2.1 Pengertian Kodifikasi
Kodifikasi secara etimologi berasal
dari kata codex yang berarti
undang-undang. Jadi secara terminologi pengkodifikasian hukum artinya
penyusunan peraturan-peraturan hukum secara sistematis, bulat, dan lengkap
dalam suatu kitab undang-undang oleh badan pemerintah yang berwenang. Menurut
Kansil didalam bukunya dijelaskan pengertian bahwa kodifikasi adalah pembukuan
jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan
lengkap. Sumber lain mengatakan bahwa kodifikasi hukum adalah
pembukuan hukum suatu himpunan Undang-Undang dalam materi yang sama. Menurut
Salmon (Fitzgerland, 1966 : 130) yang dikutip Satjipto Rahardjo dalam bukunya
tentang kodifikasi:
http://ngeklik.com/?id=akhyar25
http://ngeklik.com/?id=akhyar25
“Keseluruhan kecendrungan zaman modern
sekarang adalah kearah proses yang sejak zaman bentham, dikenal sebagai
kodifikasi, yaitu reduksi terhadap seluruh corpus
jurus, sejauh menjadi praktis, dalam bentuk hukum perundang-undangan. Dalam
hal ini Inggris sangat ketinggalan disbanding dengan Eropa Daratan. Sejak pertengahan
abad kedelapanbelas prose situ telah
berlangsung di Negara-negara Eropa, dan sekarang ini telah selesai sama sekali.
Hampir dimana-mana, kumpulan kuna yang terdiri dari hukum-hukum sipil, gereja,
kebiasaan, dan perundang-undangan yang disusun dengan sedikit banyak
keterampilan dan sukses ...”
Gambaran diatas menunjukkan bagaimana
kodifikasi dimulai dari permulaan sekali, yaitu pada waktu eropa masih terdapat
bermacam-macam jenis hukum, yang disebut oleh Salmon disebut sebagai “Medley”.
Dari sumber-sumber diatas kita dapat mengambil kesimpulan
bahwa kodifikasi adalah pembukuan undang-undang menurut jenis-jenisnya dengan
unsur komponennya secara sistematis dan lengkap. Dengan pembagian jenis-jenis
seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum sipil, hukum gereja, dan lain
sebagainya
Kebutuhan pengkodifikasian sendiri didasarkan karena begitu
banyaknya undang-undang dan begitu sulitnya orang-orang untuk mencarinya.
Pengkodifikasian sendiri telah dimulai sejak zaman Romawi yaitu pada masa
Kaisar Justianus dari Roma (527-565), kodifikasi terbesar telah dilaksanakan
dan hasil pekerjaan itu berupa undang-undang Corpus Juris Justianus,
yang terdiri atas tiga bagian, yaitu: Institutione,
Digesten atau Pendekten, dan Codex. Nilai Kodifikasi ini begitu
tinggi, sehingga menjadi pokok pangkal pertumbuhan hukum di benua Eropa sampai
sekarang ini. Dan titik pangkal pengkodifikasian setelah zaman Romawi adalah
ketika zamannya Napoleon Bonaparte diPerancis dengan disusunnya Code Civil Napoleon. Sejarah kodifikasi
nasional dimulai dari Code Civil Napoleon,
karena sebelum ada kodifikasi undang-undang tersebut di Perancis belum adanya
kesatuan dan kepastian hukum. Sejarah dari Romawi dan Perancis inilah akhirnya
melahirkan kodifikasi yang digunakan hingga saat ini untuk memudahkan
pengelompokkan undang-undang sesuai jenisnya.
Tujuan umum dari kodifikasi agar adanya kepastian hukum dan
kesatuan hukum seperti menurut Sutjipto Rahardjo dalam bukunya yaitu tujuan
kodifikasi untuk membuat kumpulan perundang-undangan itu sederhana dan mudah
dikuasai tersusun secara logis, serasi, dan pasti (Paton, 1971 : 221). Sumber
lain mengatakan bahwa tujuan kodifikasi agar didapat suatu Rechtseenheid
(kesatuan hukum) dan suatu Rechts-zakerheid (kepastian hukum). Ditambah
lagi sebagai penyempurna adalah pendapat Kansil dari bukunya bahwa tujuan
kodifikasi hukum adalah untuk memperoleh adanya kepastian hukum, penyederhanaan
hukum, dan kesatuan hukum.
Contoh kodifikasi diIndonesia adalah:
1.
KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
WvS : Wetboek van strafrecht
2. KUHS : Kitab Undang-Undang Hukum
Sipil
BW : Burgerlijk
Wetboek
3.
KUHD :
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
WvK : Wetboek
van Koophandel.
Setelah adanya kodifikasi hukum,
masyarakat berpikir terselesainya semua masalah tentang undang-undang itu
sendiri, tetapi kenyataannya tidak. Masih banyak masalah-masalah lain yang akan
timbul dan akan terus timbul dalam undang-undang, karena dalam hakekatnya
kehidupan manusia berkembang yang akan menimbulkan problem-problematika baru.
Untuk itu yang seharusnya dijaga adalah undang-undang yang ada dan yang
terkodifikasi tersebut untuk tetap dinamis sesuai perkembangan zaman. Karena
sisi negatif kodifikasi hukum adalah sifat hukum menjadi statis.
