Blogroll

Tuesday 27 May 2014

Hukum Adat (Sejarah Hukum Adat)



NAMA             : AHMAD AKHYAR ABDUL AHAD
NIM                 : 1261041026
JURUSAN       : PPKn
TUGAS HUKUM ADAT
1.  SEJARAH HUKUM ADAT
Hukum Adat dikemukakan pertama kali oleh Prof. Snouck Hurgrounje seorang Ahli Sastra Timur dari Belanda (1894). Sebelum istilah Hukum Adat berkembang, dulu dikenal istilah Adat Recht. Prof. Snouck Hurgrounje dalam bukunya de atjehers (Aceh) pada tahun 1893-1894 menyatakan hukum rakyat Indonesia yang tidak dikodifikasi adalah de atjehers.
Kemudian istilah ini dipergunakan pula oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, seorang Sarjana Sastra yang juga Sarjana Hukum yang pula menjabat sebagai Guru Besar pada Universitas Leiden di Belanda. Ia memuat istilah Adat Recht dalam bukunya yang berjudul Adat Recht van Nederlandsch Indie (Hukum Adat Hindia Belanda) pada tahun 1901-1933.
Perundang-undangan di Hindia Belanda secara resmi mempergunakan istilah ini pada tahun 1929 dalam Indische Staatsregeling (Peraturan Hukum Negeri Belanda), semacam Undang Undang Dasar Hindia Belanda, pada pasal 134 ayat (2) yang berlaku pada tahun 1929
Dalam masyarakat Indonesia, istilah hukum adat tidak dikenal adanya. Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa istilah tersebut hanyalah istilah teknis saja. Dikatakan demikian karena istilah tersebut hanya tumbuh dan dikembangkan oleh para ahli hukum dalam rangka mengkaji hukum yang berlaku dalam masyarakat Indonesia yang kemudian dikembangkan ke dalam suatu sistem keilmuan.

Paling tidak ada tiga kategori periodesasi hal penting ketika berbicara tentang sejarah hukum adat, yaitu:
Sejarah proses pertumbuhan dan perkembanagan hokum adat itu sendiri, peraturan adat istiadat kita ini pada hakikatnya sudah terdapat pada zaman pra hindu.

Sejarah hokum adat sebagai system hokum dari tidak/belum dikenal hingga sampai dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan.
Sejarah kedudukan hokum adat, sebagai masalah politik hokum, didalam system perundang-undangan di Indonesia.
Faktor  yang    mempengaruhi di samping faktor astronomis–iklim–dan geografis–kondisi alam–serta watak bangsa yang bersangkutan, maka faktor-faktor terpenting yang mempengaruhi proses perkembangan hukum  adat adalah:
A. Magis dan Animisme
alam pikiran mistis-magis serta pandangan hidup animistis-magis sesungguhnya dialami oleh tiap bangsa di dunia ini. faktor pertama ini khususnya mempengaruhi dalam empat hal, sebagai berikut:
1) pemujaan roh-roh leluhur,
2) percaya adanya roh-roh jahat dan baik,
3) takut kepada hukuman ataupun pembalasan oleh kekuatan gaib, dan
4) dijumpainya orang orang yang oleh rakyat dianggap dapat melakukan hubungan  dengan kekuatan-kekuatan gaib
B.  Agama
1. Agama Hindu. pengaruh terbesar agama ini terdapat di bali meskipun pengaruh dalam
hukum adatnya sedikit sekali.
2) Agama Islam. pengaruh terbesar nyata sekali terlihat dalam hukum perkawinan.
3) Agama Kristen. hukum perkawinan kristen diresepsi dalam hukum adatnya.
C. kekuasaan yang lebih tinggi daripada persekutuan hukum adat. 
kekuasaan itu adalah kekuasaan yang meliputi daerah-daerah yang lebih luas daripada wilayah satu persekutuan hukum, seperti misalnya kekuasaan raja-raja, kepala kuria, nagari.
D. hubungan    dengan            orang-orang   ataupun kekuasaan asing
Faktor ini sangat besar pengaruhnya. hukum adat yang semula sudah meliputi segala bidang kehidupan hukum, oleh kekuasaan asing–kekuasaan penjajahan belanda–menjadi terdesak sedemikian rupa hingga akhirnya praktis menjadi bidang perdata material saja.

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ADAT

Istilah “hukum Adat”adalah terjemahan dari istilah dalam bahasa belanda adatrecht,yang dipelopori oleh Snouck Hurgronje. Istilah adatrecht kemudian dikutip oleh Van Vollenhoven sebagai istilah teknis yuridis.
Kalau hukum adat itu sesuatu yang hidup dalam masyarakat, yaitu suatu gejala sosial yang hidup, Perhatian terhadap hukum adat itu tadak hanya terwujud dalam dilahirkannya suatu ilmu hukum adat, tetapi juga terjelma dalam dijalankannya suatu politik hukum adat, pertama-tama oleh VOC, kemudian oleh GovermentHindia Belanda dahulu. Yang disebut pertama belum mengenal hukum adat tetapi telah mengetahui bahwa orang-orang indonesia tunduk pada perturan tradisional yang khas biarpun peraturan itu dianggap peraturan agama islam, dan yang disebut kedua baru pada abad ini mengenal istilah “hukum adat”.
Menyadari adanya dan kemudian “menemukan” hukum adat itu dengan berangsur-angsur, terjadilah dalam abad ke-19 dan pada permulaan abad ke-20 ini, sebagai akibat diadakannya penyelidikan dan pelajaran hukum adat yang makin lama makin banyak, makin teliti dan makin sistematis.
Van vollenhoven dalam Deontdekking van het adatrecht menyebut periode sampai tahun 1865 sebagai zaman “westersche verkenningen”, yakni zaman perintis dalam penyelidikan dan pelajaran hukum adat oleh orang-orang yang berasal dari dunia barat.
Sebagai perintisnya adalah seorang inggris yang bernama marsden yang menjadi pegawai pamongpraja (hindia) inggris.
Pada tahun 1783 oleh marsden di pulikasikan sebuah buku yang berjudul the history of sumatra. Yang sebenarnya tidak memuat sejarah pulau tersebut, tetapi dengan meminjam istilah-istilah van vollenhoven membuat suatu “gambaran” atau suatu “laporan sistematis” tentang sumatra pada akhir abad ke-18. Istilah van vollenhoven ini sesuai dengan  - - yang oleh marsden sendiri diberi tentang istilah “history” itu yaitu: berisikan laporan tentang pemerintahan hukum, kebiasaan dan adat sopan-santun orang-orang pribumi. Mengenai hukum adat yang dperhatikan oleh marsden dalam bukunya, van vollen hoven menulis: “hukum adat meliputi hanya sebagian daripada buku marsden tetapi ia mencarinya dan memberikan perhatian yang khusus -  tehadap hukum adat itu -, mencoba menyusunnya, dan menepatkannya pada tempat yang utama pada ulasan – judulnya dan di dalam pokok bukunya itu”
Van vollenhovenmenyebut marsden seorang prionir,seorang printis dalam penemuan hukum adat itu, - sebab – “padanyalah timbul untukpertama kali kesadaran tentang kesatuah dan hubungan tali-temali dari pada daerah dan golongan suku-suku bangsa yang keseluruhannya digolongkannya di dalam komplek yang lebih luas, yaitu melayu-polinesia yang di dalam perjalanan selanjutnya dari abad ke-19, akan dijuluki dengan nama “daerah indonesia” dan “orang-orang indonesia”
Karya marsden disusul dengan karya herman warner muntinghe seorang belanda, “yang hampir menyamai marsden sebagai prionir” dan yang berturut-turut menjabat sekretaris-pemerintahan, sekretaris jendral dari gubernur-jendral daendels, ketua hooggerechtshof, pembantu . . . raffles (!), sesudah kembalinyakekuasaan belanda atas indonesia menjadi pembantu . . . komisaris-jendral (!), pada akhirnya: anggota Raad van indies - - teranglah ia bahwa ia adalah seorang yang pandai mengabdi pada yang kuat dan berkuasa! Rupanya jasa muntighe adalah penemuan desa jawa sebagai suatu persekutuan hukum (rechtsgemeensschap) yang asli dengan organisasi sendiri dan hak-hak sendiri atas tanah. Muntighe adalah juga orang barat pertama yang secara sistematis memakai istilah “adat”, tetapi masih belum mengenal istilah “adatrecht”


