan sebagainya.

2.5 Perkembangan Kodifikasi Hukum Di Eropa Barat
Kodifikasi hukum pertama di Eropa Barat adalah negara Perancis. Sebelumnya negara Perancis memberlakukan unifikasi hukum yang dibuat oleh Napoleon Bonaparte yang intinya adalah hukum Germania disamping hukum Romawi. Code Civil yang disusun oleh Perancis, baru selesai tahun 1804 dan mulai diberlakukan pada tanggal 21 Maret 1804. Sejak tahun 1811-1838, Code Civil Perancis ini diberlakukan juga di negara Belanda, karena waktu itu negara Belanda berada dalam jajahan Perancis. Ketika Belanda lepas dari jajahan Perancis barulah Code Civil ditiru oleh pemerintah Belanda dalam pembuatan hukum perdata (BW). Code de Commerce Perancis pun dijadikan Kitab Hukum Dagang di Belanda dengan asas konkordansi. 
Di Negara Eropa Barat tersebutlah tercipatanya KUUH Perdata, KUUH Dagang, dan KUUH Pidana sebagai Undang-undang.
Pendukung pandangan tersebut antara lain :
·         Dr. Frederich dari Jerman yang mengatakan bahwa KUUH Jerman sudah sempurna, sehingga dapat memecahkan masalah hukum yang ada.
·         Dr. Van Swinderen dari Belanda yang mengatakan bahwa Undang-Undang Nasional Belanda sudah mencakup segala sesuatu tentang hukum dan isinya cukup jelas.

2.6  Aliran-Aliran Hukum yang Timbul Kemudian
Aliran Freie Rechtlehre
Aliran ini muncul pada tahun 1840, karena aliran legisme dianggap tidak memenuhi
kebutuhan masyarakat. Menurut paham Freie Rechts lehre berpendapat bahwa hukum terdapat
[1]didalam masyarakat berupa kebiasaan dalam kehidupan dan hukum alam. Aliran Freie Rechts lehre berkembang menjadi dua aliran, yaitu :
1.         Aliran hukum bebas sosiologis yang berpendapat bahwa hukum bebas itu kebiasaan dalam masyarakat yang berkembang secara sosiologis.
2.         Aliran hukum beba snatuurrechtlij yang berpendapat bahwa hukum bebas itu adalah hukum alam.

Aliran Rechtvinding
Aliran Rechtvinding adalah aliran diantara aliran legisme dan aliran freierechtslehre. Aliran rechtvinding berpendapat bahwa hukum terdapat dalam UU yang diselaraskan dengan hukum yang ada di dalam masyarakat.


KODIFIKASI HUKUM

Menurut bentuknya, hukum dapat dibedakan antara :
1. Hukum tertulis yakni hukum yang dicantumkan dalam pelbagai peraturan-peraturan .
2. Hukum tak tertulis yakni hukum yang masih hidup dalam keyakinan masayrakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti peraturan-peraturan (disebut juga hukum kebiasaan) .
Mengenai Hukum tertulis, ada yang dikodifasikan, dan yang belum dikodefasikan .

Kodifasi ialah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab-kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap .
Jelas bahwa unsure-unsur kodifasi ialah: a. jenis-jenis hukum tertentu (misalnya hukum perdata); b. sistematis ; c. lengkap .
Adapun tujuan kodifikasi daripada hukum tertulis ialah untuk memperoleh: a. kepastian hukum ; b. penyederhanaan hukum ; c. kesatuan hukum .

Contoh kodifikasi di EROPA ;
1. Corpus Iuruis Civilis
2. Code Civil
Contoh kodifikasi di INDONESIA ;
1. KITAB UU HUKUM SIPIL (I MEI 1948)
2. KITAB UU DAGANG (1 MEI 1948)
3.KITAB UU PIDANA (1 JANUARI 1918)
4.KITAB UU HUKUM ACARA PIDANA (KUHP0, 31 DESEMBER 1981 .