2.2 Sebab terjadinya kodifikasi
hukum
Sebab utama
terjadinya kodifikasi hukum adalah karena tidak adanya kepastian hukum dan
kesatuan hukum wilayah (pada saat ini bisa disebut Negara). Sebelum adanya
kodifikasi hukum tiap-tiap Negara masih menggunakan hukum adat yang
berbeda-beda tiap suku dan masyarakatnya. Seperti contohnya ketika tidak adanya
kepastian hukum dan kesatuan hukum di Negara Perancis, ketika Napoleon saat itu
berkuasa dan menjadi kaisar, akhirnya memerintahkan Portalis agar menyusun
undang-undang yang berlaku untuk seluruh Negara Perancis. Kemudian diberlakukan
lah undang-undang hukum Code Civil, yang dibukukan dalam kitab Undang-Undang
Hukum Code Civil dalam suatu kodifikasi.Di Indonesia, ketika belum adanya
kodifikasi hukum masih menggunakan hukum adat. Dan seperti yang kita ketahui bahwa
hukum adat yang ada dimasing-masing wilayah Indonesia sangat banyak dan
beragam. Hukum adat dimasing-masing daerah tersebut menetapkan standar yang
berbeda-beda antara satu suku dengan suku lain, tidak ada standarisasi yang
pasti tentang hukum secara nasional, tidak ada kesatuan hukum yang digunakan
untuk seluruh Indonesia. Ditambah dengan tidak adanya kepastian hukum yang
jelas, karena yang kita ketahui hukum ada
yang ada merupakan hukum tidak tertulis, sehingga tidak ada hukum tertulis yang
memberikan kepastian hukum.
Seperti contoh tentang warisan, ditiap-tiap daerah mempunyai
hukum adat yang berbeda. Di Sumatera Barat yang menggunakan garis keturunan
keibuan (matrilineal), maka pembagian
warisan pun dibagikan lebih banyak keanak perempuan. Sedangkan di Sumatera
Utara yang menggunakan garis keturunan kebapakan (patrilineal) sebaliknya, ketika pembagian warisan maka warisan pun
lebih banyak dibagikan kepada anak laki-laki.
Maka demi untuk adanya kesatuan dan kepastian hukum
Indonesia memerlukan hukum yang bersifat nasional, yang berlaku sama bagi
seluruh warga negara Republik Indonesia.
2.3 Perkembangan Kodifikasi Hukum
Dengan adanya Code
Civil atau Code Napoleon
timbullah anggapan bahwa :
·
Seluruh permasalahan hukum sudah
tertampung dalam undang-undang.
·
Diluar undang-undang tidak ada hukum
·
Hakim hanyamelaksanakanundang-undang
yang berlaku di seluruh Negara
Anggapan tersebut merupakan aliran yang dinamakan aliran legisme. Pendukung aliran legisme ini adalah ahli pikir
Montesquieu dan J.J.Rousseau. Montesquieu dengan Trias Politikanya memusatkan pemerintahan dalam 3 kekuasaan, yaitu
:
1.
Kekuasaan membuat Undang-undang (badan legislative)
2.
Kekuasaan melaksanakan Undang-undang (badan eksekutif )
3.
KekuasaanmengadilipelanggarUndang-undang (badan yudikatif )
Dengan system tersebut diatas, Montesquieu berpendapat bahwa diluar
Undang-undang tidak ada hukum. Dengan tidak adanya hukum diluar Undang-undang
satu-satunya sumber hukum adalah Undang-undang dan hakim hanya merupakan
mulut daripada Undang-undang.
Di
samping Montesquieu masih ada ahli pikir lain yaitu Jean Jaques Rousseau. Ia
sependapat dengan Montesquieu. Dalam mengembangkan pendapatnya ia memberikan
beberapa ajaran, yaitu :
1.
Souvereiniteits-theori
2.
Contrac Social
Dalam souvereiniteits-theori, Jean Jaques Rousseau berpendapat bahwa
didalam Negara modern rakyat lah yang memegang kekuasaan dan kedaulatan berada
di tangan rakyat.
Code civil Perancis dianggap sebagai
Undang-undang yang lengkap dan sempurna ternyata mempengaruhi
perundang-undangan di Amerika dan Negara Eropa Barat. Negara tersebut meniru
dan mengambil Undang-undang Perancis dengan asas resepsi dengan menyesuaikan
keadaan nasional Negara tersebut.
Pada saat negeri Belanda dijajah oleh Perancis (1811-1812).
Meskipun Perancis telah meninggalkan Belanda pada tahun 1812 tapi Belanda masih
memberlakukan Code Civil sampai negeri itu mempunyai Undang-undang sendiri
yaitu Burgerlijk Wetboek pada tahun
1835.
