MAKALAH STELSE PENGENAAN PAJAK
OLEH
KELOMPOK 7
1.
SRI YUNARSI ( 1261041001 )
2.
AHMAD AKHYAR A.A (
1261041026 )
3.
LISDAYANTI ( 1261042020 )
4.
MUH. KHAEDIR (
1261041013 )
5.
IRMA INDRIANI (
1261040004 )
6.
AMRAN ( 1261042008 )
7.
SUMARNI B (
1261042003 )
PRODI PEND. PANCASILA & KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
KATA PENGANTAR
Puji
dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan
baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami membahas mengenai Stelse
Pengenaan Pajak.
Makalah
ini dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak
untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah
ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami
menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh
karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang
dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan
untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir
kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.
Makassar,
21 Desember 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Rumusan Masalah
C.
Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Bagaimana
keterkaitan antara stelsel pajak dengan sistem pemungutan pajak yang dijalankan?
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbicara mengenai pengenaan pajak,
pada umumnya tidak terlepas dari subyek pajak yaitu mereka (orang atau badan)
yang memenuhi syarat subyektif, yaitu syarat yang melekat pada orang atau badan
sesuai dengan apa yang ditentukan oleh undang-undang. Sedangkan obyek pajak
artinya mereka mempunyai potensi untuk dikenai pajak, tetapi belum tentu
dikenai pajak. Sementara itu, wajib pajak adalah mereka (orang atau badan) yang
selain memenuhi syarat subyektif, juga harus memenuhi syarat obyektif. Jadi
wajib pajak itu tidak hanya potensial untuk dikenakan pajak, melainkan lebih
dari itu memang sudah dikenakan kewajiban untuk membayar utang pajak.
Pengenaan pajak ini mencari jawaban
atas permasalahan siapa saja yang dapat dikenai pajak, yaitu wajib pajak yang
memiliki penghasilan atau memiliki bumi atau bangunan yang memenuhi syarat
untuk dikenakan pajak dan sebagainya. Sedangkan asas pengenaan pajak itu
sendiri tergantung pada negara tempat tinggal, negara asal, dan asas kebangsaan
yang dianut negara yang bersangkutan. Bab mengenai pengenaan pajak itu meliputi
: stelsel pajak, sistem pemungutan pajak, tarif pajak, dan perlawanan terhadap
pajak.
Dalam makalah ini, kami akan
membahas lebih lanjut mengenaipengenaan pajak. Misalnya mengenai kaitan stelsel
pajak dengan sistem pemungutan pajak, tarif pajak dengan perlawanan terhadap
pajak.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas,
maka dapat dibuat beberapa rumusan masalah, sebagai berikut :
1.
Bagaimana keterkaitan antara stelsel pajak dengan
sistem pemungutan pajak yang dijalankan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Keterkaitan
antara Stelsel Pajak dengan Sistem Pemungutan Pajak
Stelsel pajak pada umumnya
berhubungan dengan sistem pemungutan pajak. Dalam konteks ini, sistem
pemungutan pajak lebih menekankan masalah waktu di mana pada umumnya ada tiga
sistem, yaitu :
1. Sistem
pemungutan pajak di depan,
2. Sistem
pemungutan pajak di tengah,
3. Sistem
pemungutan pajak di belakang.
Dianutnya suatu stelsel pajak
tertentu dalam suatu negara membawa adanya sistem pemungutan tertentu juga di
dalamnya. Ada tiga macam stelsel pajak, yaitu :
1. Stelsel
Nyata (Riil)
Dalam
stelsel nyata atau riil ini pengenaan pajak didasarkan pada keadaan dari obyek
pajak yang sesungguhnya. Apabila pajak itu dikenakan terhadap penghasilan
misalnya, maka pengenaan pajak didasarkan pada penghasilan yang sungguh-sungguh
diterima atau diperoleh oleh wajib pajak. Sehingga terhadap suatu jenis pajak
yang menggunakan stelsel riil, maka sistem pemungutan pajaknya adalah sistem
pemungutan pajak di belakang (naheffing). Pemungutan pajak dilakukan
setelah masa atau tahun pajak berakhir.
* Kelebihan
:
Baik bagi
wajib pajak maupun fiscus atau pemerintah tidak merasa dirugikan apabila
terjadi perubahan terhadap keadaan obyek pajak selama masa pajak itu
berlangsung, karena semua perubahan itu tetap dipertimbangkan dalam penentuan
jumlah pajak.
* Kelemahan
:
Terlambatnya
uang pajak masuk ke dalam kas negara. Hal tersebut terjadi karena uang pajak
baru dapat diterima oleh negara setelah masa atau tahun pajak itu berakhir.
2. Stelsel
Anggapan (Fictieve Stelsel)
Stelsel
anggapan pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan hukum (fictie)
tertentu. Fictie hukum yang dipakai ini misalnya menganggap bahwa
penghasilan yang diterima oleh setiap wajib pajak adalah sama besarnya untuk
setiap tahun pajak. Fictie lain yang digunakan, misalnya bagi wajib
pajak yang menerima gaji bulanan, penghasilan dalam satu tahun pajak adalah
sama dengan penghasilan pada bulan pertama dikalikan dua belas. Dengan
demikian, setelah bulan pertama berakhir dan diketahui semua penghasilan bulan
itu, maka sudah dapat digunakan untuk menentukan besarnya penghasilan setahun yang
digunakan sebagai dasar untuk menentukan besarnya pajak bagi wajib pajak yang
bersangkutan. Stelsel ini menerapkan sistem pemungutan pajak di depan (voor
heffing). Terhadap perubahan yang terjadi selama masa atau tahun itu tidak
mempengaruhi besarnya utang pajak pada masa atau tahun itu.