 
 Kodifikasi Hukum Kodifikasi Hukum adalah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap. Ditinjau dari segi bentuknya, hukum dapat dibedakan atas: a). Hukum Tertulis (statute law, written law), yaitu hukum yang dicantumkan dalam pelbagai peraturan-peraturan. b). Hukum Tak Tertulis (unstatutery law, unwritten law), yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan perundangan (hukum kebiasaan). * Unsur-unsur dari suatu kodifikasi: a. Jenis-jenis hukum tertentu b. Sistematis c. Lengkap * Tujuan Kodifikasi Hukum tertulis untuk memperoleh: a. Kepastian hukum b. Penyederhanaan hukum c. Kesatuan hukum *Contoh kodifikasi hukum: Di Eropa : a. Corpus Iuris Civilis, yang diusahakan oleh Kaisar Justinianus dari kerajaan Romawi Timur dalam tahun 527-565. b. Code Civil, yang diusahakan oleh Kaisar Napoleon di Prancis dalam tahun 1604. Di Indonesia : a. Kitab Undang-undang Hukum Sipil (1 Mei 1848) b. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (1 Mei 1848) c. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (1 Jan 1918) d. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (31 Des 1981) Aliran-aliran (praktek) hukum setelah adanya kodifikasi hukum 1. Aliran Legisme, yang berpendapat bahwa hukum adalah undang-undang dan diluar undang-undang tidak ada hukum. 2. Aliran Freie Rechslehre, yang berpenapat bahwa hukum terdapat di dalam masyarakat. 3. Aliran Rechsvinding adalah aliran diantara aliran Legisme dan aliran Freie Rechtslehre. Aliran Rechtsvinding berpendapat bahwa hukum terdapat dalam undang-undang yang diselaraskan dengan hukum yang ada di dalam masyarakat. Sumber : http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20081127183345AASsZ0S http://www.pendekarhukum.com/
…hukum/32
-kodifikasi-hukum.html 1. Pengertian Kodifikasi Dalam Bahasa Latin, code atau
codex berarti “a systematically
arranged and comprehensive collection of laws[12] yang berarti himpunan peraturan hukum secara lengkap yang disusun secara sistimatik. Maka kodifikasi (codification, codificatie,) berarti perbuatan atau pekerjaan mengkodifikasikan atau menghimpun hukum atau peraturan ke dalam suatu kitab hukum secara sistematik (to systematize and arrange (laws and regulations) into a code).[13] Fockema Andreas mengartikan
bahwa codificatie adalah: “Het
samensellen en invoeren van systimatisch ingerichte wetboeken (codices) voor rechtsgebieden van
enige omvang.[14]” (menyusun dan
membawa masuk secara teratur dan sistimatik ke dalam kitab undang-undang dalam bidang hukum dengan ruang lingkup yang luas). M.J. Koenen dan J.B. Drewes mengartikan codificatie sebagai vereniging van verschillende voorschriften tot een wet; het opstellen van een wetboek[15] (menyatukan berbagai peraturan ke dalam suatu undang-undang; menyusun kitab undang-undang). Henry Campbell Black mengartikan bahwa: - codification adalah the process of collecting aand arranging systematically, usually by subject, the laws of a state or country, or the rules and regulations covering a particular area or subject of law or practice.... The product may be called a code, revised code or revised statute.[16] (proses mengumpulkan dan menyusun secara sistematik hukum-hukum negara atau peraturan dan regulas
 