Baik kodifikasi hukum Perancis maupun kodifikasi hukum
Belanda dimaksudkan agar dapat kepastian hukum.Dengan adanya kodifikasi
diharapkan tidak ada lagi hukum diluar undang-undang.[1]
2.4 Perkembangan Kodifikasi Hukum Di Indonesia
Burgerlijk Wetboek Negara Belanda dibawa ke Indonesia
yang pada waktu itu dinamakan Hindia Belanda sebagai jajahan Belanda. Sejak
tanggal 1 Mei 1948 diberlakukan Burgerlijk
Wetboek voor Nederlandsch-Indie bagi penduduk Hindia Belanda golongan
Eropa. Lalu pada tahun 1917 dinyatakan berlaku bagi penduduk golongan Timur
Asing golongan Cina, pada tahun 1924 bagi golongan Timur Asing lainnya, dan
pada tahun 1938 penduduk asli hindia belanda golongan Bumi Putera.
PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dalam sidangnya
tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945. Dengan
demikian yang berlaku mulai saat itu adalah Undang-undang Dasar 1945 dan tidak
ada undang-undang lainnya, sehingga menyebabkan kekosongan hukum.
Selama masa kekosongan hukum diadakanlah hukum peralihan
yang berwujud Pasal 2 Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi :
“Segala
badan kenegaraan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum
diadakan yang baru”.
Peraturan
peralihan tersebut merupakan hukum transisi dari hukum Belanda yang akan tetap
berlaku sampai ada penggantinya. Satu persatu hukum Belanda tersebut akan
digantikan selama mengisi kemerdekaan. Sampai sekarang yang sudah ada
penggantinya antara lain adalah :
1.
Undang-undang Pokok Agrarian ( UU No.5/1960)
2.
Undang-undang Merek (UU No.21/1967) diganti dengan UU No.19/1992
3.
Undang-undang Perkoperasian (UU No.12/1967) diganti dengan UU No.25/1992
4.
Dan sebagainya.
2.5 Perkembangan Kodifikasi Hukum Di
Eropa Barat
Kodifikasi hukum pertama di Eropa Barat adalah negara
Perancis. Sebelumnya negara Perancis memberlakukan unifikasi hukum yang dibuat
oleh Napoleon Bonaparte yang intinya adalah hukum Germania disamping hukum
Romawi. Code Civil yang disusun oleh
Perancis, baru selesai tahun 1804 dan mulai diberlakukan pada tanggal 21 Maret
1804. Sejak tahun 1811-1838, Code Civil
Perancis ini diberlakukan juga di negara Belanda, karena waktu itu negara
Belanda berada dalam jajahan Perancis. Ketika Belanda lepas dari jajahan
Perancis barulah Code Civil ditiru
oleh pemerintah Belanda dalam pembuatan hukum perdata (BW). Code de Commerce Perancis pun dijadikan
Kitab Hukum Dagang di Belanda dengan asas konkordansi.
Di Negara Eropa Barat tersebutlah tercipatanya KUUH Perdata,
KUUH Dagang, dan KUUH Pidana sebagai Undang-undang.
Pendukung
pandangan tersebut antara lain :
·
Dr. Frederich dari Jerman yang
mengatakan bahwa KUUH Jerman sudah sempurna, sehingga dapat memecahkan masalah
hukum yang ada.
·
Dr. Van Swinderen dari Belanda yang
mengatakan bahwa Undang-Undang Nasional Belanda sudah mencakup segala sesuatu
tentang hukum dan isinya cukup jelas.
2.6 Aliran-Aliran Hukum yang
Timbul Kemudian
Aliran Freie Rechtlehre
Aliran ini muncul pada tahun 1840, karena aliran legisme
dianggap tidak memenuhi
kebutuhan
masyarakat. Menurut paham Freie Rechts
lehre berpendapat bahwa hukum
terdapat
[1]didalam masyarakat
berupa kebiasaan dalam kehidupan dan hukum alam. Aliran Freie Rechts lehre
berkembang menjadi dua aliran, yaitu :
1.
Aliran hukum bebas sosiologis yang berpendapat bahwa hukum bebas itu kebiasaan
dalam masyarakat yang berkembang secara sosiologis.
2.
Aliran hukum beba snatuurrechtlij yang berpendapat bahwa hukum bebas itu adalah
hukum alam.
Aliran Rechtvinding
Aliran Rechtvinding adalah
aliran diantara aliran legisme dan
aliran freierechtslehre. Aliran rechtvinding berpendapat bahwa hukum
terdapat dalam UU yang diselaraskan dengan hukum yang ada di dalam masyarakat.
KODIFIKASI
HUKUM
Menurut bentuknya, hukum dapat
dibedakan antara :
1. Hukum tertulis yakni hukum yang
dicantumkan dalam pelbagai peraturan-peraturan .
2. Hukum tak tertulis yakni hukum
yang masih hidup dalam keyakinan masayrakat, tetapi tidak tertulis namun
berlakunya ditaati seperti peraturan-peraturan (disebut juga hukum kebiasaan) .
Mengenai Hukum tertulis, ada yang
dikodifasikan, dan yang belum dikodefasikan .
Kodifasi ialah pembukuan jenis-jenis
hukum tertentu dalam kitab-kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap .
Jelas bahwa unsure-unsur kodifasi
ialah: a. jenis-jenis hukum tertentu (misalnya hukum perdata); b. sistematis ;
c. lengkap .