peraturan adat kita telah ada semenjak adanya nenek moyang kita dahulu yaitu zaman sebelum datangnya Agama Hindu dan agama-agama lainnya serta budaya-budaya asing lainnya ke dalam tatanan pola kehidupan masyarakat kita yang  masih utuh. Adat istiadat dimaksud adalah merupakan Adat Melayu Polinesia. Lambat laun datanglah ke kepulauan kita kultur Hindu, kemudian kultur Budha, kultur Islam, kultur Kristen serta lain-lainnya yang masing-masing membawa pengaruh terhadap kultur kita yang asli itu.  Adat yang hidup pada masyarakat kita(Bangsa Indonesia) sekarang ini adalah merupakan suatu hasil akulturasi antara peraturan-peraturan adat istiadat yang asli (pada zaman pra hindu) dengan peraturan-peraturan hidup yang dibawa oleh kultur Hindu, Budha, Islam, Kristen, dan lain sebagainya yang telah menjadi satu.
Menurut Prof djojodigoeno, S.H. Dalam bukunya “Asas-asas Hukum Adat”(hal 8) menuliskan sebagai berikut.
Mengenai inti sari Hukum Adat Indonesia dapat ditegaaskan bahwa pokok pangkal Hukum Adat Indonesia adalah ugeran-ugeran yang dapat disimpulkan bahwa dari sumber tersebut, (kekuasaan pemerintah Negara atau salah satu sendinya dan kekuasaan masyarakat sendiri) dan timbul langsung sebagai pernyataan-pernyataan kebudayaan Indonesia asli, tegasnya sebagai pernyataan rasa keadilanya dalam hubungan pamri. Unsur lainnya yang tidak begitu besar artinya atau luas pengaruhnya  ialah unsure-unsur keagamaan, teristimewa unsure-unsur  yang dibawa  oleh agam islam, pengaruh agama hindu dan Kristen pun ada juga.
Menurut Dr. Soekanto dalam bukunya”Meninjau Hukum Adat Indonesia”(hal 54) menyatakan sebagai berikut : Jika kita mengeluarkan pertanyaan, hokum apakah menurut kebenaran, keadaan, yang bahagian terbesar terdapat dalam hokum adat Indonesia, jawabnya ialah hokum melayu polinesia yang asli itu, dengan disana sini sebagai bahagian yang sangat kecil, hokum-agama.
Menurut Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, dalam bukunya “Het Adatrecht van Nederland Indie” jilid I eerste  stuk (hal 9) menggambarkan hokum adat beserta unsur-unsurnya sebagai berikut:
Hukum adat atau hukum pribumi terbagi atas 2 unsur yaitu:
Hukum adat tidak tertulis (Hukum asli penduduk)
Hukum adat tertulis (ketentuan-ketentuan hokum agama
Dalam sejarah hukum adat di Indonesia, terdapat berbagai bukti yang memperlihatkan kepada kita bahwa hukum adat telah ada di Indonesia sejak lama. Hal ini dapat ditunjukkan dengan keberadaan Kitab Civacasana yang telah ada sejak jaman Raja Dharmawangsa (Kerajaan Hindu) pada tahun 1000, kemudian ada juga kitab gajah mada yang dibuat oleh Patih Majapahit, yakni Patih Gajah Mada pada tahun 1331 sampai dengan 1364. Selain itu, ada pula kitab Adigama yang dibuat oleh Patih Kanaka dari Kerajaan Majapahit pada tahun 1413-1430. Kitab lainnya adalah kitab hukum Kutaramanava yang telah ada di Bali pada tahun 1350.
Keberadaan kitab-kitab tersebut menunjukkan kepada kita bahwa sejarah hukum adat di Indonesia telah ada sejak lama. Dalam sejarah hukum adat, kitab tersebut diatas merupakan kitab yang mengatur kehidupan di dalam lingkungan istana.
Selain kitab yang mengatur pola kehidupan di dalam lingkungan istana, dalam sejarah hukum adat masih banyak lagi kitab yang mengatur pola kehidupan masyarakat pada umumnya, antara lain: Ruhut Parsaroan dan Patik Dohot Uhumni Halak di Tapanuli. Kemudian ada Undang-Undang Jambi yang berlaku di masyarakat Jambi. Ada juga Undang-Undang Simbur Cahaya yang mengatur mengenai tanah di dataran tinggi daerah palembang. Undang-Undang Nan Dua Puluh yang mengatur mengenai delik di Minangkabau. Kemudian ada pula Amanna Gappa yang mengatur mengenai Pelayaran dan pengangkatan laut bagi orang wajo di Sulawesi Selatan. Kemudian ada pula Awig-awig yang ditulis diatas daun lontar di Bali.
SEJARAH HUKUM ADAT MULAI DARI TIDAK DIKENAL SAMPAI   DIKENAL DALAM ILMU PENGETAHUAN
Sejarah hukum adat sebagai sistem hukum dari yang tidak dikenal hingga dikenal dalam ilmu pengetahuan dapat di bagi atas empat periodesasi waktu di antaranya adalah ;
a. Sebelum Zaman kompeni.
b. Pada zaman kompeni (1602-1800).
c. Pada zaman Daendels (1808- 1811).
d. Pada zaman Raffles (1811-1816).
Dalam empat tahapan waktu mengenai proses sejarah hukum adat hingga sampai mulai dikenal dalam ilmu pengetahuan, pada mulanya melalui proses yang panjang.
Pada zaman sebelum kompeni yaitu sebelum tahun 1602 bangsa asing belum menaruh perhatian kepada hukum adat. Barulah pada zaman kompeni bangsa asing mulai menaruh perhatian terhadap adat-istiadat kita baik atas inisiatif sendiri maupun perintah tugas dari penguasa kolonial pada masa itu.
Barulah pada zaman kompeni tepatnya pada tahun 1602-1800 hukum adat akan tetap dibiarkan dan tetap berlaku di masyarakat. Namun jika kepentingan kompeni terganggu seperti dalam kepentingan badan perniagaan VOC atau untuk keperluan tertentu, maka kompeni akan bertindak opportunitelt terhadap hukum adat tersebut.
Sebelum datang VOC dan belum ada penelitian tentang hukum adat, dan semasa VOC menggunakan politik oppurtinity nya, maka pejabat Belanda yang mengurus Negara jajahan mengintruksikan kepada jendral pemimpin daerah jajahan masing-masing untuk menerapkan hokum Belanda di Indonesia yaitu pada tnggal 1 Maret 1621 yang baru dilaksanakan pada pemerintahan De Carventer yang telah melekukakn penelitian dan menyimpulkan bahwa hukum adat Indonesia masih hidup.
SEJARAH POLITIK HUKUM ADAT
Sejarah politik hukum adat dalam perundang-undangan di indonesia terbagi dalam tiga periode yaitu ;
A. Masa menjelang tahun 1848.
B. Masa pada tahun 1848 dan seterusnya.
C. Sejak tahun 1927.

Untuk lebih jelasnya berdasar periodesasi di atas maka akan diuraikan mengenai sejarah politik hukum adat di Indonesia sebagai berikut.

A. Masa menjelang tahun 1848.

Pada masa kompeni hukum adat dibiarkan saja seperti sediakala hidup berlaku untuk bangsa Indonesia.  Untuk pertama kali hukum adat mendapat sorotan pemerintah Belanda adalah pada masa pengangkatan Hageman sebagai ketua mahkamah agung Belanda pada tanggal 30 juli 1830.
Pada waktu itu Hageman melakukan pemeriksaan tugas istimewa yang bertujuan agar di Indonesia bisa di lakukan persamaan hukum dengan hukum eropa. Hageman beranggapan agar adanya kodifikasi hukum sipil yang berbahasa Indonesia yang berlaku bagi bangsa Indonesia dan eropa.  Namun hal ini tak dapat terealisasikan karena tempo penugasan telah selesai dan Hageman tak mampu menyelesaikannya.
Dengan segala usaha yang dilakukan pemerintah Belanda untuk memberlakukan hukum Belanda di Indonesia yaitu melalui panitia yang diketuai Scholten ( ketua mahkamah agung Hindia Belanda dahulu) , beranggapan bahwa Indonesia terhindar dari asas persamaan hukum pemerintah belanda. Hal tersebut juga diperkuat oleh J. Van Der Vinne yaitu seorang ahli jajahan Belanda yang beranggapan bahwa hukum Belanda tidak bisa diberlakukan di Indonesia karena masyarakatnya pluralis. Sehingga jika tetap diberlakukan menurut J. Van Der Vinne hal ini melanggar hak-hak adat istiadat dan akann memecah banyak sendi-sendi hukum.
Kupasan Van der Vinne inilah yang dijadikan pedoman pemerintah Belanda dan ikut mempengaruhi kedudukan hukum adat.

B.  Masa Pada tahun 1848 dan Seterusnya.
Hukum adat menjadi masalah politik hukum pada saat pemerintah Hindia Belanda akan memberlakukan hukum eropa atau hukum yang berlaku di Belanda menjadi hukum positif di Hindia Belanda (Indonesia) melalui asas konkordansi. Mengenai hukum adat timbulah masalah bagi pemerintah colonial, sampai dimana hukum ini dapat digunakan bagi tujuan-tujuan Belanda serta kepentingan-kepentingan ekonominya, dan sampai dimana hukum adat itu dapat dimasukkan dalam rangka politik Belanda. Kepentingan atau kehendak bangsa Indonesia tidak masuk perhitungan pemerintah colonial. Apabila diikuti secara kronologis usaha-usaha baik pemerintah Belanda di negerinya sendiri maupun pemerintah colonial yang ada di Indonesia ini, maka secara ringkasnys undang-undang yang bertujuan menetapkan nasib ataupun kedudukan hukum adat seterusnya didalam system perundang-undangan di Indonesia, adalah sebagai berikut :

C. Sejak tahun 1927.
Dalam tahun 1927 Pemerintahn Hindia Belanda mengubah haluannya, menolak penyatuan hukum (unifikasi). Sejak tahun 1927 itu politik Pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum adat mulai berganti haluan, yaitu dari “unifikasi” beralih ke “kodifikasi”.