yang mencakup bidang tertentu atau subyek (isi) hukum atau praktik, yang biasanya menurut subyek (isi)nya. - code sebagai a systematic collection, compendium or revision of laws, rules, regulations. A private or official compilation of all permanent laws in force consolidated and classified according to subject matter[17] (himpunan, kompendium, atau reveisi hukum secara sistematik. Kompilasi swasta atau resmi dari semua hukum yang berlaku tetap yang dikonsolidasikan dan dikelompokkan menurut isinya. Maka code (antara lain) berarti kitab undang-undang (wetboek). Dari berbagai kutipan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kodifikasi adalah proses menghimpun dan menyusun secara sistimatik berbagai hukum, regulasi atau peraturan di bidang tertentu yang ditetapkan oleh negara. Produk dari kegiatan kodifikasi dapat berupa kitab undang-undang (wet, code). Bagaimana membedakan atara kodifikasi dengan kompilasi (compilation)? Secara teknis yuridis kedua istilah tersebut agak sulit dibedakan. Namun dengan memperhatikan definisi tentang compilation dapat diketahui kata terse
but berarti “a bringing
together of preexisting statutes in the form in which they appear in the books, with the removal of sections which have been repealed and the substitution of amendments in arrangement
designed to facilitate their use.”[18]
(membawa bersama-sama undang-undang yang ada sebelumnya dalam format yang muncul dalam buku, dengan menghapus bagian-bagian yang telah dicabut dan penggantian dari perubahan dengan susunan yang didesain untuk menfasilitasi pemakaiannya). Jadi kompilasi dilaksanakan terhadap berbagai aturan yang sudah ada sebelumnya (preexisting statutes) dengan menjelaskan bagian mana (pasal atau paragraf) yang sudah dicabut berikut substitusi (penggantian)nya. Apakah kodifikasi atau kompilasi membuat suatu undang-undang atau peraturan yang sama sekali baru? Dari berbagai definisi di atas terlihat bahwa kodifikasi pada dasarnya bukanlah membuat undang-undang atau peraturan yang baru melainkan mengumpulkan dan menyusun peraturan yang sudah ada di bidang tertentu secara sistimatik. Namun dalam perpestif sejarah, seperti akan diuraikan di bawah ini, terdapat kesan bahwa kodifikasi berarti membentuk suatu undang-undang atau peraturan. 1. Asal Usul Kodifikasi Mengkodifikasikan undang-undang merupakan salah satu kegiatan pembangunan hukum yang merujuk kepada produk hukum abad ke 18 dan 19, yang ditandai dengan lahirnya Kodifikasi Napoleon yang diikuti dengan berbagai kodifikasi di Jerman, Belanda, Italia, dan Indonesia. Namun, sebenarnya kegiatan para ilmuwan hukum di bidang kodifikasi telah ada sejak zaman Imperirum Romawi, jauh sebelum Masehi. Dalam filsafat hukum alam yang berlatar belakang Plato dan Aristoteles terdapat semacam teori bahwa kekuasaan yang dimiliki seorang raja berdasarkan pada perjanjian yang dibuat dengan rakyat, yang intinya rakyat bersedia menyerahkan hak-hak mereka pada raja, setelah mereka bersepakat terlebih dahulu (pactum subjectionis) . Sebelum perjanjian itu dibuat mereka sepakat lebih dahulu bahwa hak-hak mereka telah diserahkan kepada koltivitas (pactum unionis). Sebelum paham hukum alam itu dikembangkan oleh Hobbes, Locke dan Rousseau yang sering dihormati sebagai bapak verdragstheorie, hukum rumawi yang membentuk hukum dengan memperhtikan faktor-faktor atau kondisi moral, politik, dan sosiologi masyarakat. Hukum Rumawi yang religious dan agraris uyang dituangkan dalam normatif yuridis, dalam arti hukum dipandang sebagai norma. Sejak awal sampai akhir, perkembangan hukum Rumawi adalah bersandarkan kodifikaasi, yaitu yang dimulai dengan kodifikasi yang disebut twaalftafelen (meja atau batu hukum dua belas) dan diakhiri juga dengan kodifikasi yaitu yang disebut Corpus Iuris Civilis.[19] Menurut Djoklosoetono, kodifikasi terbesar sepanjang sejarah hukum yang tidak ada bandingannya sampai sekarang, terjadi akibat adanya dua lapisan rakyat (standen) yang disebut Res Mancipi dan Emancipatio, yang diwujudkan dengan kelompok (golongan) patriciers dana golongan plebeyers yang selalu terjadi konflik karena tidak ada persamaan hak. Golongan patriciers menguasai http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/umum/559-urgensi-kodifikasi-hukum-ekonomi-syariah.htm
 