Adapun tujuan kodifikasi daripada
hukum tertulis ialah untuk memperoleh: a. kepastian hukum ; b. penyederhanaan
hukum ; c. kesatuan hukum .
Contoh kodifikasi di EROPA ;
1.
Corpus Iuruis Civilis
2.
Code Civil
Contoh kodifikasi di INDONESIA ;
1.
KITAB UU HUKUM SIPIL (I MEI 1948)
2.
KITAB UU DAGANG (1 MEI 1948)
3.KITAB
UU PIDANA (1 JANUARI 1918)
4.KITAB
UU HUKUM ACARA PIDANA (KUHP0, 31 DESEMBER 1981 .
Kodifikasi Hukum Kodifikasi
Hukum adalah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang
secara sistematis dan lengkap. Ditinjau dari segi bentuknya, hukum dapat
dibedakan atas: a). Hukum Tertulis (statute law, written law), yaitu hukum yang
dicantumkan dalam pelbagai peraturan-peraturan. b). Hukum Tak Tertulis
(unstatutery law, unwritten law), yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan
masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti suatu
peraturan perundangan (hukum kebiasaan). * Unsur-unsur dari suatu kodifikasi:
a. Jenis-jenis hukum tertentu b. Sistematis c. Lengkap * Tujuan Kodifikasi
Hukum tertulis untuk memperoleh: a. Kepastian hukum b. Penyederhanaan hukum c.
Kesatuan hukum *Contoh kodifikasi hukum: Di Eropa : a. Corpus Iuris Civilis,
yang diusahakan oleh Kaisar Justinianus dari kerajaan Romawi Timur dalam
tahun 527-565. b. Code Civil, yang diusahakan oleh Kaisar Napoleon di PrancisÂ
dalam tahun 1604. Di Indonesia : a. Kitab Undang-undang Hukum Sipil (1 Mei
1848) b. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (1 Mei 1848) c. Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (1 Jan 1918) d. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (31 Des
1981) Aliran-aliran (praktek) hukum setelah adanya kodifikasi hukum 1. Aliran
Legisme, yang berpendapat bahwa hukum adalah undang-undang dan diluar
undang-undang tidak ada hukum. 2. Aliran Freie Rechslehre, yang berpenapat
bahwa hukum terdapat di dalam masyarakat. 3. Aliran Rechsvinding adalah aliran
diantara aliran Legisme dan aliran Freie Rechtslehre. Aliran Rechtsvinding
berpendapat bahwa hukum terdapat dalam undang-undang yang diselaraskan dengan
hukum yang ada di dalam masyarakat. Sumber :
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20081127183345AASsZ0S
http://www.pendekarhukum.com/
…hukum/32
-kodifikasi-hukum.html 1. Pengertian
Kodifikasi Dalam Bahasa Latin, code atau
codex berarti “a systematically
arranged and comprehensive
collection of laws[12] yang berarti himpunan peraturan hukum secara lengkap
yang disusun secara sistimatik. Maka kodifikasi (codification, codificatie,)
berarti perbuatan atau pekerjaan mengkodifikasikan atau menghimpun hukum atau
peraturan ke dalam suatu kitab hukum secara sistematik (to systematize and
arrange (laws and regulations) into a code).[13] Fockema Andreas mengartikan
bahwa codificatie adalah: “Het
samensellen en invoeren van
systimatisch ingerichte wetboeken (codices) voor rechtsgebieden van
enige omvang.[14]” (menyusun dan
membawa masuk secara teratur dan
sistimatik ke dalam kitab undang-undang dalam bidang hukum dengan ruang lingkup
yang luas). M.J. Koenen dan J.B. Drewes mengartikan codificatie sebagai
vereniging van verschillende voorschriften tot een wet; het opstellen van een
wetboek[15] (menyatukan berbagai peraturan ke dalam suatu undang-undang;
menyusun kitab undang-undang). Henry Campbell Black mengartikan bahwa: -
codification adalah the process of collecting aand arranging systematically,
usually by subject, the laws of a state or country, or the rules and
regulations covering a particular area or subject of law or practice.... The
product may be called a code, revised code or revised statute.[16] (proses
mengumpulkan dan menyusun secara sistematik hukum-hukum negara atau peraturan
dan regulas
yang mencakup bidang tertentu atau
subyek (isi) hukum atau praktik, yang biasanya menurut subyek (isi)nya. - code
sebagai a systematic collection, compendium or revision of laws, rules,
regulations. A private or official compilation of all permanent laws in force
consolidated and classified according to subject matter[17] (himpunan,
kompendium, atau reveisi hukum secara sistematik. Kompilasi swasta atau resmi
dari semua hukum yang berlaku tetap yang dikonsolidasikan dan dikelompokkan
menurut isinya. Maka code (antara lain) berarti kitab undang-undang (wetboek).
Dari berbagai kutipan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kodifikasi
adalah proses menghimpun dan menyusun secara sistimatik berbagai hukum,
regulasi atau peraturan di bidang tertentu yang ditetapkan oleh negara. Produk
dari kegiatan kodifikasi dapat berupa kitab undang-undang (wet, code).