DAFTAR PUSTAKA

Hadikusuma, hilman. 1992. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: Mandar Maju.
Rato, dominikus.  Pengantar Hukum Adat. Laksbang.
Supomo. 1993.Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta:Pradnya Pramita
Wignjodipuro,Surojo. 1984. Pengantar dan Asas – asas Hukum Adat. Jakarta:Gunung Agung
__________.dan Badan Pembinaan Hukum Nasional. 1976. Seminar Hukum Adat Dan Pembinaan Hukum Nasional. Yogyakarta: Binacipta.
http://rokhilaw.blogspot.com/2012/03/sejarah-hukum-adat.html
akhyar13.blogspot.com


Share:

Pend Kewarganegaraan (Wawasan Nusantara)





BAB I
PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG
Salah satu persyaratan mutlak harus dimiliki oleh sebuah negara adalah wilayah kedaulatan, di samping rakyat dan pemerintahan yang diakui. Konsep dasar wilayah negara kepulauan telah diletakkan melalui Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957.[1] Deklarasi tersebut memiliki nilai sangat strategis bagi bangsa Indonesia, karena telah melahirkan konsep Wawasan Nusantara yang menyatukan wilayah Indonesia. Laut Nusantara bukan lagi sebagai pemisah, akan tetapi sebagai pemersatu bangsa Indonesia yang disikapi sebagai wilayah kedaulatan mutlak Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ada bangsa yang secara eksplisit mempunyai cara bagaimana ia memandang tanah airnya beserta lingkungannya. Cara pandang itu biasa dinamakan wawasan nasional. Sebagai contoh, Inggris dengan pandangan nasionalnya berbunyi: “Brittain rules the waves”. Ini berarti tanah Inggris bukan hanya sebatas pulaunya, tetapi juga lautnya. Tetapi cukup banyak juga negara yang tidak mempunyai wawasan, seperti: Thailand, Perancis, Myanmar dan sebagainya. Indonesia wawasan nasionalnya adalah wawasan nusantara yang disingkat wasantara. Wasantara ialah cara pandang bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 tentang diri dan lingkungannya dalam eksistensinya yang serba nusantara dan penekanannya dalam mengekspresikan diri sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah lingkungannya yang serba nusantara itu.
Belakangan ini banyak kita menyaksikan bahwa budaya-budaya bangsa Indonesia diklaim sebagai budaya bangsa lain, misalnya Reog Ponorogo, Tari Pendet, Keris, Batik, serta lagu-lagu daerah yang ditiru. Entah karena masih memiliki sikap Nasionalisme, atau sekedar ikut-ikutan tersulut suasana, segenap bangsa Indonesia ramai-ramai mengutuk negara tersebut sebagai pencuri budaya bangsa lain.
Ketika kita mengunjungi daerah-daerah wisata, banyak keindahan-keindahan alam dan budaya yang bisa kita nikmati sebagai rahmat dan anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa. Namun momen indah tersebut malah kita lewatkan dengan menyibukkan diri berfoto ria kesana-kemari. Sudah seharusnya kita mempelajari dan melestarikan budaya-budaya yang ada agar generasi penerus masih bisa menikmatinya, serta mengembangkan nilai-nilai budaya daerah yang membangun kebanggaan masyarakat terhadap daerah, sekaligus bangsa Indonesia.
Sering kita mendengar terjadi kerusuhan-kerusuhan antar etnis di Indonesia yang mengatasnamakan suku maupun agama, misalnya yang terjadi di Sampit dan Poso. Bahkan, terkadang pemicu kerusuhan itu hanya masalah-masalah sepele yang tidak semestinya mengikutsertakan golongan-golongan tertentu. Sebagai bangsa yang menjadikan persatuan dan kesatuan sebagai dasar negara, sudah seharusnya kita mencegah perlakuan diskriminasi guna menghindari sikap sukuisme dan fanatisme kedaerahan yang sempit yang membelenggu kebebasan individu dalam mengembangkan kualitasnya sebagai bangsa yang majemuk. oleh karena itu, diperlukan kesadaran masyarakat dalam menerima keanekaragaman yang ada, serta saling menghormati dan menghargai perbedaan itu sebagai karunia Sang Pencipta, serta peranan lembaga adat dan para pemuka agama dalam mewujudkan suasana aman dan kondusif guna menjalin kerukunan bangsa dan negara.
Sebagai tujuan kita mempelajari Wawasan Nusantara yaitu untuk memantapkan sikap Nasionalisme yang tinggi dan tekad mengutamakan kepentingan nasional diatas kepentingan pribadi dan golongan untuk mencapai tujuan nasional dengan diiringi rasa senasib seperjuangan sebagai bangsa yang bertanah air satu, bangsa Indonesia.



  1. Rumusan Maslah
Berdasarkan dari latar belakang diatas, Masalah-masalah yang akan dibahas dalam penulisan karya tulis ilmiah ini diantaranya:
  1. bagaimana landasan wawasan nusantara?
  2. apa dan bagaimana unsur wawasan nusantara?
  3. bagaimana hakikat wawasan nusantara?
  4. apa saja tantangan yang dihadapi didalam mengimplementasikan wawasan nusantara?


  1. Tujuan Penulisan
tujuan dari penulisan karya ilmiah ini selain untuk menyelesaikan tugas pendidikan kewarganegaraan, yakni:
  1. untuk mengetahui landasan apa saja yang berhubungan dengan wawasan nusantara.
  2. untuk mengetahui unsur-unsur dasar wawasan nusantara.
  3. untuk mengetahui hakikat-hakikat apa saja yang berhubungan dengan wawasan nusantara.
  4. serta untuk mengetahui tantangan-tantangan yang dihadapi di dalam mengimplementasikan wawasan nusantara.





BAB II
KAJIAN TEORI

  1. Pengertian Wawasan Nusantara
            Sebelum kami dari tim penulis menjelaskan dan memaparkan landasan – landasan apa saja yang berhubungan dengan wawasan nusantara , terlebih dahulu kami ingin menjelaskan tentang pengertian wawasan nusantara itu sendiri yang telah kami temukan dari berbagai sumber.
Sebagaimana telah kita ketahui,  bahwa Setiap bangsa mempunyai wawasan nasional yang merupakan visi bangsa yang bersangkutan menuju masa depan.[2] Dan dalam bangsa dan bernegara memerlukan suatu konsep tentang suatu cara pandang untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan bangsa negara, serta mempertahankan identitas diri atau jati diri bangsa. Istilah wawasan nusantara berasal dari kata “mawas” yang berarti lebih kembali pada diri sendiri yaitu sadar diri atau penglihatan inderawi selain itu berarti juga memandang melihat dan meninjau. Dan kata nusantara berasal dari kata “nusa” yang berarti pulau – pulau, dan “ antara”  yang berarti menggabungkan 2 arti kata wawasan dan nusa yang berarti menggambarkan tentang berbagai wilayah di indonesia yang berupa perairan dan pulau-pulau.
Selain definisi umum diatas, kami juga akan mencoba menyajikan definisi-definisi lain yang diantaranya:
    1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi II,1994) wawasan berasal dari kata dasar mawas atau mewawas, yang berarti meneliti; meninjau; memandang; mengamati. Sedangkan wawasan adalah hasil mewawas; tinjauan; pandangan. Sedangkan nusantara, masih menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi II,1994), adalah sebutan (nama) bagi seluruh wilayah kepulauan Indonesia .
    2. Pengertian Wawasan Nusantara berdasarkan Tap MPR Tahun 1993 dan 1998, Wawasan Nusantara merupakan wawasan nasional yang bersumber pada Pancasila dan berdasarkan UUD 1945 yaitu : cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
    3. Wawasan nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya, di dalam eksistensinya yang sarwa nusantara serta pemekarannya di dalam mengekspresikan diri di tengah-tengah lingkungan nasionalnya (Lemhanas, 1992).
    4. Wawasan nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia mengenal diri dan tanah airnya sebagai negara kepulauan dengan semua aspek kehidupan yang beragam (Prof. Dr. Wan Usman).[3]
Dari beberapa definisi yang telah kami paparkan diatas, kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa wawasan nusantara adalah hasil penelitian atau pandangan dari Negara Indonesia terhadap segala kehidupan dan lingkungan yang ada di Negara Indonesia dengan kehidupannya yang serba beragam.
Dengan demikian, secara umum, kita dapat mengatakan bahwa wawasan nasional berarti cara pandang suatu bangsa tentang diri dan lingkungannya yang dijabarkan dari dasar falsafah dan sejarah bangsa itu seseuai dengan posisi dan kondisi geografi negaranya untuk mencapai tujuan atau cita – cita nasionalismenya.




  1. Landasan Wawasan Nusantara
setelah kita mengetahui definisi/pengertian dari wawasan nusantara, selanjutnya, kita akan membahas mengenai landasan wawasan nusantara. Landasan wawasan nusantara dapat di jabarkan menjadi berbagai landasan, yaitu :
1.                   Landasan Idiil. Pancasila adalah falsafah ideologi bangsa dan dasar negara. Berkedudukan sebagai landasan idiil pada wawasan nusantara. Karena pada hakikatnya wawasan nusantara merupakan perwujudan dari pancasila. Pancasila merupakan kesatuan yang bulat dan utuh serta mengandung paham keseimbangan, keselarasan, dan keseimbangan. Maka wawasan nusantara mengarah kepada terwujudnya kesatuan dan keserasian dalam bidang-bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Dengan kata lain, landasan idiil merupakan landasan dasar terwujudnya wawasan nusantara.
2.                   Landasan Konstitusional. Kata konstitusional biasa berkaitan erat dengan perundang-undangan. Jadi, landasan wawasan nusantara juga berlandaskan pada perundang-undangan. UUD 1945 yang merupakan landasan konstitusi dasar negara, yang menjadi pedoman pokok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik (Pasal 1 UUD 1945) yang kekuasaan tertingginya ada pada rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR.
3.                   Landasan Visional. Landasan visional atau tujuan nasional wawasan nusantara sebagai wawasan nasional bangsa indonesia merupakan ajaran yang diyakini kebenarannya oleh seluruh rakyat dengan tujuan agar tidak terjadi penyesalan dan penyimpangan dalam rangka mencapai dan mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat yaitu : Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, Memajukan kesejahteraan umum, Mencerdaskan kehidupan bangsa dan Ikut melaksanakan ketertiban dunia.
4.                   Landasan Konsepsional. Ketahanan nasional, yaitu merupakan kondisi dinamis yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kemampuan sebagai konsepsi nasional, berkedudukan sebagai landasan konsepsional. Dalam upaya mencapai cita-cita dan tujuan nasionalnya, bangsa Indonesia menghadapi berbagai ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan. Agar dapat mengatasinya, bangsa  indonesia harus memiliki kemampuan, keuletan, dan daya tahan yang dinamakan ketahanan nasional.
5.                   landasan operasional . GBHN sebagai politik dan strategi nasional atau sebagai kebijaksanaan dasar nasional, berkedudukan sebagai landasan operasional. hal ini telah dikukuhkan MPR dalam ketetapan Nomor : IV/MPR/1973 pada tanggal 22 Maret 1973.[4]
Share:

Monday 26 May 2014

Sosiologi Hukum (ALIRAN SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE)



KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang mana telah memberikan kami semua kekuatan serta kelancaran dalam menyelesaikan makalah mata kuliah Sosiologi Hukum yang berjudul ALIRAN SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE dapat selesai seperti waktu yang telah kami rencanakan.
Tersusunnya karya ilmiah atau makalah ini tentunya tidak lepas dari peran serta berbagai pihak yang telah memberikan bantuan secara materil dan spiritual, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1.      Bapak Dosen pengasuh mata kuliah Sosiologi Hukum  UNM.
2.     Teman-teman  kelompokyang telah membantu dan memberikan dorongan semangat agar makalah ini dapat kami selesaikan.
Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang membalas budi baik yang tulus dan ihklas kepada semua pihak yang penulis sebutkan di atas.
Tak ada gading yang tak retak, untuk itu kamipun menyadari bahwa makalah yang telah kami susun dan kami kemas masih memiliki banyak kelemahan serta kekurangan-kekurangan baik dari segi teknis maupun non-teknis. Untuk itu penulis membuka pintu yang selebar-lebarnya kepada semua pihak agar dapat memberikan saran dan kritik yang membangun demi penyempurnaan penulisan-penulisan mendatang. Dan apabila di dalam makalah  ini terdapat hal-hal yang dianggap tidak berkenan di hati pembaca mohon dimaafkan.

Makassar, 11 Maret 2014


Tim Penyusun





DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………       1                              DAFTAR ISI       …………………………………………………… 2                          
BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………       3                
A.Latar Belakang……………………………………….        3                                    B .Rumusan Masalah…………………………………..   4                                     C.Tujuan…………………………………………………        4                                                                         
BAB II PEMBAHASAN……………………………………….       5       
BAB III PENUTUP……………………………………………         11     
A.Kesimpulan…………………………………………..          11     
B.Saran………………………………………………….         11                                                                         
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………….     12     







BAB   I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
 Filsafat hukum menurut Purnadi Purwacaraka dan Soerjono Soekanto (1979:2) mengatakan “ Filsafat hukum adalah perenungan dan perumusan nilai- nilai kecuali itu filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai misalnya : penyerasian antara ketertiban dengan ketentraman, antara kebendaan dengan keakhlakan, dan antara kelanggengan/konservatisme dengan pembaharuan:.
Kesulitan pertama yang banyak dialami dalam memahami hukum yaitu berfikir mengenai hukum dengan cara yang telah ditentukan dalam ilmu hukum, mengaitkan satu sama lain sebab dengan sebab lainnya, yang satu dengan hal yang timbul karenanya. Alam berfikir hukum adalah berfikir khas, dengan karakteristik yang tidak ditemui dalam cara-cara berfikir yang lain.
Positivisme hukum atau disebut juga mazhab formalistik, mencoba menjawab masalah-maasalah hukum melalui sistem-sistem norma, aturan-aturan, bagi aliran ini alam berfikir hukum adalah berfikir normatif bahkan cenderung legisme. Aliran sosiologis mengemukakan cara yang bisa dikatakan sangat bertolak belakang dengan cara positivisme hukum, yaitu mencoba melihat konteks, memfokuskan cara pandang hukum terhadap pola kelakuan/tingkah laku masyarakat, sehingga cenderung menolak aturan-aturan formal (yang dibuat oleh lembaga formal seperti DPR, dengan bentuk peraturan perundang-undangan). 
Dalam filsafat hukum ada beberapa aliran atau mazhab sebagai berikut:
1.      Mazhab Hukum Alam
2.      Mazhab Formalistis
3.      Mazhab Kebudayaan dan Sejarah
4.      Utilitarianisme
5.      Sociological Jurisprudence
6.      Realisme Hukum
7.      Critical Legal Studies
8.      Feminisme Jurisprudence
9.      Semiotika Jurisprudence
Diantara aliran atau mazhab tersebut yang akan dibahas disini adalah Sociological Jurisprudence.
Aliran Sociological Jurispurdence sebagai salah satu aliran pemikiran filsafat hukum menitik beratkan pada hukum dalam kaitannya dengan masyarakat. Menurut aliran ini hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup  di antara masyarakat. Aliran ini secara tegas memisahkan antara hukum positif dengan (the positive law) dengan hukum yang hidup (the living law). Singkatnya yaitu, aliran hukum yang konsepnya bahwa hukum yang dibuat agar memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law baik tertulis maupun tidak tertulis. Misalnya dalam hukum yang tertulis jelas dicontohkan Undang- Undang sebagai hukum tertulis, sedangkan yang dimaksudkan hukum tidak tertulis disini adalah hukum adat yang dimana hukum ini adalah semulanya hanya sebagai kebiasaan yang lama kelamaan menjadi suatu hukum yang berlaku dalam adat tersebut tanpa tertulis. Dalam masyarakat yang mengenal hukum tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu ia harus terjun ditengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Menurut ilmu hukum dan filsafat hukum, maka usaha pembaharuan hukum dapat dikatakan bahwa Negara Republik Indonesia dalam kebijaksanaan pembinaan hukumnya menganut teori gabungan dari apa yang dikenal sebagai aliran sociological jurisprudence dan pragmatic jurisprudence. Aliran sociological jurisprudence ialah aliran yang menghendaki bahwa dalam proses pembentukan pembaharuan hukum harus memperhatikan kesadaran masyarakat. Memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Tokoh mazhab yang mengemukakan aliran ini adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Apakah Sociological Jurisprudence?
2. Bagaimana kritik terhadap Aliran Sociological Jurisprudence?
3. Bagaimana peran Strategis Hakim dalam Perspektif Sociological Jurisprudence ?

C.  Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.Untuk mengtahui apa Sociological Jurisprudence
2.Untuk mengetahui kritik terhadap Aliran Sociological Jurisprudence
3.Untuk mengetahui peran hakim dalam perspektif sociological jurisprudence








BAB II
PEMBAHASAN
A.   Aliran Sociological Jurisprudence
Pendasar aliran ini, antara lain: Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benjamin Cardozo, Kontorowics, Gurvitch dan lain-lain. Aliran ini berkembang di Amerika, pada intinya aliran ini hendak mengatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Kata “sesuai” diartikan sebagai hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.
Aliran Sociological Jurispurdence sebagai salah satu aliran pemikiran filsafat hukum menitik beratkan pada hukum dalam kaitannya dengan masyarakat. Menurut aliran ini :
Hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup  di antara masyarakat”.
  Menurut Lilirasjidi, Sociological Yurisprudence menggunakan pendekatan hukum kemasyarakatan, sementara sosiologi hukum menggunakan pendekatan dari masyarakat ke hukum. Menurut Sociological Yurisprudence hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam msyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Aliran ini timbul sebagai akibat dari proses dialektika antara (tesis) positivisme hukum dan (antitesis) mazhab sejarah.
Roscoe Pound, hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, dan adalah tugas ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka dengan mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal.
 Pound juga menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in action), yang dibedakan dengan hukum yang tertulis (law in the books). Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum substantif, maupun hukum ajektif. Ajaran tersebut menonjolkan masalah apakah hukum yang ditetapkan sesuai dengan pola-pola perikelakuan.
Eugen Ehrlich, Penulis yang pertama kali menyandang sosiolog hukum (Grundlegung der Soziologie des Recht, 1912). Menurut Ehrlich pusat gaya tarik perkembangan hukum tidak terletak pada perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum, tetapi di dalam masyarakat sendiri. Ajaran berpokok pada pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup, atau dengan kata lain pembedaan antara kaidah-kaidah hukum dengan kaidah-kaidah sosial lainnya. Hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Aliran Sociological Jurisprudence berbeda dengan Sosiologi Hukum. Berarti bahwa hukum itu mencerminkan nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat. Dijelaskan oleh Roscoe Pound dalam kata pengantar pada buku Gurvitch yang berjudul Sosiologi hukum, perbedaan diantara keduanya ialah :
v Sociological Jurisprudence itu merupakan suatu madzab/aliran dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat, sedangkan
v Sosiologi Hukum adalah cabang sosiologi mempelajari hukum sebagai gejala sosial.
Sosiologi hukum sebagai cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan dan sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi hukum di samping juga diselidiki juga pengaruh sebaliknya, yaitu pengaruh hukum terhadap masyarakat.
Dari dua hal tersebut (sociological jurisprudence dan sosiologi hukum) dapat dibedakan cara pendekatannya. Sociological jurisprudence, cara pendekatannya bertolak dari hukum kepada masyarakat, sedangkan sosiologi hukum cara pendekatannya bertolak dari masyarakat kepada hukum.
Roscoe Pound menganggap bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial (Law as a tool of social engineering and social controle) yang bertujuan menciptakan harmoni dan keserasian agar secara optimal dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat. Keadilan adalah lambang usaha penyerasian yang harmonis dan tidak memihak dalam mengupayakan kepentingan anggota masyarakat yang bersangkutan. Untuk kepentingan yang ideal itu diperlukan kekuatan paksa yang dilakukan oleh penguasa negara.
Aliran ini secara tegas memisahkan antara hukum positif dengan (the positive law) dengan hukum yang hidup (the living law). Aliran ini timbul dari proses dialektika antara (tesis) Positivisme Hukum (antitesis) dan Mazhab Sejarah. Sebagaimana diketahui, Positivisme Hukum memandang tiada hukum kecuali perintah yang diberikan penguasa (law is a command of law givers), sebaliknya Mazhab Sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama dengan masyarakat.
Aliran pertama mementingkan akal, sementara aliran yang kedua lebih mementingkan pengalaman, dan Sociological Jurisprudence menganggap keduanya sama pentingnya. Aliran sociological jurisprudence ini memiliki pengaruh yang sangat luas dalam pembangunan hukum Indonesia.
Singkatnya yaitu, aliran hukum yang konsepnya bahwa hukum yang dibuat agar memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law baik tertulis maupun tidak tertulis.
Misalnya dalam hukum yang tertulis jelas dicontohkan Undang- Undang sebagai hukum tertulis, sedangkan yang dimaksudkan hukum tidak tertulis disini adalah hukum adat yang dimana hukum ini adalah semulanya hanya sebagai kebiasaan yang lama kelamaan menjadi suatu hukum yang berlaku dalam adat tersebut tanpa tertulis. Dalam masyarakat yang mengenal hukum tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu Hakim harus terjun ditengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Ehrlich mengatakan bahwa pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislatif, keputusan- keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum, akan tetapi justru terletak dalam masyaratak itu sendiri. Tata tertib dalam masyarakat didasarkan pada peraturan-peraturan yang dipaksakan oleh negara. Sementara itu Rescoe Pound berpendapat, bahwa hukum harus dilihat atau dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, dan adalah tugas dari ilmu hukum untuk memperkembangkan suatu kerangka dengan mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal.
Pound menganjurkan untuk mempelajari Ilmu Hukum sebagai suatu proses ( law in action), yang dibedakan dengan hukum tertulis ( Law in books). Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum substantif maupun hukum ajektif. Ajaran tersebut menonjolkan masaalah apakah hukum yang ditetapkan sesuai dengan pola-pola perikelakuan. Ajaran-ajaran tersebut dapat diperluas lagi sehingga juga mencakup masalah-masalah keputusan-keputusan pengadilan serta pelaksanaannya, dan juga antara isi suatu peraturan dengan efek-efeknya yang nyata.