 KODIFIKASI HUKUM DAN PERKEMBANGANNYA A. APAKAH KODIFIKASI ITU ? Kodifikasi hukum adalah pembukuan hukum dalm suatu himpunan Undang-Undang dalam materi yang sama. Tujuan daripada kodifikasi hukum adalah agar dapat suatu kesatuan hukum dan suatu kepastian hukum. Kodifikasi nasional yang pertama adalah Code Civil Perancis atau Code Napoleon. Pada awal abad ke 18, Napoleon memerintahkan dan mengundangkan Undang-Undang Perancis sebagai Undang-Undang Nasional. B. MENGAPA TUMBUH KODIFIKASI HUKUM ? Untuk mengatasi tidak adanya kepastian hukum dan kesatuan hukum di negara Perancis maka Napoleon memerintahkan kepada portalis untuk menyusun Rancangan Undang-Undang dengan mengambil hukum kebiasaan yang berlaku di Perancis. Setelah disetujui, Rancangan Undang-Undang tersebut yang terdiri dari 2000 pasal disahkan dan diundangkan sebagai Undang-Undang Nasional Perancis. Sebelum adanya kodifikasi atau hukum nasional yang berlaku adalah hukum adat. Menurut V.vVollenhoven, di Indonesia terdapat 19 macam masyarakat hukum adat, sehingga bagi keseluruhan wilayahnya tidak ada kesatuan dan kepastian hukum. Maka demi untuk adanya kesatuan dan kepastian hukum, Indonesia memerlukan hukum yang bersifat nasional, yang berlaku sama bagi seluruh warga Negara Republik Indonesia. C. PERKEMBANGAN KODIFIKASI HUKUM Dengan adanya Code Civil atau code Napoleon, timbullah anggapan bahwa : a. Seluruh permasalahan hukum sudah tertampung dalam suatu Undang-Undang Nasional. b. Di luar Undang-Undang tidak ada hukum. c. Hakim hanya melaksanakan Undang-Undang yang berlaku di seluruh negara. Anggapan tersebut merupakan aliran yang dinamakan aliran legisme/wettelijk positivisme atau positivisme perundang-undangan yang berpedoman di luar Undang-Undang tidak ada hukum. Ahli pikir Montesquieu dan J.J.Rousseau mendukung aliran legisme ini. Menurut Montesquieu, dengan Trias Politikanya memusatkan Pemerintahan dalam 3 kekuasaan. Dengan sistem separation of power (pemisahan kekuasaan) tersebut, ia berpendapat bahwa di luar Undang-Undang tidak ada hukum. Dengan tidak adanya hukum di luar Undang-Undang satu-satunya sumber hukum adalah Undang-Undang dan hakim hanya merupakan mulut dari pada Undang-Undang. Banyak negara yang mengambil ajaran tersebut secara penuh atau sebagian meskipun ada yang menolaknya. Menurut Jean Jaques Rousseau, dalam mengembangkan pendapatnya, ia memberikan beberapa ajaran : a. Contrac Social atau perjanjian masyarakat. Ia berpendapat bahwa negara itu terbentuk karena adanya perjanjian masyarakat. b. Souvereiniteits-theori ialah teori kedaulatan rakyat. Dalam negara modern rakyatlah yang memegang kedaulatan. Lebih lanjut Code Civil Perancis yang dianggap sebagai Undang-Undang yang lengkap dan sempurna ternyata mempengaruhi perundang-undangan di Amerika dan negara Eropa Barat seperti Belgia, Jerman, Italia. Salah satu negara yang menggunakan Code Civil atau asas koordinasi adalah negeri Belanda. Burgerlijk Wetboek negara Belanda dibawa ke Indonesia yang pada waktu itu dinamakan Hindia Belanda sebagai  jajahan Belanda. Pada waktu Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 maka Pantia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam sidangnya pada tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan berlakunya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak ada Undang-Undang lainnya sehingga menimbulkan kekosongan hukum atau rechtsvacuum. Untuk mengisi kekosongan hukum tersebut diadakan hukum peralihan atau transitoir recht yang berwujud pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi
“Segala badan kenegaraan dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan
yang baru”
 Dalam perkembangannya lebih lanjut Perancis juga membentuk Code du Commerce dan Code Penal. Para ahli sebelumnya mengatakan bahwa asas undang-undang hukum nasionalnya sudah lengkap, semua permasalahan hukum terjawab dalam Undang-Undang Nasionalnya dan hakim dalam memutuskan perkara cukup menetapkan keputusannya berdasarkan Undang-Undang yang ada atau hakim berfungsi sebagai subsumtieautomaat atau terompet belaka. Adapun pendukung pandapat tersebut antara lain : mengatakan bahwa KUUH Jerman sudah sedemikian sempurnanya, sehinga dapat memecahkan segala masalah hukum yang ada. nderen dari Belanda mengatakan bahwa Undang-Undang Nasional Belanda telah mencakup segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum dan isinya sudah cukup jelas dan lengkap. D. ALIRAN-ALIRAN HUKUM YANG TIMBUL KEMUDIAN 1. Ajaran Freie Rechtslehre Ajaran ini timbul pada tahun 1840 karena ajaran Legisme dianggap tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, masalah hukum yang baru timbul dan belum tertampung dalam Undang-Undang Nasional yang sudah ada. Reaksi pertama timbul dari Jerman Barat, ajaran ini tau yang disebut hukum bebas yang diajarkan dan dianut oleh : bukunya Der Kampf um die Rechtswissenschaft (Perjuangan untuk hukum). Freie Rechtsfindung und Freie Rechtswissenschaft. ukunya Gesetz und Richteramt. Menurut paham Freie Rechtslehre atau hukum bebas, hukum tumbuh di dalam masyarakat dan diciptakan oleh masyarakat berupa kebiasaan dalam kehidupan dan hukum alam yang sudah merupakan tradisi sejak dahulu, baik diajarkan oleh agama maupun merupakan adat istiadat. Selanjutnya paham ini berkembang menjadi 2 aliran yaitu : a. Aliran hukum bebas sosiologis yang berpendapat bahwa hukum bebas itu adalah kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat dan berkembang secara sosiologis. b. Aliran hukum bebas natuurrechtelijk yang berpendapat bahwa hukum bebas adalah hukum alam. 2. Aliaran Rechtsvinding Jika aliran bebas bertolak pada hukum di luar Undang-Undang, maka aliran ini, atau yang disebut aliran Penemuan Hukum mempergunakan Undang-Undang dan hukum di luar Undang-Undang. Dalam pemutusan perkara mula-mula hakim berpegang pada Undang-Undang dan apabila ia tidak dapat menemukan hukumnya, maka ia harus menciptakan hukum sendiri dengan berbagai cara seperti mengadakan interprestasi (penafsiran terhadap Undang-Undang) dan melakukan konstruksi hukum apabila ada kekosongan hukum. Aliran ini yang sekarang digunakan di berbagai negara termasuk Indonesia. ALIRAN-ALIRAN (PRAKTIK) HUKUM A. ALIRAN LEGISME Setelah adanya kodifikasi di negara Perancis, maka timbullah aliran legisme (wettelyk positivism). Aliran ini berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang dan di luar undang-undang tidak ada hukum. Karena aliran tersebut dianggap suatu usaha yang baik sekali dengan menghasilkan kesatuan dan kepastian hukum, maka banyak negeri yang mengikuti jejak Perancis antara lain negeri Belanda, Belgia, Jerman, Swiss. Setelah berjalan lebih kurang 40-50 tahun aliran Legisme menunjukan kekurangannya, yaitu bahwa permasalahan hukum yang timbul kemudian tidak dapat dipecahkan oleh undang-undang yang telah dibentuk. B. ALIRAN FREIE RECHTSLEHRE, FREIE RECHTSBEWEGUNG, DAN FREIE RECHTSCHULE (HUKUM BEBAS) Aliran Freie Rechtslehre merupakan aliran bebas yang hukumnya tidak dibuat oleh badan Legislatif dan menyatakan bahwa hukum terdapat di luar Undang-Undang. Berbeda dengan aliran legisme di mana hukum terikat sekali pada Undang-Undang, maka hakim
 