Bagaimana membedakan atara kodifikasi dengan kompilasi (compilation)? Secara
teknis yuridis kedua istilah tersebut agak sulit dibedakan. Namun dengan
memperhatikan definisi tentang compilation dapat diketahui kata terse
but berarti “a bringing
together of preexisting statutes in
the form in which they appear in the books, with the removal of sections which
have been repealed and the substitution of amendments in arrangement
designed to facilitate their
use.”[18]
(membawa bersama-sama undang-undang
yang ada sebelumnya dalam format yang muncul dalam buku, dengan menghapus
bagian-bagian yang telah dicabut dan penggantian dari perubahan dengan susunan
yang didesain untuk menfasilitasi pemakaiannya). Jadi kompilasi dilaksanakan
terhadap berbagai aturan yang sudah ada sebelumnya (preexisting statutes)
dengan menjelaskan bagian mana (pasal atau paragraf) yang sudah dicabut berikut
substitusi (penggantian)nya. Apakah kodifikasi atau kompilasi membuat suatu
undang-undang atau peraturan yang sama sekali baru? Dari berbagai definisi di
atas terlihat bahwa kodifikasi pada dasarnya bukanlah membuat undang-undang
atau peraturan yang baru melainkan mengumpulkan dan menyusun peraturan yang
sudah ada di bidang tertentu secara sistimatik. Namun dalam perpestif sejarah,
seperti akan diuraikan di bawah ini, terdapat kesan bahwa kodifikasi berarti
membentuk suatu undang-undang atau peraturan. 1. Asal Usul Kodifikasi
Mengkodifikasikan undang-undang merupakan salah satu kegiatan pembangunan hukum
yang merujuk kepada produk hukum abad ke 18 dan 19, yang ditandai dengan
lahirnya Kodifikasi Napoleon yang diikuti dengan berbagai kodifikasi di Jerman,
Belanda, Italia, dan Indonesia. Namun, sebenarnya kegiatan para ilmuwan hukum
di bidang kodifikasi telah ada sejak zaman Imperirum Romawi, jauh sebelum
Masehi. Dalam filsafat hukum alam yang berlatar belakang Plato dan Aristoteles
terdapat semacam teori bahwa kekuasaan yang dimiliki seorang raja berdasarkan
pada perjanjian yang dibuat dengan rakyat, yang intinya rakyat bersedia
menyerahkan hak-hak mereka pada raja, setelah mereka bersepakat terlebih dahulu
(pactum subjectionis) . Sebelum perjanjian itu dibuat mereka sepakat lebih
dahulu bahwa hak-hak mereka telah diserahkan kepada koltivitas (pactum
unionis). Sebelum paham hukum alam itu dikembangkan oleh Hobbes, Locke dan
Rousseau yang sering dihormati sebagai bapak verdragstheorie, hukum rumawi yang
membentuk hukum dengan memperhtikan faktor-faktor atau kondisi moral, politik,
dan sosiologi masyarakat. Hukum Rumawi yang religious dan agraris uyang
dituangkan dalam normatif yuridis, dalam arti hukum dipandang sebagai norma.
Sejak awal sampai akhir, perkembangan hukum Rumawi adalah bersandarkan
kodifikaasi, yaitu yang dimulai dengan kodifikasi yang disebut twaalftafelen
(meja atau batu hukum dua belas) dan diakhiri juga dengan kodifikasi yaitu yang
disebut Corpus Iuris Civilis.[19] Menurut Djoklosoetono, kodifikasi terbesar
sepanjang sejarah hukum yang tidak ada bandingannya sampai sekarang, terjadi
akibat adanya dua lapisan rakyat (standen) yang disebut Res Mancipi dan
Emancipatio, yang diwujudkan dengan kelompok (golongan) patriciers dana
golongan plebeyers yang selalu terjadi konflik karena tidak ada persamaan hak.
Golongan patriciers menguasai
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/umum/559-urgensi-kodifikasi-hukum-ekonomi-syariah.htm
KODIFIKASI HUKUM DAN PERKEMBANGANNYA
A. APAKAH KODIFIKASI ITU ? Kodifikasi hukum adalah pembukuan hukum dalm suatu
himpunan Undang-Undang dalam materi yang sama. Tujuan daripada kodifikasi hukum
adalah agar dapat suatu kesatuan hukum dan suatu kepastian hukum. Kodifikasi
nasional yang pertama adalah Code Civil Perancis atau Code Napoleon. Pada awal
abad ke 18, Napoleon memerintahkan dan mengundangkan Undang-Undang Perancis
sebagai Undang-Undang Nasional. B. MENGAPA TUMBUH KODIFIKASI HUKUM ? Untuk
mengatasi tidak adanya kepastian hukum dan kesatuan hukum di negara Perancis
maka Napoleon memerintahkan kepada portalis untuk menyusun Rancangan
Undang-Undang dengan mengambil hukum kebiasaan yang berlaku di Perancis.