B.    Kritik terhadap Aliran Sociological Jurisprudence
Sekalipun aliran sociological jurispridence kelihatannya sangat ideal dengan cita hukum masyarakat yang terus-menerus berubah ini, karena mengutamakan bagaimana suatu hukum itu menjadi baik dan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, aliran ini bukanlah tanpa kritik.
Suatu hal yang patut dipahami, bahwa dalam program sosiologi jurisprudence Pound, lebih mengutamakan tujuan praktis dengan :
1)      menelaah akibat sosial yang aktual dari lembaga hukum dan doktirin hukum, karena itu , lebih memandang kerjanya hukum dari pada isi abstraknya
2)      memajukan telaah sosiologis berkenaan dengan telaah hukum untuk mempersipakan perundang-undangan, karena itu, menganggap hukum sebagai suatu lembaga sosial yang dapat diperbaiki oleh usaha yang cerdik guna menemukan cara terbaik untuk melanjutkan dan membimbing usaha usaha demikian itu
3)      mempelajari cara membuat peraturan yang efektif dan menitik beratkan pada tujuan sosial yang hendak dicapai oleh hukum dan bukannya pada sanksi
4)      menelaah sejarah hukum sosiologis yakni tentang akibat sosial yang ditimbulkan oleh doktrin hukum dan bagaimana cara mengahasilkannya
5)      membela apa yang dinamakan pelaksanaan hukum secara adil dan mendesak supaya ajaran hukum harus dianggap sebagai bentuk yang tidak dapat berubah
6)      meningkatkan efektifitas pencapaian tujuan yang tersebut diatas agar usaha untuk mencapai maksud serta tujuan hukum lebih efektif.
Program sosiologis jurisprudence Pound kelihatan berpengaruh dalam pandangannya yakni apa yang disebut dengan hukum sebagai social engineering serta ajaran sociological jurisprudence yang dikembangkannya. Dimana hukum yang baik itu adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Aliran ini mengetengahkan pentingnya hukum yang hidup dalam masyarakat. Dimana hukum positif akan baik apabila ada hubungan dengan peraturan yang terletak di dasar dan di dalam masyarakat secara sosilogis dan antropologis. Tetapi tidak mudah untuk mewujudkan cita hukum yang demikian. Tidak saja dimungkinkan oleh adanya perbenturan antara nilai-nilai dan tertib yang ada dalam masyarakat sebagai suatu kelompok dengan kelompok masyarakat lainnya. Terutama dalam masyarakat yang pruralistik. Tetapi sama sekali tidak berarti tidak bisa diterapkan.
Dalam masyarakat yang monoistik, tidak begitu sukar menerapkan ajaran sociological jurisprudence. Berbeda halnya dengan masyarakat yang memiliki pruralistik seperti masyarakat Indonesia dimana nilai-nilai dan tata tertibnya masing-masing serta pola perilaku yang spesifik pula adalah tidak mudah menerapkan ajaran sociological jurisprudence.
Berdasarkan fakta bahwa setiap kelompok mempunyai tata tertib sendiri, dan fakta bahwa hubungan antara tertib ini adalah terus menerus berubah menurut tipe masyarakat yang serba meliputi, yang terhadapnya negara hanyalah merupakan suatu kelompok yang khusus dan suatu tata tertib yang khusus pula. Dalam menerapkannya diperlukan berbagai pendekatan untuk memahami dan menginventarisasi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, terutama dalam masyarakat majemuk yang memiliki tata tertib sendiri dan pruralitik.
Menurut Pound, hukum di pandang sebagai lembaga masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Disisi lain, Friedman mengemukakan, secara teoritis karya Ehrlich, menunjukkan adanya tiga kelemahan pokok terhadap ajaran sociological jurisprudence yang dikembangkan Ehrlich, yang semuanya disebabkan oleh keinginanannya meremehkan fungsi negara dalam pembuatan undang-undang.
Kelemahan itu adalah :
Ø Karya tersebut tidak memberikan kriteria yang jelas membedakan norma hukum dari norma sosial yang lain. Bahwa keduanya tidak dapat dipertukarkan, sesuatu yang merupakan fakta historis dan sosial, tidak mengurangi perlunya pengujian pernedaan yang jelas. Sesuai dengan itu sosiologi hukum Ehrlich selalu hampir menjadi suatu dalam garis besar, sosilogi umum.
Ø Ehrlich meragukan posisi adat kebiasaan sebagai sumber hukum dan adat kebiasaan sebagai satu bentuk hukum. Dalam masyarakat primitif seperti halnya dalam hukum internasional pada zaman ketika adat istiadat dipandang baik sebagai sumber hukum maupun sebagai bentuk hukum yang paling penting. Di negara modern peran masyarakat mula-mula masih penting, tetapi kemudian berangsur berkurang. Masyarakat modern menuntut sangat banyak undang-undang yang jelas dibuat oleh pembuat undang-undang yang sah. Undang-undang semacam itu selalu derajat bermacam-macam, tergantung dari fakta hukum ini, tetapi berlakunya sebagai hukum bersumber pada ketaatan faktual ini. Kebingunan ini merembes ke seluruh karya Ehrlich.
Ø Ehrlich menolak mengikuti logika perbedaan yang ia sendiri adakan norma-norma hukum negara yang khas dan norma-norma hukum dinama negara hanya memberi sanksi pada fakta-fakta sosial. Konsekwensinya adalah adat kebiasaan berkurang sebelum perbuatan udang-undang secara terperinci, terutama undang-undang yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat mempengaruhi kebiasaan dalam masya-rakat sama banyaknya dengan pengaruh dirinya sendiri.

C.   Peran Strategis Hakim dalam Perspektif Sociological Jurisprudence
Kehidupan hukum sebagai kontrol sosial terletak pada praktek pelaksanaan atau penerapan hukum tersebut. Tugas hakim dalam menerapkan hukum tidak melulu dipahami sebagai upaya social control yang bersifat formal dalam menyelesaikan konflik, tetapi sekaligus mendisain penerapan hukum itu sebagai upaya social engineering. Tugas yudisial hakim tidak lagi dipahami sekedar sebagai penerap undang-undang terhadap peristiwa konkrit (berupa berbagai kasus dan konflik) atau sebagai sekedar corong undang-undang (boncha de la loi) tetapi juga sebagai penggerak social engineering. Para penyelenggara hukum harus memperhatikan aspek fungsional dari hukum yakni untuk mencapai perubahan, dengan melakukan perubahan hukum selalu dengan menggunakan segala macam teknik penafsiran (teori hukum fungsional). Teori Hukum Menurut Roscoe PoundLaw is a tool of social engineering” adalah apa yang dikatakan oleh Roscoe Pound terhadap hukum itu. Sama seperti apa yang dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, hukum adalah keseluruhan azas-azas dan kaedah-kaedah yang mengatur masyarakat, termasuk di dalamnya lembaga dan proses untuk mewujudkan hukum itu ke dalam kenyataan. Kedua ahli hukum ini memiliki pandangan yang sama terhadap hukum.
Kepentingan negara adalah harus yang paling tinggi/atas dikarenakan negara mempunyai kepentingan nasional. Kepentingan nasional tersebut harus melindungi kepentingan negara kemauan negara adalah kemauan publik. Karena hukum itu bukan seperti yang dikatakan oleh teori-teori positivis menghukum bahwa hukum memiliki sifat tertutup. Hukum sangat dipengaruhi oleh ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya. Tidak hanya sekedar kemauan pemerintan. Suatu logika yang terbuka, perkembangan kebutuhan masyarakat sangat mempengaruhi pertumbuhan hukum di dalam masyarakat. Politik sangat mempengaruhi pertumbuhan hukum di dalam masyarakat.










BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Sociological Jurispurdence sebagai salah satu aliran pemikiran filsafat hukum menitik beratkan pada hukum dalam kaitannya dengan masyarakat. Menurut aliran ini hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup  di antara masyarakat. Aliran ini secara tegas memisahkan antara hukum positif dengan (the positive law) dengan hukum yang hidup (the living law). Roscoe Pound  (1870-1964)  merupakan salah satu eksponen dari aliran ini. Dalam bukunya An introduction to the philosophy of law, Pound menegaskan bahwa hukum itu bertugas untuk memenuhi kehendak masyarakat yang menginginkan keamanan yang menurut pengertian yang paling rendah dinyatakan sebagai tujuan ketertiban hukum.
Dalam aliran Sociological Jurisprudence hukum menjadi sangat akomodatif dan menyerap ekspektasi masyarakat. Bagi Sociological Jurisprudence hukum dikonstruksi dari kebutuhan, keinginan, tuntutan dan harapan dari masyarakat. Jadi yang didahulukan adalah kemanfaatan dari hukum itu sendiri bagi masyarakat, dengan demikian hukum akan menjadi hidup. Aliran sangat mengedepankan kesadaran hukum dan rasa keadilan masyarakat. Akan tetapi hal ini berakibat hukum menjadi demikian cair. Kritik yang terbesar yang ditujukan bagi Sociological Jurisprudence adalah dengan pendekatan ini  hukum dapat kehilangan ”taringnya“ dan tidak ajeg. Paradigma ini juga dianggap terlalu mengadaikan suatu masyarakat telah demikian berkembang sampai pada tahap dimana tidak lagi ada ketegangan pada pranata sosial dalam merumuskan tuntutannya, masyarakat dianggap telah mampu menentukan hukumnya sendiri, dan mengecilkan kedaulatan dari penguasa.
Jadi, aliran Sosiological Yuresprudence berkembang dan membahas tentang hukum yang ada di masyarakat. Hanya saja dalam aliran Sosiological Yurisprudence  membahas tentang hukum yang berkembang atau yang ada di masyrakat itu sendiri.
Dalam masyarakat yang monoistik, tidak begitu sukar menerapkan ajaran sociological jurisprudence. Berbeda halnya dengan masyarakat yang memiliki pruralistik seperti masyarakat Indonesia dimana nilai-nilai dan tata tertibnya masing-masing serta pola perilaku yang spesifik pula adalah tidak mudah menerapkan ajaran sociological jurisprudence.

B.   Saran
Melihat materi sosiologi hukum mengenai salah satu aliran atau mazhab dari filsafat hukum yaitu mengenai sociological jurisprudence mengutip dari pendapat Soekanto bahwa aliran ini telah memperkenalkan paling tidak teori-teori ilmu hukum walau disadari belum lah sempurna tetapi dengan adanya aliran ini kita dapat menggambarkan bahwa betapa pentingnya mempelajari sosiologi hukum untuk dapat mengetahui secara luas kehidupan masyarakat yang modern inin 


DAFTAR PUSTAKA ( REFERENSI )

v vocagunk.blogspot.com/.../makalah-filsafat-hukum-dengan-aliran.html
v sosiological.blogspot.com/2012/11/sosiological-jurisprudence_25.html







UU ITE lagi – lagi memakan korban,setelah Prita sekarang Luna Maya yang terjerat pasal dan ayat yang sama atas tindak pidana pencemaran nama baik.Hal ini bermula dari keluhan Luna Maya di  twitter yang berisi keluhan terhadap kelakuan wartawan yang mewancarainya disaat tidak tepat dan terkesan memaksa.Namun keluhan tersebut dianggap Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai kata-kata yang tidak sopan dan pencemaran nama baik di jejaring dunia maya.Dan hal ini berbuntut dengan perseteruan PWI dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengenai materi pencemaran nama baik pada pasal 27 ayat 3 UU ITE tersebut.Namun kita tidak akan membahas Luna Maya dan Prita tetapi bagaimana sebenarnya UU ITE menjadi sebuah pembaharuan Hukum dari kaca mata teori sociological yurisprudence.
Pembaharuan hukum sebenarnya mengandung makna yang luas termasuk sistem hukum. Sehingga, ketika berbicara pembaharuan hukum maka pembaharuan yang dimaksudkan adalah pembaharuan sistem hukum secara keseluruhan yang meliputi struktur hukum, materi hukum dan budaya hukum. Dalam prosesnya, pembangunan ternyata ikut membawa konsekuensi  terjadinya perubahan-perubahan atau pembaharuan pada aspek-aspek sosial lain termasuk di dalamnya pranata hukum. Artinya, perubahan yang dilakukan (dalam bentuk pembangunan) dalam perjalanannya menuntut adanya perubahan-perubahan dalam bentuk hukum.
Perubahan hukum ini memiliki arti yang positif dalam rangka menciptakan hukum baru yang sesuai dengan kondisi pembangunan dan nilai-nilai hukum  masyarakat. Pada satu pihak, pembaharuan hukum merupakan upaya untuk merombak struktur hukum lama (struktur hukum pemerintahan jajahan) yang umumnya dianggap bersifat eksploitatif dan diskriminatif. Sedangkan pada pihak lain pembaharuan hukum dilaksanakan dalam kerangka atau upaya memenuhi  tuntutan pembangunan masyarakat. Bidang hukum diakui memiliki peran yang sangat strategis dalam memacu percepatan pembangunan suatu negara. Usaha ini tidak semata-mata dalam rangka memenuhi tuntutan pembangunan jangka pendek tetapi juga meliputi pembangunan jangka menegah dan jangka panjang, walaupun disadari setiap saat hukum bisa  berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang menghendakinya.
Di negara-negara berkembang pembaharuan hukum merupakan prioritas utama, terlebih jika negara dimaksud merupakan negara yang baru merdeka dari penjajahan bangsa/negara lain. Oleh karena itu, di negara-negara berkembang pembaharuan hukum senantiasa mengesankan adanya peranan ganda. Pertama, merupakan upaya untuk melepaskan diri dari lingkaran struktur hukum kolonial. Upaya  tersebut terdiri atas penghapusan, penggantian, dan penyesuaian ketentuan hukum warisan kolonial guna memenuhi tuntutan masyarakat nasional. Kedua, pembaharuan hukum berperan pula dalam mendorong proses pembangunan, terutama pembangunan ekonomi yang memang diperlukan dalam rangka mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju, dan yang lebih penting adalah demi peningkatan kesejahteraan  masyarakat warga negara.
Saat ini di Indonesia masih terdapat banyak peraturan-peraturan hukum  yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat namun tetap diper-tahankan. Dalam rangka menyongsong era global dan pasar bebas mendatang jelas peraturan-peraturan hukum tersebut  memerlukan revisi dan jika perlu dirubah total dengan bobot materi yang  mencerminkan gejala dan fenomena masyarakat saat ini Salah satunya adalah dengan lahirnya Undang –Undang  Informasi dan Transaksi Elektronik  merupakan Undang – Undang Cyber pertama yang akan diberlakukan di Indonesia.Undang-undang tersebut diharapkan akan menjadi dasar penegakan hukum untuk transaksi online di wilayah Indonesia meski dilakukan di dunia maya.Hal ini pembelajaran terhadap perkembangan hukum di Indonesia yang responsif terhadap perkembangan manusia.Ketentuan tentang ITE merupakan pembaharuan besar terhadap semangat merubah hukum kolonial menjadi hukum yang responsif terhadap kebutuhan  dan pemanfaatan  didalam masyarakat seperti yang telah dijabarkan para penganut Utilitarianisme.Kemudian semangat pembaruan diperkuat lagi dengan kewaspadaan masyarakat terhadap kejahatan di dunia maya baik dalam bentuk pengrusakan data elektronik dan kejahatan informasi.Oleh karenanya dengan desakan masyarakat yang sudah akrab dengan kemajuan teknologi maka UU ITE ini lahir.Namun  Masalahnya adalah apakah proses perubahan atau pembaharuan hukum yang berlangsung di Indonesia telah dilakukan sesuai dengan kaedah-kaedah normatif dan atau sesuai dengan nilai-nilai hukum dalam masyarakat sebagaimana disarankan oleh para ahli hukum Sociological Jurisprudence. Pertanyaan ini perlu diajukan mengingat fungsi hukum tidak semata-mata sebagai alat kontrol sosial tetapi juga memiliki fungsi sebagai  sarana rekayasa atau pembaharuan sosial atau lebih dikenal sebagai “law as a tool of social engineering”.
UU ITE dari kaca mata Sociological Yuriprudence
Erlich sebagai penganut Sociological Yuriprudence menyatakan bahwa hukum yang ideal adalah hukum yang sesuai dengan ide-ide hukum masyarakat; cita-cita hukum  masyarakat yang dikonkritisasi dari nilai-nilai sosial budaya masyarakat. Atas dasar pernyataan Erlich tersebut, apakah pembaharuan (pembentukan) hukum dalam kaitannya dengan pembangunan di Indonesia telah sejalan dan selaras  dengan nilai-nilai hukum masyarakat? Apakah masyarakat sebagai warga negara tetap masih diberi kewenangan untuk menyatakan persetujuannya atas suatu produk hukum  yang baru dikeluarkan oleh pemerintah? Sudahkah muatan materi peraturan hukum itu dipastikan dapat mengkompromikan konflik-konflik kepentingan di dalam masyarakat, sehingga tidak ada satu golongan masyarakat pun yang merasa dirugikan sebagaimana? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan ungkapan kekhwatiran yang senantiasa muncul di kalangan ahli-ahli hukum hingga saat ini. Jika hukum dipandang sebagai kebudayaan yang merupakan suatu refleksi dari cara berpikir,  pandangan dan  karakter bangsa, mestinya hukum harus mengandung muatan materi tentang apa yang menjadi harapan masyarakat tanpa mengenyampingkan soal-soal baru yang menuntut untuk diadaptasikan demi mengisi kekosongan aturan hukum yang saat ini  (beberapa persoalan hukum) telah menjadi bagian dari kesepakatan dunia atau telah diterima dan diaplikasikan lebih dahulu oleh negara-negara lain dalam konteks hubungan atau kerjasama inter-nasional.
Apabila dihubungkan dengan Sociological Jurisprudence undang – undang ITE selaras dalam ide – ide yang dibawa, dimana manusia berada di atas hukum.Bagi perkembangan hukum di negara kita khususnya dalam rangka pembaharuan hukum, teori Ehrlich seyogyanya mendapatkan perhatian yang cukup. Pandangannya tentang living law atau hukum yang benar-benar hidup dalam masyarakat perlu digarisbawahi, supaya dalam pembentukan hukum yang baru benar-benar memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Achmad Roestandi dalam bukunya responsi filsafat hukum mengatakan Di negara kita living law perlu diperhatikan dalam pembentukan hukum yang menyangkut segi kebatinan (innerlijke belivenis), seperti dalam hukum kekeluargaan, perkawinan dan waris, karena disamping masih bersifat sangat pluralistis, juga masalah ini sangat peka. Namun selain Living Law yang disebutkan diatas maka Cyber Law pada saat sekarang ini sudah menjadi hukum yang benar – benar hidup dalam masyarakat.Hal ini dikarenakan ketergantungan masyarakat terhadap dunia teknologi dan informasi sehingga mereka tidak bisa lepas dari perkembangan ini.
Sampai hari ini hukum yang berlaku di negara kita sebagian masih bukan  refleksi dari cara berpikir, pandangan hidup dan karakter bangsa kita, yakni masih peninggalan hukum kolonial. Oleh karenanya O.K. Chairuddin mengatakan dalam bukunya sosiologi hukum dalam upaya menyusun  hukum nasional mau tidak mau, suka atau tidak, kita harus melihat atau bercermin pada kebudayaan masyarakat sendiri. Seberapa pun megahnya kebu-dayaan orang lain, itu tetap tidak akan sesuai dengan kondisi masyarakat kita. Apalagi di bidang hukum, ia harus dapat menampung aspirasi masyarakat Indonesia.
Latar belakang kehadiran UU ITE sebenarnya banyak dipengaruhi oleh Hukum Negara – negara di eropa dan Amerika.Hal ini tidak bisa dinafikan dari perkembangan teknologi yang pesat dari kedua benua tersebut membawa imbas kepada Negara Indonesia. Dan Penggunaan Internet di Indonesia pun sudah membudaya maka tidak salah jika UU ITE lahir dari keinginan –keinginan Masyarakat yang ingin mengatur segala Interaksinya di dunia maya sesuai budaya nya.Indonesia sudah meninggalkan ketaatannya terhadap KUHP dan mengimplementasikan Living Law yang dianjurkan teori Sociological Jurisprudence dengan menggunakan asas lex specialist derogate lex generalist .Maka segala tindakan pidana yang ada di dunia maya dapat diberi sanksi sesuai ketentuan UU ITE
Sebagai contoh Penegakan Hukumnya adalah kasus Prita dan Luna Maya.Mereka dikenakan pasal 27 Ayat(3).Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal itu berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.Namun hadirnya Pasal – pasal diatas tidak disikapi dengan Teori Sociological Jurisprudence oleh penegak hukum dan Stake holder yang menuntut Oleh sebabnya banyak berjatuhan korban –korban yang tidak bersalah.
Teori ini lahir dari masyarakat dan diselesaikan dari kearifan masyarakat itu sendiri.Perlu adanya tahapan-tahapan penyelesaian sengketa dalam menyikapi lahirnya UU ITE ini baik dari Non-litigasi sampai keputusan terakhir di ranah Litigasi.Dan pasal diatas merupakan tahapan terakhir dari proses penyelesaian apabila Masyarakat tidak mendapatkan jalan keluar dan perbuatan yang dilakukan tak termaafkan atau Penghinaan yang berimbas ke ranah publik.
Dengan Praktek UU ITE diatas kembali dipertanyakan apakah hukum yang berlaku sekarang telah berstruktur sosial Indonesia serta adaptif dengan situasi globalisasi yang melingkupinya sebagaimana dimaksudkan oleh Albert. Realitas yang ada di Indonesia saat ini adalah adanya missinkronisasi antara nilai-nilai dengan norma-norma hukum yang berlaku. Nilai-nilai yang ingin dimunculkan adalah nilai-nilai sosial budaya Indonesia, tetapi norma-norma hukum yang muncul adalah norma-norma yang bernuansa Eropa yang nota benenya adalah liberal-kapitalis.,Dengan Lahirnya UU ITE ini tidak menutup kemungkinan akan lahirnya penjajahan baru terhadap masyarakat, terutama pengguna jasa internet seperti Prita dan Luna.