* Kelebihan
:
Uang hasil
pajak segera dapat masuk ke dalam kas negara.
* Kelemahan
:
Merugikan
wajip pajak apabila ternyata selama masa atau tahun pajak berjalan terjadi
penurunan penghasilan dari wajib pajak. Sebaliknya juga akan merugikan negara
apabila ternyata selama masa atau tahun pajak berlangsung terjadi kenaikan
penghasilan dari wajib pajak.
3. Stelsel
Campuran
Stelsel ini
merupakan perpaduan dari stelsel yang telah diuraikan di atas, dan sekaligus
merupakan upaya untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan dari kedua stelsel
sebelumnya. Dalam stelsel campuran ini, utang pajak dikenakan dengan
mendasarkan stelsel fictie pada awal masa atau tahun pajak yang itu
merupakan ketetapan sementara, di mana setelah masa atau tahun pajak berakhir
akan dikoreksi berdasarkan keadaan dari penghasilan yang sesungguhnya diterima
oleh wajib pajak. Dengan demikian, ada dua ketetapan pajak yaitu di awal masa
atau tahun pajak dikeluarkan ketetapan sementara dan kemudian setelah masa atau
tahun pajak berakhir dikeluarkan ketetapan yang final. Penggunaan stelsel ini
membawa konsekuensi digunakannya sistem pemungutan di depan dan di belakang
sekaligus. Stelsel ini digunakan dalam pajak penghasilan.
* Kelebihan
:
Pada awal
masa atau tahun pajak uang hasil pajak sudah dapat masuk ke dalam kas negara
sehingga dapat segera digunakan. Bagi fiscus dan wajib pajak tidak ada
yang dirugikan apabila terjadi perubahan terhadap besarnya penghasilan, karena
pada akhir masa atau tahun pajak ketetapan pajak yang didasarkan pada stelsel fictie
tersebut masih dapat dikoreksi.
* Kelemahan
:
Adanya
ketetapan yang dilakukan dua kali selama masa atau tahun pajak yang
bersangkutan. Hal ini akan mengakibatkan adanya pekerjaan, biaya dan tenaga
yang digunakan untuk menghitung dan menetapkan utang pajak itu menjadi dua kali
lipat. Hal ini tentu tidak efisien.
Untuk mengatasi berbagai kelemahan
stelsel-stelsel tersebut, harus dicari terobosan baru untuk memperkecil atau
meniadakan kelemahan tersebut. Dahulu pernah diterapkan sistem MPS (menghitung
pajak sendiri) dan MPO (menghitung pajak orang lain) yang peran utamanya tidak
dilakukan oleh fiscus sendiri melainkan oleh wajib pajak. Sisitem ini
kemudian mengarah kepada penerapan sistem self assessment.
Sistem pemungutan pajak tidak hanya
sebatas pada masalah waktu saja, melainkan juga mengenai kewenangan dan
tanggung jawab untuk menghitung dan menetapkan besarnya utang pajak. Beberapa
sistem pemungutan pajak, yaitu :
1. Official
Assessment System
Suatu sistem
pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiscus) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-ciri dari sistem
ini adalah :
a. Wewenang
untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiscus,
b. Wajib pajak
bersifat pasif,
c. Utang pajak
timbul setelah dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak (berisi ketetapan mengenai
jumlah utang pajak yang harus dibayar wajib pajak) oleh fiscus.
Dalam sistem
ini pihak fiscus masih cukup dominan untuk menghitung dan menetapkan
utang pajak. Sistem ini umumnya diterapkan terhadap jenis pajak yang melibatkan
masyarakat luas di mana masyarakat selaku subyek pajak atau wajib pajak
dipandang belum mampu disertahi tanggung jawab untuk menghitung dan menetapkan
pajak. Contoh pajak yang masih menggunakan sistem ini adalah Pajak Bumi dan
Bangunan.
2. Self
Assessment System
Suatu sistem
pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan
sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-ciri dari sistem ini adalah :
a. Wewewnang
untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri,
b. Wajib pajak
aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang
terutang,
c. Fiscus tidak ikut
campur dan hanya mengawasi.
Sistem ini
umumnya diterapkan pada jenis pajak di mana wajib pajaknya dipandang cukup
mampu untuk diserahi tanggung jawab untuk menghitung dan menetapkan utang
pajaknya sendiri. Dalam hal ini, subyek pajak atau wajib pajak relatif
terbatas, contohnya Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan
Pajak Penjualan atas Barang mewah (PPn. BM). Dengan diterapkannya sistem
pemungutan yang seperti ini, diharapkan akan mengatasi kelemahan dari stelsel
campuran.
3. With Holding
System
Sistem
pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiscus dan
bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang
terutang oleh wajib pajak. Ciri- ciri dari sistem ini adalah :
Wewenang
menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga selain fiscus dan
wajib pajak,
Tanggung
jawab ada pada pihak ketiga (hal ini dapat dilihat dalam PPh dimana pemberi
kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun, dan sebagainya yang kepadanya
diserahi tanggung jawab untuk memotong pajak terhadap penghasilan yang mereka
bayarkan).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Sistem
pemungutan pajak, yaitu :
a. Sistem
pemungutan pajak di depan,
b. Sistem
pemungutan pajak di tengah,
c. Sistem
pemungutan pajak di belakang.
Dianutnya
suatu stelsel pajak tertentu dalam suatu negara membawa adanya sistem
pemungutan tertentu juga di dalamnya. Ada tiga macam stelsel pajak, yaitu:
a.
Stelsel Nyata (Riil)
b.
Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel)
c.
Stelsel Campuran
Beberapa
sistem pemungutan pajak, yaitu :
a.
Official Assessment System
b.
Self Assessment System
c.
With Holding System
Daftar
Pustaka