Setelah disetujui, Rancangan Undang-Undang tersebut yang terdiri dari 2000
pasal disahkan dan diundangkan sebagai Undang-Undang Nasional Perancis. Sebelum
adanya kodifikasi atau hukum nasional yang berlaku adalah hukum adat. Menurut
V.vVollenhoven, di Indonesia terdapat 19 macam masyarakat hukum adat, sehingga
bagi keseluruhan wilayahnya tidak ada kesatuan dan kepastian hukum. Maka demi
untuk adanya kesatuan dan kepastian hukum, Indonesia memerlukan hukum yang
bersifat nasional, yang berlaku sama bagi seluruh warga Negara Republik
Indonesia. C. PERKEMBANGAN KODIFIKASI HUKUM Dengan adanya Code Civil atau code
Napoleon, timbullah anggapan bahwa : a. Seluruh permasalahan hukum sudah
tertampung dalam suatu Undang-Undang Nasional. b. Di luar Undang-Undang tidak
ada hukum. c. Hakim hanya melaksanakan Undang-Undang yang berlaku di seluruh
negara. Anggapan tersebut merupakan aliran yang dinamakan aliran
legisme/wettelijk positivisme atau positivisme perundang-undangan yang
berpedoman di luar Undang-Undang tidak ada hukum. Ahli pikir Montesquieu dan
J.J.Rousseau mendukung aliran legisme ini. Menurut Montesquieu, dengan Trias
Politikanya memusatkan Pemerintahan dalam 3 kekuasaan. Dengan sistem separation
of power (pemisahan kekuasaan) tersebut, ia berpendapat bahwa di luar
Undang-Undang tidak ada hukum. Dengan tidak adanya hukum di luar Undang-Undang
satu-satunya sumber hukum adalah Undang-Undang dan hakim hanya merupakan mulut
dari pada Undang-Undang. Banyak negara yang mengambil ajaran tersebut secara
penuh atau sebagian meskipun ada yang menolaknya. Menurut Jean Jaques Rousseau,
dalam mengembangkan pendapatnya, ia memberikan beberapa ajaran : a. Contrac
Social atau perjanjian masyarakat. Ia berpendapat bahwa negara itu terbentuk
karena adanya perjanjian masyarakat. b. Souvereiniteits-theori ialah teori
kedaulatan rakyat. Dalam negara modern rakyatlah yang memegang kedaulatan.
Lebih lanjut Code Civil Perancis yang dianggap sebagai Undang-Undang yang
lengkap dan sempurna ternyata mempengaruhi perundang-undangan di Amerika dan
negara Eropa Barat seperti Belgia, Jerman, Italia. Salah satu negara yang
menggunakan Code Civil atau asas koordinasi adalah negeri Belanda. Burgerlijk
Wetboek negara Belanda dibawa ke Indonesia yang pada waktu itu dinamakan Hindia
Belanda sebagai jajahan Belanda. Pada waktu Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 maka Pantia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia dalam sidangnya pada tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan berlakunya
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak ada
Undang-Undang lainnya sehingga menimbulkan kekosongan hukum atau rechtsvacuum.
Untuk mengisi kekosongan hukum tersebut diadakan hukum peralihan atau
transitoir recht yang berwujud pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi
“Segala badan kenegaraan dan
peraturan yang ada masih langsung
berlaku selama belum diadakan
yang baru”
Dalam perkembangannya lebih
lanjut Perancis juga membentuk Code du Commerce dan Code Penal. Para ahli
sebelumnya mengatakan bahwa asas undang-undang hukum nasionalnya sudah lengkap,
semua permasalahan hukum terjawab dalam Undang-Undang Nasionalnya dan hakim
dalam memutuskan perkara cukup menetapkan keputusannya berdasarkan
Undang-Undang yang ada atau hakim berfungsi sebagai subsumtieautomaat atau
terompet belaka. Adapun pendukung pandapat tersebut antara lain : mengatakan
bahwa KUUH Jerman sudah sedemikian sempurnanya, sehinga dapat memecahkan segala
masalah hukum yang ada. nderen dari Belanda mengatakan bahwa Undang-Undang
Nasional Belanda telah mencakup segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum
dan isinya sudah cukup jelas dan lengkap. D. ALIRAN-ALIRAN HUKUM YANG TIMBUL
KEMUDIAN 1. Ajaran Freie Rechtslehre Ajaran ini timbul pada tahun 1840 karena
ajaran Legisme dianggap tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, masalah hukum
yang baru timbul dan belum tertampung dalam Undang-Undang Nasional yang sudah
ada. Reaksi pertama timbul dari Jerman Barat, ajaran ini tau yang disebut hukum
bebas yang diajarkan dan dianut oleh : bukunya Der Kampf um die
Rechtswissenschaft (Perjuangan untuk hukum). Freie Rechtsfindung und Freie
Rechtswissenschaft. ukunya Gesetz und Richteramt. Menurut paham Freie
Rechtslehre atau hukum bebas, hukum tumbuh di dalam masyarakat dan diciptakan
oleh masyarakat berupa kebiasaan dalam kehidupan dan hukum alam yang sudah
merupakan tradisi sejak dahulu, baik diajarkan oleh agama maupun merupakan adat
istiadat. Selanjutnya paham ini berkembang menjadi 2 aliran yaitu : a. Aliran
hukum bebas sosiologis yang berpendapat bahwa hukum bebas itu adalah
kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat dan berkembang secara sosiologis. b.