1.     B.  SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
1.     SEJARAH
Pada dekade-dekade awal abad keduapuluh, muncul pengkajian yang melepaskan diri dari “self-sustaining analysis” positivisme dengan menempatkan hukum dalam konteks sosialnya. Di Amerika Serikat, Roscoe Pound tampil untuk mengartikulasikan kajian sosial terhadap hukum secara lebih rinci yang kemudian bahkan menjadi suatu aliran tersendiri dalam ilmu hukum disebut sociological jurisprudence.[4]
Aliran ini tumbuh dan berkembang di Amerika Serikat oleh seorang pioneernya yakni Roscoe Pound melalui karya besarnya yang berjudul “Scope and Purpose of Sociological Jurisprudence” pada tahun 1912.[5]
Lili Rasjidi, mengemukakan perbedaan antara sociological jurisprudence dengan sosiologi hukum. Kalau sociological jurisprudence merupakan suatu mazhab dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat dan sebaliknya, maka sosiologi hukum mempelajari pengaruh masyarakat kapada hukum dan sejauhmana gejala-gejala yang ada di dalam masyarakat itu dapat mempengaruhi hukum tersebut, di samping itu juga diselidiki sebaliknya pengaruh hukum terhadap masyarakat.[6]
Aliran ini lahir dari proses dialektika antara yang sebagai tesisi adalah aliran hukum positif dan yang sebagai antitesis adalah mazhab sejarah yang kemudian menghasilkan sintesis yang berupa sociological jurisprudence. Aliran hukum positif memandang tiada hukum kecuali perintah yang diberikan oleeh penguasa (law is command of lawgiver), sebaliknya mazhab sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama dengan masyarakat. Aliran hukum positif lebih mementingkan akal sementara mazhab sejarah lebih mementingkan pengalaman, dan sociological Jurisprudence menganggap keduanya sama pentingnya. Sintesis Sociological Jurisprudence dimaksudkan berusaha menekankan adanya sisi hukum dan sisi masyarakat secara bersamaan.[7]
1.     PEMIKIRAN HUKUM SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
Teori ini adalah salah sattu teori yang mempelajari pengaruh hukum terrhadap masayarakat dan sebagainya dengan pendekatan dari hukum kemasyarakat.[8] Roscoe Pound berpendapat bahwa hukum harus dilihat sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Selain itu dianjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in action) yang dibedakannya dengan hukum yang tertulis (law in books).[9]
Pragmatisme Amerika, merupakan basis ideologi teori Pound tentang Keseimbangan Kepetingan. Seturut pragmatisme di negerinya, Pound cenderung menghindari konstruksi-konstruksi teori yang terlampau abstrak seperti umumnya teori-teori yang muncul di Eropa. Bagi Pound, hukum tidak boleh dibiarkan mengawang dalam konsep logis-analitis ataupun tenggeelam dalam ungkapan-ungkapan teknis yuridis yang terlampau eksklusif. Sebaliknya, hukum itu mesti didaratkan di dunia nyata, yaitu dunia sosial yang penuh sesak dengan kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang saling bersaing.[10]
Pada dasarnya,’kondisi awal’ struktur suatu masyarakat selalu berusaha dalam kondisi yang kurang seimbang, ada yang selalu dominan, dan ada pula yang terpinggirkan. Untuk menciptakan ‘dunia yang beradab’, ketimpangan-ketimpangan struktural itu perluu ditata ulang dalam pola keseimbangan yang proporsional. Dalam konteks keperluan tersebut, hukum bersifat logis-analitas dan serba abstrak (sosiologis), tidak mungkin diandalkan. Hukum dengan tipe tersebut, paling-paling hanya mengukuhkan apa yang ada. Ia tidak merubah keadaan. Karena itu, perlu langkah progresif yaitu memfungsikan hukum untuk menata perubahan. Dari sinilah muncul teori Pound tentang law as a tool of social engineering.[11]
Menurut Pound, pada saat terjadi imbangan antara kepentingan dalam masyarakat maka yang akan muncul adalah kemajuan hukum. Roscoe pound mengadakan tiga pergolongan utama terhadap kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Pertama, Public interests, yang meliputi kepentingan negara sebagai badan hukum dalam tugasnya untuk memelihara hakikat negara dan kepentingan negara sebagai penjaga dari kepentingan sosial. Kedua, kepentingan orang perorangan di dibedakan oleh Pound menjadi tiga kepentingan lagi, yakni kepentingan pribadi (fisik, kebebasan, kemauan, kehormatan, privasi, kepercayaan dan pendapat), kepentingan-kepentingan dalam hubungan di rumah tangga, dan kepentingan mengenai harta benda. Ketiga, kepentingan sosial, moral umum, pengamanan sumber-sumber daya sosial, kemajuan sosial dan kehidupan individual.[12]
Sebagai pemikir Sociological Jurisprudence, Pound mengusulkan agar para ahli hukum beraliran sosiologis perlu lebih memperhitungkan fakta sosial dalam pekerjaannya, apakah pembuatan hukum, penafsiran, atau penerapan peraturan. Sebab bagi Pound, kehidupan hukum terletak pada pelaksanaannya. Pound menolak studi hukum sebagai studi tentang peraturan, melainkan keluar dari situ dan melihat efek dari hukum dan bekerjanya hukum.[13]
Fokus utama Pound dengan konsep social engineering adalah interest balancing, dan karenanya yang terpenting adalah tujuan akhir dari hukum yang diaplikasikan dan mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih maju. Bagi Pound, antara hukum dan masyarakat terdapat hubungan yang fungsional. Dan karena kehidupan hukum terletak pada karya yang dihasilkannya bagi dunia sosial, maka tujuan utama social angineering adalah mengarahkan kehidupan sosial itu ke arah yang lebih maju. Menurtnya, hukum tidaklah menciptakan kepuasan, tetapi hanya memberi legitimasi atas kepentingan manusia untuk mencapai kepuasan tersebut dalam keseimbangan.[14]
Hukum sebagai sarana social engeenering, bermakna penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan, atau untuk melakukan perubahan yang diinginkan. Hukum, tidak lagi dilihat sekedar sebagai tatanan penjaga status quo, tetapi juga diyakini sebagai sistem pengaturan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu secara terencana.[15]
Tokoh signifikan berikutnya dari aliran ini ada pada pendangan-pandangan Urgen Ehrlich. Eugen Ehrlich sangat menentang adanya kekuasaan tidak terbatas yang diberikan kepada penguasa karena dipandangnya akan memberikan sarana kepada penguasa untuk mengadakan penyimpangan hukum terhadap masyarakat. Secara konsekuen Ehrlich beranggapan bahwa mereka yang berperan sebagai pihak yang mengembangkan sistem hukum harus mempunyai hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan. Kesadaran itu harus ada pada setiap anggota profesi hukum yang bertugas mengembangkan hukum yang hidup dan menentukan ruang lingkup hukum positif dengan hukum yang hidup.[16]
Aliran sociological jurisprudence melihat masyarakat dari pendekatan hukumnya yang salah satu rinciannya meliputi fungsi dari hukum terhadap masyarakat. Fungsi hukum adalah sebagai kerangka ideologis perubahan struktur dan kultur masayarakat.[17]
Dalam paradigma sociologiscal jurisprudence yang melihat fungsi hukum dari hukum terhadap masyarakat dengan spesifikasi fungsi hukum sebagai kerangka ideologis perubahan struktur dan kultur yang dimaksud menyangkut sebuah proses transformasi struktur dan kultur yang tidak mudah.[18]
Peran Strategis Hakim dalam Perspektif Sociological Jurisprudence
Kehidupan hukum sebagai kontrol sosial terletak pada praktek pelaksanaan atau penerapan hukum tersebut. Tugas hakim dalam menerapkan hukum tidak melulu dipahami sebagai upaya social control yang bersifat formal dalam menyelesaikan konflik, tetapi sekaligus mendisain penerapan hukum itu sebagai upaya social engineering. Tugas yudisial hakim tidak lagi dipahami sekedar sebagai penerap undang-undang terhadap peristiwa konkrit (berupa berbagai kasus dan konflik) atau sebagai sekedar corong undang-undang (boncha de la loi) tetapi juga sebagai penggerak social engineering. Para penyelenggara hukum harus memperhatikan aspek fungsional dari hukum yakni untuk mencapai perubahan, dengan melakukan perubahan hukum selalu dengan menggunakan segala macam teknik penafsiran (teori hukum fungsional).
Sociological Jurisprudence menunjukkan kompromi yang cermat antara hukum tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi terciptanya kepastian hukum (positivism law) dan living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum.