bahwa hukum itu terbentuk dari kebiasaan, perundang-undangan dan proses peradilan. http://descaparidana.blogspot.com/2012/11/kodifikasi-aliran-aliran-dan.html R. Soeroso, SH. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika. 200 KODIFIKASI Menurut teori ada 2 macam kodifikasi hukum, yaitu ; 1. Kodifikasi terbuka Kodifikasi terbuka adalah kodifikasi yang membuka diri terhadap terdapatnya tambahan
 –
 tambahan diluar induk kondifikasi. Pertama atau semula maksudnya induk permasalahannya sejauh yang dapat dimasukkan ke dalam suatu buku kumpulan peraturan yang sistematis,tetapi diluar kumpulan peraturan itu isinya menyangkut permasalahan di luar kumpulan peraturan itu isinya menyangkut permasalahan
 –
 permasalahan dalam kumpulan peraturan pertama tersebut. Hal ini dilakukan berdasarkan atas kehendak perkembangan hukum itu sendiri sistem ini mempunyai kebaikan ialah;
“ Hukum dibiarkan berkembang
menurut kebutuhan masyarakat dan hukum tidak lagi disebut sebagai penghambat kemajuan masyarakat hukum disini diartikan
sebagai peraturan “.
 2. Kodifikasi tertutup Adalah semua hal yang menyangkut permasalahannya dimasukan ke dalam kodifikasi atau buku kumpulan peraturan. Cacatan; Dulu kodifikasi tertutup masih bisa dilaksanakan bahkan tentang bidang suatu hukum lengkap dan perkasanya perubahan kehendak masyarakat mengenai suatu bidang hukum agak lambat. Sekarang nyatanya kepeningan hukum mendesak agar dimana-mana yang dilakukan adalah Kodifikasi Terbuka. Isinya; 1. Politik hukum lama 2. Unifikasi di zaman Hindia Belanda (Indonesia) gagal 3. Penduduk terpecah menjadi; a. penduduk bangsa Eropa b. Penduduk bangsa Timur Asing c. Pendudk bangsa pribadi (Indonesia) 4. pemikiran bangsa Indonesia terpecah-pecah pula. 5. Pendidikan bangsa indonesia: a. Hasil Pendidikan Barat. b. Hasil Pendidikan Timur "Hukum tidak bisa efektif kalau tidak dikodifikasi," kata Amin Suma. "Pendekatan kultural saja tidak cukup," ia menambahkan. Ada elemen tertentu pada syariat Islam yang bisa dan kadang memang harus diundangkan karena ada kebutuhan regulasi. Dan elemen hukum Islam yang diundangkan tidak selalu diskriminatif. Misalnya, seiring dengan pesatnya industri keuangan syariah, kini diperlukan banyak perangkat regulasi yang memayunginya. Fatwa-fatwa tentang transaksi bisnis berbabis syariah banyak diminta. Lalu sejumlah lembaga regulator, seperti Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, serta Departemen Keuangan, mengadopsi rangkaian fatwa yang informal itu menjadi peraturan formal. kodifikasi hukum Kodifikasi Hukum di Indonesia A. Kodifikasi Hukum Kodifikasi adalah pembukuan jenis- jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap. Menurut bentuknya, hukum itu dapat dibedakan antara : 1. Hukum tertulis (Statute Law = Written Law) yakni hukum yang dicantumkan dalam pelbagai peraturan-perundangan.
 