Aliran hukum bebas natuurrechtelijk yang berpendapat bahwa hukum bebas adalah
hukum alam. 2. Aliaran Rechtsvinding Jika aliran bebas bertolak pada hukum di
luar Undang-Undang, maka aliran ini, atau yang disebut aliran Penemuan Hukum
mempergunakan Undang-Undang dan hukum di luar Undang-Undang. Dalam pemutusan
perkara mula-mula hakim berpegang pada Undang-Undang dan apabila ia tidak dapat
menemukan hukumnya, maka ia harus menciptakan hukum sendiri dengan berbagai
cara seperti mengadakan interprestasi (penafsiran terhadap Undang-Undang) dan
melakukan konstruksi hukum apabila ada kekosongan hukum. Aliran ini yang
sekarang digunakan di berbagai negara termasuk Indonesia. ALIRAN-ALIRAN
(PRAKTIK) HUKUM A. ALIRAN LEGISME Setelah adanya kodifikasi di negara Perancis,
maka timbullah aliran legisme (wettelyk positivism). Aliran ini berpendapat
bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang dan di luar undang-undang
tidak ada hukum. Karena aliran tersebut dianggap suatu usaha yang baik sekali
dengan menghasilkan kesatuan dan kepastian hukum, maka banyak negeri yang
mengikuti jejak Perancis antara lain negeri Belanda, Belgia, Jerman, Swiss.
Setelah berjalan lebih kurang 40-50 tahun aliran Legisme menunjukan kekurangannya,
yaitu bahwa permasalahan hukum yang timbul kemudian tidak dapat dipecahkan oleh
undang-undang yang telah dibentuk. B. ALIRAN FREIE RECHTSLEHRE, FREIE
RECHTSBEWEGUNG, DAN FREIE RECHTSCHULE (HUKUM BEBAS) Aliran Freie Rechtslehre
merupakan aliran bebas yang hukumnya tidak dibuat oleh badan Legislatif dan
menyatakan bahwa hukum terdapat di luar Undang-Undang. Berbeda dengan aliran
legisme di mana hukum terikat sekali pada Undang-Undang, maka hakim
bahwa hukum itu terbentuk dari
kebiasaan, perundang-undangan dan proses peradilan.
http://descaparidana.blogspot.com/2012/11/kodifikasi-aliran-aliran-dan.html R.
Soeroso, SH. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika. 200 KODIFIKASI
Menurut teori ada 2 macam kodifikasi hukum, yaitu ; 1. Kodifikasi terbuka
Kodifikasi terbuka adalah kodifikasi yang membuka diri terhadap terdapatnya
tambahan
–
tambahan diluar induk
kondifikasi. Pertama atau semula maksudnya induk permasalahannya sejauh yang
dapat dimasukkan ke dalam suatu buku kumpulan peraturan yang sistematis,tetapi
diluar kumpulan peraturan itu isinya menyangkut permasalahan di luar kumpulan
peraturan itu isinya menyangkut permasalahan
–
permasalahan dalam kumpulan
peraturan pertama tersebut. Hal ini dilakukan berdasarkan atas kehendak
perkembangan hukum itu sendiri sistem ini mempunyai kebaikan ialah;
“ Hukum dibiarkan berkembang
menurut kebutuhan masyarakat dan
hukum tidak lagi disebut sebagai penghambat kemajuan masyarakat hukum disini
diartikan
sebagai peraturan “.
2. Kodifikasi tertutup Adalah
semua hal yang menyangkut permasalahannya dimasukan ke dalam kodifikasi atau
buku kumpulan peraturan. Cacatan; Dulu kodifikasi tertutup masih bisa
dilaksanakan bahkan tentang bidang suatu hukum lengkap dan perkasanya perubahan
kehendak masyarakat mengenai suatu bidang hukum agak lambat. Sekarang nyatanya
kepeningan hukum mendesak agar dimana-mana yang dilakukan adalah Kodifikasi
Terbuka. Isinya; 1. Politik hukum lama 2. Unifikasi di zaman Hindia Belanda
(Indonesia) gagal 3. Penduduk terpecah menjadi; a. penduduk bangsa Eropa b.
Penduduk bangsa Timur Asing c. Pendudk bangsa pribadi (Indonesia) 4. pemikiran
bangsa Indonesia terpecah-pecah pula. 5. Pendidikan bangsa indonesia: a. Hasil
Pendidikan Barat. b. Hasil Pendidikan Timur "Hukum tidak bisa efektif
kalau tidak dikodifikasi," kata Amin Suma. "Pendekatan kultural saja
tidak cukup," ia menambahkan. Ada elemen tertentu pada syariat Islam yang
bisa dan kadang memang harus diundangkan karena ada kebutuhan regulasi. Dan
elemen hukum Islam yang diundangkan tidak selalu diskriminatif. Misalnya,
seiring dengan pesatnya industri keuangan syariah, kini diperlukan banyak
perangkat regulasi yang memayunginya. Fatwa-fatwa tentang transaksi bisnis
berbabis syariah banyak diminta. Lalu sejumlah lembaga regulator, seperti Bank
Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, serta Departemen
Keuangan, mengadopsi rangkaian fatwa yang informal itu menjadi peraturan
formal. kodifikasi hukum Kodifikasi Hukum di Indonesia A. Kodifikasi Hukum
Kodifikasi adalah pembukuan jenis- jenis hukum tertentu dalam kitab
undang-undang secara sistematis dan lengkap. Menurut bentuknya, hukum itu dapat
dibedakan antara : 1. Hukum tertulis (Statute Law = Written Law) yakni hukum
yang dicantumkan dalam pelbagai peraturan-perundangan.