Pendekatan sociological jurisprudence dalam hukum internasional banyak terjadi di bidang hukum perdata internasional terutama jika dikaitkan dengan lembaga ketertiban umum dimana nilai-nilai yang menyimpang di masyarakat diamggap menyalahi aturan
Pendekatan sosiological Jurisprudence terhadap Hukum Internasional

Hukum Perdata Internasional (HPI) adalah cabang ilmu hukum perdata yang memiliki anasir, elemen, unsur, atau nuansa asing. HPI adalah hukum nasional, dan sekali-kali bukan suatu hukum yang bersifat supranasional ataupun hukum internasional. Oleh karena itu, setiap negara di dunia ini memiliki sistem HPI-nya masing-masing, misalnya HPI Indonesia, HPI Belanda, dan seterusnya .

Dalam ilmu HPI, keberlakuan hukum asing di ranah hukum nasional bukanlah sesuatu yang kontroversial apalagi haram sifatnya. Sebaliknya keberlakuan hukum asing justru merupakan suatu peristiwa yang lumrah. Suatu akibat dari saling pengakuan dan kesetaraan sistem hukum di dunia ini (gelijkwaardeigheids-beginsel). Hal yang pertama dikenal sebagai asas comitas, dan yang terakhir merupakan asumsi dasar dari ilmu HPI. Sejauh mana suatu hukum asing dapat diberlakukan di ranah hukum nasional harus memperhatikan perasaan masyarakat hukum nasional bersangkutan.

Secara teoritis, keberlakuan hukum asing untuk suatu permasalahan hukum adalah
mungkin untuk dikesampingkan dan, sebagai gantinya, diberlakukanlah hukum nasional. Di sini perlu ditegaskan, bahwa keberlakuan hukum asing tersebut sama sekali tidak dibatalkan, melainkan hanya dikesampingkan. Konstruksi hukumnya adalah hukum asing tersebut sebenarnya berlaku, tetapi karena satu dan lain hal keberlakukannya tersebut terpaksa dikesampingkan demi kemaslahatan masyarakat hukum nasional.

Lembaga pengesamping tersebut dikenal sebagai lembaga ketertiban umum. Lembaga ini merupakan padanan hukum Indonesia untuk “openbare orde” (Belanda), yang mengadopsi konsep “ordre public” (Perancis). Tujuan tertentu yang hendak dicapai dari pengesampingan tersebut adalah untuk menjaga perasaan masyarakat hukum dari masyarakat hukum nasional bersangkutan.

Alasan pengesamping yang dapat dikemukakan dan penerapan dari alasan tersebut harus bersifat terbatas. Jika tidak demikian, maka keberlakuan hukum asing dapat dengan mudah, dan cenderung seringkali untuk, dikesampingkan. Akibatnya asumsi dasar dari ilmu HPI _ mengenai kesetaraan sistem hukum _ akan menjadi nihil, dan perkembangan ilmu HPI itu sendiri akan menjadi mandeg.

Contoh : UU Ps 28 Undang-Undang No.4 tahun 2004 tentangkehakiman, Hakim wajib menggali tetang kehidupan.atau tertuan didalam pasal 5 ayat 1 Undang-undang No.48 tahun 2009 menyatakan bahwa Pasal 5 (1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
2.    Apa peran hakim dalam penemuan hukum dan penciptaan hukum diera Reformasi
Didalam kehidupan bermasyarakat diperlukan suatu sistem hukum dalam menciptakan kehidupan bermasyarakat yang harmonis dan teratur. Kenyataan hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak mencakup seluruh perkara yang timbul didalam masyarakat sehingga menimbulkan dan menyulitkan penegakan hukum dalam menyelesaikan perkara yang akan diselesaikan oleh Pengadilan.
Didalam pasal 5 ayat 1 Undang-Undang No. 48 tahun 2009, menyatakan bahwa Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup didalam masyarakat.
Artinya seorang hakim harus mempunyai kemampuan dan keaktifan untuk menemukan hukum ( Rech vinding ), yang dimaksud dengan rech vinding adalah proses pembentukan hukum oleh hakim ataupun aparat penegak hukum lainnya dalam penerapan hukum didalam peristiwa yang konkrit. Dan hasil penemuan hukum menjadi dasar baginya untuk mengambil keputusan ( Prof.Dr.Sudikno mertukusumo,SH.Hal 47 )
Menurut,Van Apeldorn menyatakan bahwa seorang hakim harus,
1.    Menyesuaikan Undang-Undang dengan fakta konkrit.
2.    Menambah Undang-Undang apabila perlu.
Hakim membuat Undang-Undang karena Undang-Undang tertinggal dari perkembangan masyarakat. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan dan juga berfungsi sebagai penemu yang dapat menentukan mana yang merupakan hukum dan mana juga yang bukan  hukum. Seolah-olah hakim yang berkedudukan sebagai pemegang kekuasaan legislatif yaitu badan pembentuk per-Undang-undangan.
Pasal 21 AB menyatakan bahwa hakim tidak dapat memberikan keputusan yang akan berlaku sebagai peraturan umum.
Sebenarnya hukum yang dihasilkan hakim tidak sama dengan produk legislatif. Hukum yang dihasilkan hakim tidak diundangkan dalam lembarang negara, keputusan hakim tidak berlaku pada masyarakat umum melainkan hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara. Sesuai pada pasal 1917 ( 2 ) KUHPerdata yang menentukan “ Bahwa kekuasaan dan keputusan hakim hanya berlaku tentang hal-hal yang diputuskan dalam perkara tersebut.
Akan tetapi para ahli hukum mengetahui bahwa undang-undang tidak akan pernah lengkap. Disitulah letak peran hakim untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan kenyataan yang berlaku dalam masyarakat agar dapat mengambil keputusan hukum yang sungguh-sungguh adil sesuai dengan tujuan hukum.

Share:

BTemplates.com

akhyar. Powered by Blogger.

Total Pageviews

Translate

BTemplates.com

Pages - Menu

Pages - Menu