2. Hukum Tidak Tertulis (unstatutery Law = Unwritten Law ) yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti suatu perundang-undangan (disebut juga hukum kebiasaan). Mengenai hukum tertulis, ada yang telah dikodifikasikan, dan yang belum dikodifikasikan. Jelas bahwa unsur-unsur kodifikasi ialah a) Jenis-jenis hukum tertentu (misalnya hukum perdata) b) Sistematis c) Lengkap Adapun tujuan kodifikasi daripada hukum tertulis adalah untuk memperoleh 1. Kepastian hukum 2. Penyerdehanaan hukum 3. Kesatuan hukum Contoh kodifikasi Hukum : a. Di Eropa : 1. Corpus Iuris Civilis (mengenai Hukum Perdata) yang diusahakan oleh kaisar Justianus dari kerajaan Romawi Timur dalam tahun 527
 –
 565. 2. Code Civil (mengenai Hukum Perdata) yang diusahakan oleh Kaisar Napoleon di Perancis dalam tahun 1604. b. Di Indonesia 1. Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (01 Mei 1848) 2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (01 Mei 1848) 3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (01 Januari 1918) 4. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP), 31 Desember 1981. B. Macam
 –
 Macam Pembagian Hukum 1. Pembagian Hukum Menurut Asas Pembagiannya Walaupun hukum itu terlalu luas sekali sehingga orang tak dapat membuat definisi singkat yang meliputi segala-galanya, namun dapat juga hukum itu dibagi dalam beberapa golongan hukum menurut beberapa asas pembagian sebagai berikut : 1). Menurut Sumbernya, hukum dapat dibagi dalam : a) Hukum Undang-Undang yaitu hukum yang tercantum dalam peraturan perundangan. b) Hukum Kebiasaan (adat) yaitu hukum yang terletak di dalam peraturan-peraturan kebiasaan (adat). c) Hukum Traktat yaitu hukum yang ditetapkan oleh negara-negara di dalam suatu perjanjian antara neagara (traktat). d) Hukum Jurisprudensi yaitu hukum yang terbentuk karena keputusan hakim. 2). Menurut bentuknya, hukum dapat dibagi dalam : a) Hukum Tertulis. Hukum ini dapat pula merupakan ; 1. Hukum Tertulis yang dikodifiksikan 2. Hukum Tertulis tidak dikodifikasikan b) Hukum Tidak Tertulis (Hukum Kebiasaan) (keterangan mengenai kedua macam hukum ini telah diberikan dalam penjelasan tentnag kodifikasi) 3). Menurut Tempat berlakunya hukum dapat dibagi dalam : a) Hukum Nasional yaitu hukum yang berlaku dalam suatu negara. b) Hukum Internasional yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum dalam dunia internasional. c) Hukum Asing yaitu huku yang berlaku dalam negara lain. d) Hukum Gereja yaitu kumpulan norma-norma yang ditetapkan oleh gereja untuk para anggotanya. 4). Menurut waktu berlakunya, hukum dapat dibagi dalam : a) Ius Constitutum (Hukum Positif yaitu hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu.) Singkatnya : hukum yang berlaku bagi suatu masyarakat pada suatu waktu, dalam suatu tempat tertentu. Ada sarjana yang
menamakan hukum positif itu ” Tata Hukum ”.
 b) Ius Constituendum yaitu hukum yang diharapkan berlaku pada waktu yang akan datang. c) Hukum Asasi yaitu hukum yang berlaku dimana-mana dalam segala waktu dan untuk segala


Sebagaimana halnya dengan kodifikasi yang istilahnya diambil dari perkataan bahasa Latin, maka istilah Kompilasipun diambil dari bahasa yang sama. Istilah Kompilasi diambil dari kata “Compilare” yang mempunyai arti mengumpulkan bersama-sama, seperti misalnya : mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar berserakan diman-mana, istilah ini dikembangkang menjadi “Compilation” dalam bahasa Inggrisnya dan “Compilatie” dalam bahasa Belanda. Kemudian dipergunakan kedalam bahasa Indonesia menjadi “Kompilasi” yang berarti mengupulkan secara bersama-sama peraturan-peraturan yang berserakan untuk dijadikan satu kumpulan hukum.
Berdasarkan keterangan tersebut diatas dapatlah diketahui bahwa ditinjau dari sudut bahasa “Kompilasi” itu adalah kegiatan pengumpulan dari berbagai bahan tertulis yang di ambil dari berbagai penulis yang berbeda untuk ditulis dalam suatu buku tertentu.





Share:

0 comments:

Post a Comment

BTemplates.com

akhyar. Powered by Blogger.

Total Pageviews

Translate

BTemplates.com

Pages - Menu

Pages - Menu