2. Hukum Tidak Tertulis (unstatutery
Law = Unwritten Law ) yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat,
tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti suatu perundang-undangan
(disebut juga hukum kebiasaan). Mengenai hukum tertulis, ada yang telah
dikodifikasikan, dan yang belum dikodifikasikan. Jelas bahwa unsur-unsur
kodifikasi ialah a) Jenis-jenis hukum tertentu (misalnya hukum perdata) b)
Sistematis c) Lengkap Adapun tujuan kodifikasi daripada hukum tertulis adalah
untuk memperoleh 1. Kepastian hukum 2. Penyerdehanaan hukum 3. Kesatuan hukum
Contoh kodifikasi Hukum : a. Di Eropa : 1. Corpus Iuris Civilis (mengenai Hukum
Perdata) yang diusahakan oleh kaisar Justianus dari kerajaan Romawi Timur dalam
tahun 527
–
565. 2. Code Civil (mengenai
Hukum Perdata) yang diusahakan oleh Kaisar Napoleon di Perancis dalam tahun
1604. b. Di Indonesia 1. Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (01 Mei 1848) 2. Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (01 Mei 1848) 3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(01 Januari 1918) 4. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP), 31 Desember
1981. B. Macam
–
Macam Pembagian Hukum 1.
Pembagian Hukum Menurut Asas Pembagiannya Walaupun hukum itu terlalu luas
sekali sehingga orang tak dapat membuat definisi singkat yang meliputi
segala-galanya, namun dapat juga hukum itu dibagi dalam beberapa golongan hukum
menurut beberapa asas pembagian sebagai berikut : 1). Menurut Sumbernya, hukum
dapat dibagi dalam : a) Hukum Undang-Undang yaitu hukum yang tercantum dalam
peraturan perundangan. b) Hukum Kebiasaan (adat) yaitu hukum yang terletak di
dalam peraturan-peraturan kebiasaan (adat). c) Hukum Traktat yaitu hukum yang
ditetapkan oleh negara-negara di dalam suatu perjanjian antara neagara
(traktat). d) Hukum Jurisprudensi yaitu hukum yang terbentuk karena keputusan
hakim. 2). Menurut bentuknya, hukum dapat dibagi dalam : a) Hukum Tertulis.
Hukum ini dapat pula merupakan ; 1. Hukum Tertulis yang dikodifiksikan 2. Hukum
Tertulis tidak dikodifikasikan b) Hukum Tidak Tertulis (Hukum Kebiasaan)
(keterangan mengenai kedua macam hukum ini telah diberikan dalam penjelasan
tentnag kodifikasi) 3). Menurut Tempat berlakunya hukum dapat dibagi dalam : a)
Hukum Nasional yaitu hukum yang berlaku dalam suatu negara. b) Hukum
Internasional yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum dalam dunia
internasional. c) Hukum Asing yaitu huku yang berlaku dalam negara lain. d)
Hukum Gereja yaitu kumpulan norma-norma yang ditetapkan oleh gereja untuk para
anggotanya. 4). Menurut waktu berlakunya, hukum dapat dibagi dalam : a) Ius
Constitutum (Hukum Positif yaitu hukum yang berlaku sekarang bagi suatu
masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu.) Singkatnya : hukum yang
berlaku bagi suatu masyarakat pada suatu waktu, dalam suatu tempat tertentu.
Ada sarjana yang
menamakan hukum positif itu ” Tata
Hukum ”.
b) Ius Constituendum yaitu
hukum yang diharapkan berlaku pada waktu yang akan datang. c) Hukum Asasi yaitu
hukum yang berlaku dimana-mana dalam segala waktu dan untuk segala
Sebagaimana halnya dengan kodifikasi
yang istilahnya diambil dari perkataan bahasa Latin, maka istilah Kompilasipun
diambil dari bahasa yang sama. Istilah Kompilasi diambil dari kata “Compilare” yang mempunyai arti
mengumpulkan bersama-sama, seperti misalnya : mengumpulkan peraturan-peraturan
yang tersebar berserakan diman-mana, istilah ini dikembangkang menjadi “Compilation” dalam bahasa Inggrisnya
dan “Compilatie” dalam bahasa
Belanda. Kemudian dipergunakan kedalam bahasa Indonesia menjadi “Kompilasi” yang berarti mengupulkan
secara bersama-sama peraturan-peraturan yang berserakan untuk dijadikan satu
kumpulan hukum.
Berdasarkan keterangan tersebut
diatas dapatlah diketahui bahwa ditinjau dari sudut bahasa “Kompilasi” itu
adalah kegiatan pengumpulan dari berbagai bahan tertulis yang di ambil dari
berbagai penulis yang berbeda untuk ditulis dalam suatu buku tertentu.
0 comments:
Post a Comment